Koran "Sinar Harapan" kemarin, Selasa, 20 Februari 2007.

Lampion Sastra
Membaca Tiga Penulis Silat "Tempo Doeloe"

Oleh
Sihar Ramses Simatupang

Jakarta - Cerita silat yang beberapa di antaranya menerjemahkan karya-karya 
tentang kehidupan pendekar Mandarin, merupakan satu jenis bacaan yang 
memiliki penggemar tersendiri.
Tema ini juga yang diangkat di dalam momen Lampion Sastra I yang diadakan di 
Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Jumat (16/2).

Ada tiga pembaca di dalam momen itu yaitu Putu Wijaya, Aseng Tralala dan 
Madin Tsyawan. Ineke Febriyanti yang juga diundang sebagai penampil tak 
dapat hadir karena sesuatu hal. Kehadirannya digantikan dengan penampil lain 
yaitu Elisa dari Perhimpunan Penulis Yin Hua.
Menurut Ketua Komite Sastra, Zen Hae, acara ini dilakukan setelah meminta 
pertimbangan "penggemar fanatik cerita silat" budayawan Nirwan Ahmad Arsuka 
dan mantan Pemimpin Umum Majalah Cerita Silat Rimba Hijau Nasruddin Madjid 
sebagai narasumbernya.
Karya yang dibacakan di momen itu adalah karya Asmaraman Sukowati Kho Ping 
Hoo berjudul "Bu Kek Siansu", Chin Yung "Kisah Membunuh Naga" (Ie Thian To 
Liong Kie) dan Khu Lung "Peristiwa Bulu Merak" dan "Pendekar Binal". Mereka, 
tiga di antara banyak penulis cerita yang mengisahkan tentang dunia 
persilatan - atau pun penerjemah cerita silat Tionghoa seperti Gan KH atau 
Gan KL.

Suasana yang digelar di momen Lampion Sastra itu pun suasananya dekat dengan 
tema yang dibacakan. Selain bertepatan dengan momen Gong Xi Fa Chai, tebaran 
kain merah dengan aksara China yang berwarna keemasan, menghias arena. Dari 
mulai lorong di samping Galeri Buku Jose Rizal Manua hingga lampion bahkan 
di podium.
Setiap sastrawan bahkan menyalakan hio dan menyajikannya di podium saat akan 
membaca karya-karya para penulis cerita silat itu.

"Wah, yang paling sulit untuk membacakan karya ini justru nama dan kata-kata 
dalam bahasa Chinanya," ujar Aseng. Kendati demikian, aktor yang terlibat 
dalam pementasan Lab Teater Syahid di Bentara Budaya - beberapa bulan 
silam - tetap lancar dan lantang vokalnya pada acara ini. Dengan 
kemampuannya menempatkan dialog antara tokoh, Aseng cukup fasih mengisi 
pembacaan, seperti Madin Tsyawan dan "senior"-nya Putu Wijaya.

Sastra atau Bukan?
Nama Kho Ping Hoo merupakan nama penulis cerita silat yang diminati, bahkan 
beberapa sastrawan sebutlah Seno Gumira Ajidarma, Saut Situmorang, juga 
Akmal Nassery Basral sangat meminatinya. "Setebal ini, sampai bukunya tanpa 
halaman dan aku memang bisa membacanya beberapa hari," ujar Akmal.
"Meski mengandung keunggulan sastrawi, cerita silat kurang menarik perhatian 
para kritikus sastra. Selama ini cerita silat hanya dianggap sebagai bacaan 
hiburan bukan karya sastra serius," papar Zen Hae,
Ketua Komite Sastra.
Padahal, ungkap Zen, bahkan Ajip Rosidi penah menulis di Star Weekly pada 
edisi 8 Februari 1958 dan diterbitkan ulang di majalah cerita silat Klasik 
pada edisi 2 - tanpa tahun, sastrawan Ajip Rosidi pernah menuliskan catatan 
bertajuk "Cersil yang Tegang, Plastis dan Hidup. Bahasanya Hendaknya 
Diperhatikan Ahli Sastra Indonesia".
Ajip kemudian mengatakan bahwa "sebagai bacaan hiburan cerita silat ini 
mempunyai daya tarik utama: ketegangan. Dalam cerita silat, ketegangan ini 
biasa terpelihara yaitu berupa pertempuran-pertempuran
yang biasanya dilukiskan penyadurnya dengan teliti dan lengkap sampai 
gerak-gerak kecil."
Menurut Zen Hae, selain merupakan cikal bakal penulisan cerita silat di 
Indonesia dan memberikan inspirasi berharga buat pengarang cerita silat 
maupun penulis sastra di Indonesia, cerita silat juga merupakan karya 
sastra.
Baginya, sebagai karya sastra dia bisa memberikan alternatif dari 
kecenderungan umum karya sastra serius karena cersil mengolah kisah 
kependekaran dengan lihainya dan berkelindan dengan
unsur intrinsik lainnya. 

Kirim email ke