Chinatown

Kota Seoul, Korea Selatan  merencanakan akan  membangun sebuah 
Chinatown dikotanya yang diberitakan oleh harian Chosun Ilbo ini 
hari. Lokasi Chinatown ini akan dibangun di Yeonamdong, Mapo-gu, 
Seoul yang sudah terkenal dengan  restoran-restoran Tionghoanya dan 
dihuni oleh banyak penduduk Tionghoa selama ini, rencananya juga 
untuk meletakkan konsulat Tiongkok disana.

Proyek ini dinamakan "Yeonam-dong Chinatown Building Project" dan 
sekiranya pemerintahan kota Seoul menyetujuinya maka projek ini akan 
dimulai sebelum akhir tahun 2007 ini. Ide untuk membangun Chinatown 
timbul, ketika pada kejuaraan dunia sepakbola tahun 2002 (World Cup 
202), dimana ketika itu kota Seoul dikunjungi turis dari mancanegara. 
Dari sekitar 24,000 penduduk yang tinggal di  Yeonam-dong, 4,400 
diantaranya terdiri dari etnis Tionghoa Korea, jumlah ini akan 
berjumlah 9000 orang  kalau dihitung  dengan warga etnis Tionghoa 
yang tinggal kawasan hunian tetangganya.

Pada saat sekarang kawasan Yeonam-dong dan Yeonhee-dong di kota Seoul 
itu dikunjungi  setiap harinya hampir sekitar 1000 turis asing dari 
Tongkok, Taiwan, Hongkong, Singapura dan Malaysia. Direncanakan bahwa 
Chinatown itu akan dibangun dengan gaya arsitektur Tionghoa  dengan 
segala ornamen, dekorasi,  simbol-simbol dan atribut  budaya Tionghoa 
lengkap dengan ciri-ciri khasnya warna merah dan lampion-lampion 
penerangan lampu jalnnya.

Disamping  restoran  (di negara-negara Asia Tenggara, hadirnya sebuah 
kelenteng menjadi ciri khas sebuah Chinatown), hotel, bank, 
supermarket, department store,  toko buku Mandarin, karaoke &  bar, 
toko obat Tradisionil,  bioskop (show  film silat), teater, fitness 
centre (Kung Fu akademi), klinik akupunktur,  toko musik mandarin, 
serta tea & coffe shop untuk kongkow-kongkow, serta koran Mandarin,  
adalah ciri-ciri khas sebuah Chinatown.  Tempat telpon umum  dan 
perhentian bus atau subway  biasanya juga akan didisain sesuai 
dengan  gaya unik  arsitektur  Tionghoa..

Chinatown juga  akan berfungsi sebagai pusat kebudayaan Tionghoa. Di 
beberapa negara seperti  salah satunya di Kuching (Malaysia), malah 
dibangun sebuah musium sejarah kedatangan orang Tionghoa ke negara 
tersebut yang mendokumentasikan  tentang masa lalu dan peranannya di 
negara tersebut, karena warga Tionghoa juga merupakan bagian dari 
sejarah kota atau negara tersebut.

Tapi  tak jarang Chinatown juga kerap  diasosiasikan  dengan  citra  
negatif, seperti tempat perjudian, pelacuran, penyelundupan imigran 
gelap, triad (mafia Tionghoa), narkoba (drug trafficking), pemerasan 
dll. Citra ini sering menjadi tema film (action film)  atau latar 
belakang  (background) film Holywood  yang sering dilebih-lebihkan 
untuk kepentingan  komersil produser filmnya.

Sepertinya  kurang lengkap atau "afdol", kalau  sekiranya sebuah kota 
Metropolitan yang berkarakter kosmopolitan dan multikultural tidak 
memiliki sebuah Chinatown
Di Chinatown modern, budaya, bangunan arsitektur  dan simbol-simbol 
Tionghoa sengaja di konservasi sebagai objek turis yang unik yang  
tak jarang merupakan sebuah jantung kota yang penuh vitalitas 
kehidupan pada malam harinya. Jadi Chinatown bukan saja sebagai pusat 
pemukiman dan  komersial bagi orang Tionghoa saja, melainkan juga 
sebagai tempat hiburan,  tempat perbelanjaan  yang murah  dan tempat 
restoran  Tionghoa yang populer 

Akhir-akhir ini banyak kota-kota  besar dunia merenovasi, 
merehabilitasi  atau membangun Chinatown-Chinatown baru, seperti di 
Seoul (Korea), Dubai (Uni Emirat Arab), Havana (Cuba), St. Petersburg 
(Russia, sebelumnya bernama Leningrad), Dublin (Irlandia), tetapi 
rencana  ini ditentang oleh kelompok nasionalis yang anti kaum 
imigran, Aberdeen (Scottlandia), Darwin (Australia)  yang 
direncanakan akan selesai tahun 2010, dan Dobroiesti, Bucharest 
(Rumania).  Pada saat sekarang Chinatown sedang mengalami 
kembangkitan kembali (renaisance)  dan populer di beberapa negara, 
sebagai salah satu elemen dan daya tarik  kota. 

Chinatown-Chinatown di beberapa negara sebelumnya juga mengalami 
pasang surut dan jatuh bangun seiring dengan perkembangan dan gejolak 
politik yang terjadi di negara tersebut, seperti di Indonesia  dengan 
PP 10, 1960,  pogrom Mei 1998, dan yang  selama kekuasaan Suharto   
segala bentuk ekspresi dan bahasa Tionghoa dilarangnya.

Di Vietnam, ketika terjadi konflik Sino-Vietnam, banyak orang 
Tionghoa atau Hoa (boat people) yang melarikan diri keluar negeri,  
karena dimusuhi dan dicurigai.

Di  India ketika terjadi perang perbatasan antara Tiongkok dan India 
pada tahun 1962 , banyak orang Tionghoa  India dari  Kalkutta, 
didiskriminasi dan dicurigai yang akhirnya  harus berimigrasi ke 
negara lainnya. Dari 20,000 penduduk warga Tionghoa yang tinggal di 
Kalkutta, sekarang hanya tinggal sekitar 2000 orang saja. 

Di Korea Selatan ketika jaman kekuasaan  Park Chung Hee orang 
Tionghoa dikenakan peraturan yang diskriminatif  dan dilarang 
memiliki tanah,  sehingga banyak yang meninggalkan Korea Selatan pada 
tahun 1960 s/d 1970-an. Dari 120,000 orang Tionghoa yang pernah  
tinggal di Korea Selatan, sekarang tinggal hanya 21,000 orang, tetapi 
belakangan jumlah orang Tionghoa  (terutama dari etnis Korea yang 
berasal  dari Manchuria, Yanbian autonomy), bertambah kembali sesudah 
membuka  hubungan diplomatik  antara kedua negara dan hubungan 
perdagangannya yang  bertambah intensif.

Di Burma (Myanmar) semasa kekuasaan diktaktor  Ne Win (yang ironisnya 
berasal dari keturunan Tionghoa juga) banyak warga Tionghoa yang 
meninggalkan Burma selama tahun 1967-1970, karena politik "Burmese 
Way of Socialism" yang  sempit, radikal serta anti asing (Tionghoa), 
dan pada tahun 1960 telah pecah kerusuhan anti Tinghoa disana.

Di Kamboja selama kekuasaan Pol Pot  dari Khmer Merah, warga Tionghoa 
Kamboja tidak berbeda nasibnya dengan penduduk aslinya yaitu dibunuh, 
sehingga banyak yang melarikan diri keluar negeri. 

Di Cuba, ketika Fidel Castro memenangkan revolusi, banyak orang 
Tionghoa  harus meninggalkan  tokonya dan banyak yang pindah ke 
Amerika, karena perdagangan privat dianggap tidak sesuai dengan 
sistim sosialisme-nya.  

Di Peru, ketika  pada jaman kekuasaan diktaktor Juan Velasco Alvarado 
(1968-1975),  banyak warga Tionghoa Peru meninggalkan negerinya, 
karena politiknya yang radikal kekiri-kirian  yang  merusak 
perekonomian Peru. 

Di Jerman, sebelum perang rezim Nazi berkuasa, di kota pelabuhan 
Hamburg sudah ada Chinatown sejak lama, yaitu didaerah  lampu merah 
sekitar St. Pauli  atau sering disebut   Reeperbhan, tetapi Chinatown 
tersebut dihancurkan oleh polisi rahasianya Gestapo sebelum perang 
dunia kedua.

Terakhir di kepulauan Solomon pada tahun 2006, dimana para pengunjuk 
rasa yang menentang PM. Snyder Rini membakar pertokoan  Chinatown di 
ibukota Honiara. Di Tonga hal yang hampir sama terjadi disana, dimana 
pertokoan  Chinatown di  Nuku'alofa, ibukota Tonga dijarah dan 
dibakar, ini berawal dari  konflik politik dikalangan elit 
pribuminya. Kedua negara tersebut terletak di kawasan Pasifik Selatan.

Banyak Chinatown di beberapa negara  yang sebelumnya  pernah ada, 
telah tidak ada lagi, punah,  beralih fungsi atau ditinggalkan, 
seiring dengan pergolakan dan konflik politik dalam dan luar negeri, 
dimana tidak jarang bahwa warga Tionghoa setempat dijadikan kambing 
hitam dengan beraneka ragam tuduhan, alasan dan dalih seperti,  
tuduhan  komunis (di Indonesia), tuduhan  kapitalis (Vietnam, 
Kamboja, Cuba, dll). Mereka juga ada yang menjadi korban konflik  
antara  Tiongkok-India, Tiongkok-Indonesia dan  Tiongkok-Vietnam.  
Selain itu juga sering dituduh  ingin mendominasi perekonomian 
nasional.

Walaupun warga Tionghoa setempat telah tinggal lama beberapa generasi 
di negara tersebut dan tidak ada sangkut pautnya lagi dengan negeri 
Tiongkok, tetapi mereka tetap  diidentikkan  dengan warga   Tiongkok, 
seperti misalnya di Indonesia, India dan Vietnam, dll.  Mereka sering 
menjadi sasaran korban dari konflik itu sendiri, semua jenis "isme" 
sering dituduhkan kepadanya  seperti  pengikut paham Komunisme atau  
Kapitalisme, tergantung dari kebutuhannya, termasuk menjadi korban 
Nasionalisme sempit atau  Sosialisme radikal dan  utopia.

Jadi hubungan antara Tiongkok dengan negara-negara  tersebut  tetap 
ikut menentukan dan  mempengaruhi nasib  minoritas  Tionghoa di 
negara tersebut, walaupun warga etnis Tionghoa ini telah  menjadi 
warganegara negara  setempat, tidak ada hubungan lagi dengan 
Tiongkok, loyal terhadap negara dimana mereka tinggal dan hidup, 
sudah ganti nama,  dan  sudah beberapa generasi  tinggal di negara 
tersebut  serta tidak  tidak dapat berbahasa Mandarin lagi. 

Sepertinya  percuma atau  sia-sia saja  untuk meyakinkannya, walaupun 
sudah  mengaku dan membuktikan dirinya  telah memberikan kontribusi 
terhadap negaranya.. Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa 
nasib minoritas  ini  sering dijadikan sandera politik kalau 
sekiranya terjadi konflik antara negara dimana nenek moyangnya 
berasal dengan  negara yang mereka tinggal sekarang.

Tetapi pandangan ini mengalami perubahan sekarang, seiring dengan 
status dan    pengaruh   Tiongkok di panggung dunia. Apresiasi 
terhadap bahasa dan kebudayaan Tionghoa mulai tumbuh di beberapa 
negara, seperti di Korea Selatan yang sebelumnya mendiskriminasi 
warga Tionghoanya dan  sekarang mulai membangun Chinatown kembali 
yang sebelumnya telah  punah (seperti di Incheon), dimana Tiongkok 
sekarang adalah partner dagang yang terbesar Korea Selatan, 
melampaui  volume perdagangan dengan Amerika Serikat.

Maka Korea Selatan berkepentingan memelihara  hubungan baiknya  
(ekonomi, politik dan budaya) dengan Tiongkok dan  malah banyak 
mahasiswanya yang belajar di Tiongkok, sesudah Amerika yang  menjadi  
tujuan negara untuk melanjutkan pendidikan tingginya, demikian juga 
dengan beberapa negara lainnya yang telah mengubah pandangan dan 
kebijaksanaan politiknya terhadap etnis minoritas warga Tionghoa yang 
sering dengan keliru mengkaitkannya  dengan negara  Tiongkok.

Di Timur Tengah-pun akan dibangun Chinatown yang modern seperti  yang 
akan dibangun di Dubai, Uni Arab Emirat. Chinatown modern  ini 
dibangun pada tahun 1984  diatas lahan 34 ha yang dinamakan 
Distribution Center for Chinese Commodity (Dubai), dengan biaya 
investasi sebesar $300 juta dan dapat menampung sekitar 4000 
perusahan Tiongkok, lengkap dengan shopping mall, apartment dan 
fasilitas lainny

Dubai dikenal  sebagai  pelabuhan bebas (free port for entreport 
trade), dan serng dijuluki sebagai Hongkong-nya Timur Tengah. Proyek 
ini adalah proyek kerja sama antara pemerintah Tiongkok dengan Uni 
Emirat Arab, yang akan berfungsi sebagai ajang promosi barang-barang 
ekspor Tingkok  ke Timur Tengah dengan penduduknya yang berjumlah 
sekitar 400 juta orang (People's Daily, April 08, 2004).

Apakah Chinatown-Chinatown modern ini akan dapat berfungsi seperti 
dengan Chinatown lainnya yang berkembang secara alamiah, harus 
dilihat nanti hasilnya, karena Chinatown modern yang tumbuh 
belakangan ini, dibuat secara artifisial atau  sintetis. Kadang-
kadang Chinatown  ini dibuat sebagai "marketing gimmick", seperti  
kawasan "kampoeng Cina" di  real estate Kota Wisata, Cibubur, Jakarta.

Tumbuhnya Chinatown  tradisionil di negara-negara Asia Tenggara 
awalnya pertama-tama  terletak pada kota-kota sekitar pelabuhan, 
dimana orang  Tionghoa datang  untuk pertama kalinya datang ke negeri 
baru itu, sebagai pedagang, tenaga buruh pertambangan atau  kuli, 
dll, seperti di Batavia, Semarang, Medan, Bangka, Kalimantan Barat,  
Malaka, Manila, Saigon (Ho Chi Minh City), Singapura, Bangkok, dll. 
Biasanya Chinatown terletak di lokasi  berdekatan dengan  pelabuhan 
yang harga  sewa atau belinya (bangunan atau tanah) relatif murah , 
kadang-kadang malah berdekatan dengan kawasan lampu merah kota 
pelabuhan seperti Chinatown di Belanda, Amsterdam (Zeedijk).

Chinatown di Asia Tenggara mempunyai ciri-ciri khas bangunan  
(terutama gaya atapnya) yang  mengikuti gaya arsitektur Tionghoa, 
yaitu rumah deret yang berhimpitan dan hampir tanpa halaman samping, 
seperti bangunan Ruko sekarang atau bangunan modern Town Houses yang 
bertingkat dua, sedangkan bangunan-bangunan Chinatown di negara 
lainnya seperti di Amerika dan Eropah, pada umumnya mereka membeli, 
mengontrak atau menyewa bangunan yang telah ada dan jarang pada  
awalnya membangun sendiri seperti Chinatown di Asia Tenggara, 
sehingga bangunan di Chinatown mereka arsitekturnya sama dengan 
bangunan lainnya yang  sudah ada, kecuali hiasan, dekorasi, tulisan 
mandarin, warna, ornamen  dan simbol budaya Tionghoa lainnya, 
misalnya Chinatown di San Francisco.Tetapi ini bukan berarti tidak 
ada sama sekali bangunan yang bergaya arsitektur Tionghoa disana.

Di Kanada dan Amerika, karena banyak pendatang relatif baru yang 
beruang yang berasal dari Hongkong dan Taiwan, maka banyak  dari 
mereka yang tinggal di  kawasan pemukiman-pemukiman Chinatown modern 
dan  mahal, terpisah antara tempat tinggal dan kerjanya, jadi  bukan 
Chinatown dalam pengertian klasik lagi.

Secara tradisionil, tempat tinggalnya  sekaligus merangkap sebagai 
tempatnya berdagang juga, jadi dua fungsi (rumah dan tempat berkerja) 
digabung satu. Halaman rumah biasanya  hampi tidak ada, karena 
langsung menghadap jalanan, kalau ada ruangan terbuka maka 
diletakkan  di tengah (cemceh) atau belakang rumah. 

Dengan demikian mereka dapat berhemat tanpa mengeluarkan uang lagi 
untuk biaya transportasi perjalanan  dan dapat membuka tokonya sampai 
jauh malam tanpa batas waktu kerja,  serta anggauta keluarga lainnya  
dapat dilibatkan dalam kegiatan usaha dagangnya. 

Pemukiman orang Tonghoa di Chinatown tradisionil ini  biasanya 
mempunyai kepadatan tinggi dan kadang-kadang kondisi sanitasi dan 
hygeninya  buruk. Di rumah ini suka dijumpai sejenis industri kecil 
atau home industry. 

Ciri-ciri khas lainnya  dari Chinatown tradisionil adalah  selalu 
sibuk, padat  dengan manusia dan bangunan, agak kotor, bau hio dan 
masakan, penuh warna-warni, berisik,  tetapi skalanya tetap 
manusiawi, karena semuanya dapat dicapai dengan berjalan kaki dan 
bernuansa eksotis serta  unik

Biasanya didalam kawasaan Chinatown tradisionil  tersebut, dibangun 
semua fasilitas pendukungnya seperti, kelenteng, sekolahan, toko 
buku, pusat perbelanjaan, klinik, toko obat, bioskop, pasar, pusat 
jajan, dll. Jadi benar-benar seperti perkampungan  mini  seperti di  
Tiongkok, dalam skala kecil. Disini mereka dapat memelihara identitas 
budayanya dan berinteraksi  sesamanya serta   saling mendukung.

Kurang tepat kalau Chinatown  klasik ini disamakan  dengan  Ghetto 
orang Tionghoa, yang total terisolasi dengan masyarakat lainnya, 
karena kegiatan bisnis mereka  dilakukan sebagian besar dengan 
penduduk atau pribumi setempat, karena mereka berfungsi sebagai 
pedagang perantara yang memasarkan hasil bumi setempat dan mengimpor 
serta menjual barang-barang kebutuhan kepada penduduk setempat.  Pada 
festival budaya, mereka bermain Barongsy dan Liong dll.sebagai sarana 
ekspresi seninya. 

Di Jakarta umumnya Glodok atau Pancoran dikenal sebagai Chinatown-nya 
Jakarta, dan  Princen Park  di Mangga Besar, atau belakangan bernama 
Lokasari, dahulu juga berfungsi sebagai Chinatown-nya Jakarta. 
Princen Park sebenarnya  lebih dikenal dengan tempat  hiburannya,  
dengan banyaknya Bioskop yang memutarkan film-film Tionghoa. Awalnya 
Princen Park diperuntukkan  sebagai tempai hiburan kaum elit Belanda, 
tetapi selama perkembangannya, tempat ini lebih dikenal  sebagai  
tempat hiburan warga Tionghoa Jakarta, dan terutama sesudah Belanda 
meninggalkan Indonesia.

Di Princen Park juga terdapat bar dan restoran yang terkenal seperti 
Happy World, dimana para selebriti Tionghoa pada waktu itu  dapat 
berdansa disana. Restoran-restoran lainnya yang pada hari Minggu  
digunakan  juga sebagai tempat acara pernikahan dan  tak jauh dari 
Princen Park juga terdapat pusat olahraga renang "Chung Hwa", jadi 
serba Tionghoa, dari mulai bioskop, restoran, toko buku, kolam 
renang,  toko musik, tukang  photo, tukang koyo yang ahli kuntaw,  
sampai  tukang kwamia dan tempat plesir lainnya, termasuk rumah sakit 
Tionghoa  "Jang Seng Ie" (harus ganti nama menjadi Husada) di Mangga 
Besar yang berjarak sekitar 1 km dari Princen Park.

Tetapi Princen Park  yang penuh dengan kehidupan dan vitalitas 
dimalam harinya  yang dikenal pada waktu dahulu sudah tidak 
dirasakan  lagi denyut kehidupannya sekarang, walaupun  telah   
dibongkar dan dimodernisasi  dengan pertokoan dan pusat perbelanjaan  
modern seperti sekarang. Tetapi walaupun begitu, kawasan Mangga Besar 
Raya tetap saja dianggap  sebagai Chinatown juga, dimana kehidupan 
berjalan hampir 24 jam tanpa henti, terutama dimalam hari (night 
life),  maka ada yang menamakannya  dengan Las Vegas-nya  kota 
Jakarta.

Jakarta yang mempunyai penduduk dari etnis Tionghoa yang jumlahnya 
besar, amat disayangkan  tidak memiliki sebuah "Chinatown" yang 
tertata rapi dan terencana seperti di Singapura, dimana Chinatown-nya 
(sebenarnya seluruh Singapura adalah sebuah Chinatown raksasa) telah 
menjadi salah satu objek wisata  yang populer seperti Little India. 

Glodok atau Pancoran yang disebutkan sebagai Chinatown-nya  Jakarta 
keadaannya kini sangat  memprihatinkan, amburadul, kotor, macet lalu 
lintasnya, tak nyaman, kalinya bau dan terpolusi, udaranya tercemar, 
tidak ada penghijauan, dan  hampir tidak ada bangunan-bangunan yang 
berarsitektur Tionghoa lagi, tak ada gerbang (Paifang)  yang menjadi 
ciri khas Chinatown dinegara lain serta  jarang turis yang berkunjung 
kesana. Apalagi sebagian pernah  dijarah dan dibakar pada waktu 
kerusuhan anti Tionghoa di tahun 1998. 

Glodok juga hampir tidak memiliki identitas bangunan  bergaya 
arsitektur Tionghoa atau ciri-ciri budaya Tionghoa lagi, dan satu-
satunya (setelah kedutaan besar Tiongkok  dekat Glodok dihancurkan) 
bangunan yang tersisa adalah gedung Sin Ming Hui ( harus ganti nama 
juga menjadi Chandra Naya), dan inipun hampir digusur oleh sebuah 
developer (pengembang) yang ironisnya adalah berasal dari  
pengembang  etnis Tionghoa sendiri (Modern Group), bangunan Sin Ming 
Hui sendiri telah dikangkangi oleh bangunan lain diatasnya, bangunan-
bangunan lainnya yang bergaya arsitektur Tionghoa disekitarnya juga 
telah hilang. 

Sebuah hal yang  ironis lagi adalah bahwa  seorang senior pimpinan 
sebuah organisasi Tionghoa  yang terkenal di Jakarta juga  mendukung 
ide penggusuran bangunan Sin Ming Hui tersebut, dengan dalih akan 
dipindahkan ke Taman Mini Indonesia yang lebih besar lahannya  dan 
yang dimiliki oleh  keluarga Soeharto.

Tetapi untungnya hal ini tak sampai terlaksana, karena  Dinas  
Kebudayaan  dan Permusiuman DKI Jakarta menentangnya, karena bangunan 
Sin Ming Hui  ini dikategorikan  sebagai bangunan cagar budaya kota 
Jakarta yang  bersejarah dan harus dilestarikan, karena merupakan  
bagian daripada sejarah kota Jakarta seperti gedung Arsip Nasional 
yang terletak di jalan Gajah Mada.  Untuk usahanya ini, maka Pemprov 
DKI Jakarta layak mendapatkan penghargaan.

Sebenarnya kalau Glodok  (karena sejarahnya) dan daerah sekitarnya, 
ditata dan direhabilitasi kembali sesuai dengan konsep perkembangan 
kota Modern, maka Glodok dapat menjadi  Chinatown modern dengan "City 
Walk-nya " yang nyaman dan menjadi  objek wisata baru  yang  
berpotensi. Chinatown Glodok  dapat diintegrasikan dengan bangunan 
bersejarah lainnya  seperti  Musium Fatahilah, Musium Wayang, 
Pelabuhan Sunda Kelapa dengan Musium Baharinya, Stasiun Kota,  serta 
bangunan-bangunan bersejarah lainnya di  sepanjang Kali Besar. 

Ide-ide seperti ini sebenarnya sudah ada tetapi belum dapat 
direalisasi. Selama ini sebenarnya  sudah ada program rehabilitasi 
infrastruktur di Glodok, seperti perbaikan saluran pembuangan, 
jalanan dll. tetapi untuk membangun citra Glodok sebagai Chinatown 
yang modern dan sebagai pusat wisata modern, diperlukan usaha, dana, 
manajemen, tenaga profesional  dan kemauan politik yang serius  dari 
pihak penyelenggara kota Jakarta. 

Mungkin ide-ide rehabilitasi Chinatown kota Jakarta ini,  dapat 
menjadi salah satu tema  pembangunan kota Jakarta  yang sepatutnya   
dipertanyakan kepada calon-calon Gubernur DKI Jakarta mendatang, 
apakah mereka telah memperhatikannya? 
Ataukah  sudah masuk  dalam  visi program pembangunan kota Jakarta 
mendatang ? mungkin hal  ini dapat menjadi salah satu kriteria 
pemilihan calon Gubernur pengganti Sutiyoso yang mendatang. 

G.H.


Reply via email to