Sejarah Imlek & Khonghucu Di Indonesia
     

   
  Beberapa tahun yang lalu seorang mentalis terkenal keturunan Tionghoa yang 
bernama Dedi Corbuzier dalam sebuah tabloid keluarga pernah berkata, andai pada 
saat hari raya Imlek berbarengan dengan sebuah panggilan lamaran kerja, maka ia 
akan lebih memprioritaskan lamaran kerja tersebut dibandingkan dengan merayakan 
Imlek, sebab baginya Imlek tidak memiliki pengaruh dan makna apa-apa, sehingga 
dianggap seperti hari-hari biasa yang tidak ada keistimewaannya sama sekali dan 
tidak perlu dirayakan apalagi dibesar-besarkan. Bagi seorang Dedi secara 
pribadi tentu saja hal ini adalah sah-sah saja serta tidak berpengaruh apa-apa, 
tetapi ketika pernyataan tersebut dimuat pada sebuah tabloid, kontan saja hal 
ini menimbulkan respon dari publik, khususnya bagi orang Tionghoa Indonesia 
yang beragama Khonghucu. Pernyataan Dedi sebagai orang Indonesia keturunan 
Tionghoa yang terkena culture shock menurut hemat penulis amatlah menjengkelkan 
dan menyakitkan bagi sebagian orang yang
 menganggap Imlek sebagai sesuatu yang sangat sakral dan penting.
   
   Tahun Baru Imlek bagi penganut Khonghucu adalah merupakan hari raya 
keagamaan yang sangat penting, sakral dan bermakna, mengapa demikian? karena 
jika ditinjau dari aspek sejarah Imlek distandarisasi pertama kali pada jaman 
dinasti Han (202 SM-220) berdasarkan perhitungan kelahiran Nabi Khong Hu Cu 
yang lahir 551 SM, hal ini bisa dilihat dari tahun Imlek yang jatuh pada saat 
ini adalah yang ke 2558, hitungan tersebut diambil dari 2007+551 = 2558. 
Sedangkan jika ditinjau dari aspek sosial kemasyarakatan makna Imlek adalah 
semangat bersyukur kepada Tuhan, semangat memperbaharui diri dan kekeluargaan 
serta kebersamaan.
   
  Klaim Imlek sebagai Tahun Baru orang Tionghoa adalah kenyataan yang tidak 
bisa dibantah sama sekali sebab begitulah kenyataannya dan hal ini juga berlaku 
bagi hari raya Cheng Beng, Pek Chun, Cap Go Meh dsb (yang padahal jelas-jelas 
hari raya tersebut adalah merupakan hari raya agama Khonghucu), namun mungkin 
menurut beberapa para ahli kenyataan tersebut terinspirasi dengan apa yang 
dikatakan oleh William McNaughton “Hal–hal yang diajarkan oleh Khong Hu Cu 
adalah peradaban yang sudah berabad-abad lamanya dipegang dengan sangat teguh 
oleh bangsa Tionghoa maka tidak berlebihan jika dikatakan Tiongkok adalah 
Khonghucu begitu juga hal nya Khonghucu adalah Tiongkok (Paul Strathen, 
Confucius In 90 Menits)“ serta seorang tokoh Melayu Tionghoa yang bernama Kwee 
Tek Hoay juga menyatakan bahwa semua orang Tionghoa adalah Khonghucu, sebab 
sebelum Tiongkok menjadi Republik, agama Khonghucu/Konfusianisme merupakan 
sistem mengenai moralitas, kehidupan sosial-politik, dan religi seluruh
 masyarakat Tiongkok. Sehingga pengaruh Konfusianisme sangat mengakar dalam 
kehidupan orang-orang Tionghoa sampai abad 21 ini. Bahkan beberapa ahli Barat 
menyimpulkan bahwa Konfusianisme merupakan “state religion” bagi 
kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno. Juga diakui atau tidak Konfusianisme sangat 
mempengaruhi cara berprilaku dan berpikir orang Jepang, Korea, Vietnam dsb. 
Korea dibawah dinasti Chosun telah memproklamirkan diri sebagai “Negara 
Khonghucu”
  Sehingga di Indonesia juga konon ada catatan tidak resmi yang menyatakan 
bahwa dahulu hampir semua orang Tionghoa di Indonesia adalah Khonghucu ,  hal 
ini diperkuat dengan adanya Penetapan Presiden No. 1 Th 1965, Khonghucu diakui 
sebagai salah satu agama besar yang memiliki peranan dan sejarah dalam 
perkembangan Indonesia sehingga mendapatkan perlakuan yang sama dengan agama 
yang lainnya, apalagi sebelum keluarnya Inpres No 14 Th 1967 yang sangat 
diskriminatif itu, dimana diterima atau tidak karena dikriminasi sosial dan 
birokrasi oleh Inpres tersebut telah menyebabkan banyaknya penganut Khonghucu 
yang eksodus. Mengutip Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa “bahwa 
sejarah harus diungkap secara jujur, fairness dan terbuka meskipun terkadang 
pahit untuk dirasakan. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan 
kamu tidak bisa berbuat adil, kata Al-Qur’an”
   
  Di Indonesia Imlek secara nasional pertama kali diprakarsai oleh MATAKIN 
(Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan diklaim sebagai hari raya agama 
Khonghucu. Karena memang Indonesia tidak  pernah mengenal hari raya suatu 
golongan etnis tertentu. Sehingga penetapan Imlek sebagai hari raya dikarenakan 
adanya pengakuan Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui di Republik ini 
(sesuai dengan sikap PBB terhadap agama Khonghucu/Confucianism) dan sejarah di 
Indonesia membuktikan diantara organisasi-organisasi Tionghoa yang lainnya 
memang perlu diakui secara jujur dan terbuka bahwa MATAKIN-lah sebagai pionir 
(dengan bantuan Gusdur dan beberapa tokoh agama lainnya) yang sejak dahulu (pra 
reformasi) paling konsisten memperjuangkan persamaan hak-hak etnis Tionghoa dan 
agama Khonghucu pada khususnya walaupun dalam kukungan dan intimidasi rezim 
Orde Baru yang sangat diskriminatif itu. 
   
  Sekedar flash back ketika jaman Orde Baru Imlek dianggap sebagai suatu hal 
tabu dan menyesatkan yang harus dieliminasi keberadaanya, sebagai contoh ketika 
Surjadi Sudirjda menjadi Gubernur Jakarta dikatakan bahwa Imlek dilarang 
dirayakan, Imlek hanya boleh dirayakan dirumah-rumah saja secara tertutup, hal 
ini pun diperkuat Direktur Urusan Agama Budha Depag RI Drs. Budi Setyawan yang 
didasari oleh surat dari Dirjen Bimas Hindhu & Budha Depag No 
H/BA.00/29/1/1993, dipelbagai surat kabar menyatakan larangan merayakan Imlek 
di Vihara & Cetya (Sinar Pagi, 23 Januari 1993). Walubi melalui Dewan Pimpinan 
Pusatnya pun ikut-ikutan mengeluarkan surat edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, 
tertanggal 11 Januari 1993 menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya 
agama Budha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek 
dengan menggotong Toapekong, Barongsai dll. Pada masa itu bisa dikatakan semua 
fenomena yang mengidap culture shock itu berbondong-bondong menyerang
 Imlek, bahkan semua orang Tionghoa yang bukan beragama Khonghucu seolah-olah 
memusuhi dan mejauhi Imlek, namun setelah Orde Reformasi bergulir lambat laun 
kenyataan menyakitkan itu menjadi berbalik arah, sekarang semua orang Tionghoa 
Indonesia mengklaim bahwa Imlek adalah sebagai hari raya tahun barunya. Dalam 
hal ini MATAKIN telah berjasa besar dalam memperjuangkan Imlek menjadi sesuatu 
yang diakui dan diterima oleh Negara. Dan perlu diingat bahwa Imlek memang 
bukan milik siapapun, melainkan suatu perayaan besar yang dimiliki dunia saat 
ini yang berdasarkan fakta sejarah ilmiah bahwa Imlek lahir dan distandarisasi 
oleh dinasti Han untuk menghargai jasa besar yang telah diberikan Khong Hu Cu 
pada masyarakat banyak. Maka dari itu juga para sinolog barat selalu menyebut 
Imlek dengan Anno Confuciani/AC (dihitung berdasarkan tahun kelahiran Khong Hu 
Cu) seperti halnya Anno Domini/AD (in the year of our lord)
   
  Apapun itu hendaknya tidak perlu dipermasalahkan lagi, akan tetapi atas nama 
kejujuran dan sportifitas hal ini perlu dicatat oleh sejarah secara benar 
adanya dan konsekuen. Sebaiknya etnis Tionghoa Indonesia yang sekarang sudah 
mendapatkan hak-haknya dengan lebih baik perlu memberikan sumbangsih yang nyata 
bagi Indonesia tercinta, sebab sebagai orang Indonesia yang asli (menurut UU 
Kewarganegaraan yang baru), sekarang sudah waktunya seluruh komponen bangsa 
untuk bangkit bersama bersatu mengikis segala krisis yang kita alami dinegeri 
ini, tanpa melihat asal-usul, golongan tertentu akan tetapi dengan melihat 
suatu fenomena sebagai anak bangsa yang sedang mengalami kesusahan bersama 
sebagai saudara sebangsa dan setanah air. 
   
  Karena keadaan demografi dan landsekap politik sekarang ini sangatlah 
berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homogenitas diatas 
keragamaan tidaklah mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi bukan 
cuma nasional tetapi juga multinasional. Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan 
semakin mendekati konfigurasi kebudayaan dunia. Indonesia akan menghadapi 
kenyataan semakin berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, Tiongkok, 
Jepang, Korea, India dsb. Keanekaan tidak hanya antar suku bangsa yang telah 
ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain. Jadi konsep kebangsaan zaman kini 
mungkin haruslah menjadi suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada 
semangat internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia 
  sebab seperti apa yang dikatakan Khong Hu Cu bahwa Semua Manusia Adalah 
Bersaudara.
   
  Karena Tuhan tidak pernah membedakan manusia, tidak ada seorangpun yang 
diistimewakan dan tidak ada suatu kaum yang ditinggikan diatas yang lainnya. 
Dan bukankah Bung Karno pernah menegaskan bahwa Bhineka Tunggal Ika janganlah 
dilihat secara statis, melainkan harus diartikan secara dinamis. Kata beliau : 
Bhineka = das Sein yakni keadaan/realitas yang terlanjur sudah ada, tetapi 
Tunggal Ika = das Sollen yakni tujuan yang kita cita-citakan bersama. Dan kita 
sedang berada di “das Sein” menuju “das Sollen” atau dalam rangka menuju nation 
building dari “persukuan” kita menuju “ke-Indonesia-an (wawasan kebangsaan) dan 
bahkan mungkin nanti menuju pada perdamaian dunia.
   
  Harkat dan martabat seseorang berpulang pada dirinya masing-masing, setiap 
orang berpotensi untuk selamat, karena setiap individu dianugerahi fitrah oleh 
Tuhan. Maka dari itu siapapun dapat menjadi orang yang bijak / soleh / al-ihsan 
/ tzun tze. Bukan karena keanggotaan seseorang terhadap suatu institusi tetapi 
yang penting adalah pengalaman kualitas kemanusiaanya. Bukan pula banyak 
sedikitnya pengetahuan agama seseorang yang penting, melainkan ketulusan hati 
dan kesetiaanya kepada hal yang benar. 
   
  Semoga Semangat Imlek dapat membawa kita menjadi individu yang baharu dan 
senantiasa berbudi luhur sehingga dapat berguna bagi keluarga, masyarakat, 
bangsa dan negara.
   
  Shin Chun Khiong Hi       Shi Nian Khuai Le 
   
  Happy Anno Confuciani 2558
   
   

 
---------------------------------
Finding fabulous fares is fun.
Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find flight and hotel 
bargains.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke