buku ini dijual bebas/ga ya??
trus isinya banyak ngebahas arsitektur pecinan ga?
terima kasih.....
<Lia>
=====================================================================
--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "HKSIS" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> ----- Original Message -----
> From: I. Bramijn
> To: HKSIS
> Sent: Sunday, December 04, 2005 11:56 PM
> Subject: Kolom IBRAHIM ISA -- Menarik Pelajaran dari Hubungan
Indonesia-Tiongkok
>
>
> Kolom IBRAHIM ISA
>
> ----------------------
>
> Senin, 5 Desember 2005.
>
>
>
>
> Menarik Pelajaran dari Hubungan Indonesia-Tiongkok
>
>
>
>
> <Sebuah Tanggapan atas Resensi Mudiro ttg buku "Silang Budaya
Tiongkok-Indonesia", karangan Prof. Kong Yuanzhi>
>
>
>
>
> Mudiro, kenalan baik saya, akhli-asing pada Pustaka Bahasa Asing di
Beijing, RRT, sudah beberapa waktu pensiun, dan kini bersama
keluarganya berdomisili di Beijing, ----- menulis sebuah RESENSI
tentang buku sejarah hubungan Tiongkok-Indonesia. Buku penting ini
---- saya bilang buku ini penting, bahkan penting sekali --- meskipun
saya sendiri belum membacanya -- terbit pertengahan tahun ini di
Jakarta, berjudul "SILANG BUDAYA TIONGKOK-INDONESIA".
>
>
>
>
> Pantas-pantasnya sih, seyogianya ---- terlebih dahulu membaca
sendiri buku tsb, baru memberikan komentar apapun. Tapi, . . . kapan
saya bisa memperoleh buku itu? Sedangkan dari resensi Mudiro yang saya
baca, tidak diragukan bahwa buku in benar penting dan patut dibaca dan
dipelajari. Apalagi bagi pembaca yang berkepedulian terhadap hubungan
baik Indonesia-Tiongkok kini dan selanjutnya.
>
>
>
>
> Maka, saya sepenuhnya bersandar pada keyakinan saya bahwa resensi
Mudiro tentang buku Prof. Kong Yuanzhi itu dibuat sebaik-baik pendapat
dan kemampuannya.
>
>
>
>
> Menurut resensi Mudiro (RM), buku tsb terdiri dari 577 halaman, 11
bab dan 9 lampiran serta 400 butir catatan, notes dan footnotes.
Daftar pustakanya, terdapat judul karya 170 penulis. Dari 11 bab tsb ,
Bab IV yang membahas peranan bahasa, adalah bab yang terpanjang, 125
halaman. Menurut RM, bahasa dinilai komponen penting dalam pertukaran
kebudayaan kedua negeri.
>
>
>
>
> Tulis RM selanjutnya: Masalah hubungan budaya Indonesia-Tiongkok tsb
dilacak dari pelbagai segi, seperti antropologi, etnologi, agama,
sastra, bahasa, kesenian, olah raga, seni bangunan, kedokteran,
teknologi produksi, perdaganngan, makanan/minuman dan adat istiadat.
Hubungan budaya Indonesia-Tiongkok sudah ada sejak tahun 132 Masehi.
Selanjutnya pada awal abad ke-5, Fa Xian, seorang bikhu Tiongkok
singgah di Jawa. Kemudian pada abad ke-7 bikhu Yi Jing tiga kali
mengunjungi Sriwijaya, yang diketahui adalah salah satu isnpirasi
penting agama Budha di kawasan itu ketika itu. Seorang bikhu Tiongkok
lainnya bahkan mahir berbahasa Jawa Kuno. Selain agama Budha hubungan
kedua negeri dan rakyat terjalin melalui penyebaran agama Islam di
Indonesia oleh orang-orang Tiongkok. Dalam hal ini bahariwan Zheng He
memainkan peranan besar, disamping sumbangannya dalam hubungan dua
negeri di bidang pelayaran, perdagangan, ekonomi, sosial dan politik.
>
>
>
>
> Prof. Kong juga menstudi saling pengaruh antara kedua negeri dan
rakyat, Tiongkok dan Indonesia di bidang bahasa.
>
>
>
>
> RM selanjutnya mengemukakan tentang yang ditulis Prof. Kong mengenai
hubungan Indonesia-Tiongkok pada periode pertengahan abad lalu hingga
sekarang. Antara lain disoroti arti penting saling kunjungan para
pemimpin negara dan tokoh pelbagai lapisan dan kegiatan masyarakat.
Dicatat bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling dini
mengakui berdirinya Tiongjkok Baru, Republik Rakyat Tiongkok.
Khususnya dikemukakan arti penting peranan dan sumbangan Presiden
Sukarno dalam mengembangkan dan memajukan hubungan bersahabat dan
saling bantu antara kedua negeri dan rakyat. Ditulisnya lagi, bahwa
sejak muda Sukarno mengagumi Bapak Revolusi Tiongkok Dr. Sun Yat Sen
(Sun Zhongshan) yang menggulingkan dinasti Qing dan sangat bersimpati
pada "Srikandi" Tiongkok Soong Ching ling (Song Qingling).
>
>
>
>
> Bung Karno sendiri bisa dibaca dalam karya klasiknya LAHIRNYA
PANCASILA (1945), menegaskan bahwa beliau memperoleh inspirasi dari
SAN MIN ZHUYI-nya (Tiga Prinsip Politik) Dr Sun Yatsen, sebagai
pedoman perjuangan politik untuk kebebasan bangsa.
>
>
>
>
> Dikutip pula yang diulis Prof. Kong, apa yang dikatakan oleh
Presiden Sukarno, bahwa "persahabatan RI-RRT itu laksana jembatan
heibat yang menjamin keamanan dan perdamaian bangsa-bangsa Asia"
(halaman 290).
>
> Tulis RM selanjutnya, sejak Suharto turun panggung, pertemuan dan
kunjungan timbal-balik antara pemimpin kedua negara, berlangsung
berkali-kali.
>
>
>
>
> RM menutup tulisannya sbb:
>
>
>
>
> "Hubungan antara dua negara berkembang di Asia yang bersejarah
panjang dan bertahan lama, dengan lingkungannya yang luas dan saling
mengisi, telah mendorong maju perkembangan ekonomi dan kebudayaan
kedua pihak, menguntungkan saling pengertian kedua pihak dan
meletakkan dasar yang kokoh bagi kerjasama bersahabat kedua negeri,
dan memberi sumbangan positif bagi usaha perdamaian Asia dan dunia.
Bertolak dari pemahamannya yang demikian itu Prof. Kong Yuanzhi
mengungkapkan keyakinannya bahwa dengan usaha bersama dari kedua
pemerintah dan rakyat, maka persahabatan, kerjasama dan hubungan
budaya kedua negara pasti akan semakin berkembang".
>
>
>
>
> Sampai disitu kutipan saya mengenai RM yang meresensi buku Prof Kong
Yuanzhi berjudul SILANG BUDAYA TIONGKOK-INDONESIA.
>
>
>
>
> Karya Prof. Kong menurut RM adalah sebuah karya ilmiah penelitian
sejarah dan sosial yang sangat menarik dan berbobot. Juga sebagai
bacaan umum untuk menambah pengetahuan yang sangat mengasyikkan dan
berguna.
>
>
>
>
> Saya juga yakin bahwa karya Prof. Kong Yuanzhi tsb akan sangat
berguna untuk memperluas dan memperdalam wacana kita mengenai
perkembangan hubungan (budaya) Tiongkok-Indonesia dari abad ke abad.
Saya belum tahu apakah ada sejarawan kita yang tergerak fikirannya
lalu mengangkat penanya untuk melakukan penelitian dan penulisan
setara (bobotnya) seperti yang dilakukan oleh Prof. Kong, mengenai
sejarah hubungan Indonesia-Tiongkok dari abad ke abad hingga dewasa
ini. Yang jelas Prof Kong telah memberikan sumbangannya. Maka tidak
ada kata selain penghargaan kita kepada Prof. Kong dengan karyanya
tsb.
>
>
>
>
> Sebagai orang yang selalu menganggap Tiongkok dan rakyat Tiongkok
sebagai sahabat, bahkan lebih dari itu, sebagai kawan yang tidak
kendur saling memberikan solidaritasnya pada masing-masing perjuangan
untuk kemerdekaan dan mempertahankannya, sebagai sekutu dalam
memperkokoh solidaritas Asia-Afrika melawan kolonialisme dan
imperialisme, --saya tergugah untuk memberikan sedikit komentar, sbb:
>
>
>
>
> Karena dalam resensinya Mudiro tidak menulis, adakah dalam karyanya
itu Prof Kong pernah menyinggung masalah kendala-kendala yang ada
dalam hubungan Tiongkok-Indonesia, dalam periode yang ditinjau, ---
maka saya menjadi khawatir. Jangan-jangan Prof Kong memang tidak
menyinggung samasekali masalah kendala, pengalaman yang tidak begitu
menyenangkan kedua rakyat, dalam hubungan Tiongkok-Indonesia, dalam
periode sejarah yang ditinjau. Yang penyebabnya tidak terletak pada
rakyat Tiongkok maupun rakyat Indonesia.
>
>
>
>
> Yang dimaksud di sini, misalnya, a.l. ketika salah seorang kaisar
Tiongkok mengirimkan ekspedisi militer ke Jawa untuk menghukum (?)
salah seorang raja Jawa, -- atau konflik-konflik kekerasan berdarah
yang terjadi, antara kaum pendatang Tiongkhoa di Indonesia, yang umum
disebut HOAKIAU, --- dengan rakyat Indonesia "asli", yang waktu itu
umum disebut "pribumi". Sering tejadi analisis dan tafsiran yang
keliru mengenai sebab musahab dan akibat konflik antara golongan
"pribumi" dengan kaum Hoakiau yang juga dikenal sebagai 'golongan
etnik Tionghoa", yang sebenarya banyak yang sudah menjadi orang-orang
Indonesia, yang menganggap Indonesia sebagai negerinya, sebagai tanah
airnya sendiri.
>
>
>
>
> Banyak analisis mengungkapkan bahwa di zaman kolonial, penyebab dari
konflik kekerasan berdarah, atau yang disebut juga "huru-hara
anti-Tjina" sebagai suatu produk politik 'adu-domba' kaum kolonial
Belanda dulu. Belanda menjadikan golongan etnik Tionghoa di Indonesia,
sebagai "bumper"nya terhadap rakyat Indonesia "asli"', terhadap
golongan "pribumi". Ada juga analisis-analisis juga menganggap bahwa
'huru-hara anti Tjina" yang terjadi pada masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia dan setelah itu, dengan gampang-gampangan dikatakan sebagai
'ledakan kemarahan yang bisa dimengerti dari golongan pribumi terhadap
golongan non-pri yang kaya-kaya",yang dianggap penyebab dari
kemiskinan rakyat.
>
>
>
>
> Lebih kongkrit lagi, apa yang dilakukan penguasa pada zaman Orba,
sepenuhnya adalah rekayasa suatu politik rasialis yang diskriminatif
dari jurusan kekuatan politik reaksioner dan penguasa rekasioer
Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengalihkan perhatian dari
kesulitan-kesulitan (ekonomi) yang dihadapinya. Dengan demikian
menjadikan golongan etnik Tionghoa sebagai "kambing hitam" dari segala
kesulitan dan kemiskinan rakyat banyak.
>
>
>
>
> Selama Orba, ----- misalnya politik anti-Tiongkok dan anti-etnik
Tionghoa Orba jelas sekali, adalah spesifik sekali merupakan pentung
politik yang di satu fihak, disasarkan pada Republik Rakyat Tiongkok,
di segi lain, adalah untuk menghantam gerakan Kiri di Indonesia.
Termasuk ditujukan untuk menggoyang kestabilan kepemimpinan politik
Presiden Sukarno. Mengenai hal-hal ini, cukup buku yang ditulis oleh
pelbagai pakar ataupun budayawan Indonesia mapun luar negeri.
>
>
>
>
> Politik rasialis yang mendiskriminasi warganegara Indonesia asal
etnik-Tionhhoa sudah jelas, seperti tampak dari kebijaksanaan politik
Orba Jendral Suharto yang, mula-mula mengganti secara sefihak nama
Tiongkok dengan kata "TJINA", yang jelas sekali dimaksudkan sebagai
penghinaan, kemudian berlanjut ke larangan penggunaan bahasa Tionghoa,
larangan terhadap semua penerbitan berbahasa Tionghoa, larangan
terhadap dilangsungkannya kebiasaan adat istiadat Tionghoa, larangan
terhadap sekolah-sekolah Tionghoa, sampai-sampai secara
terang-terangan maupun tersembunyi memaksa orang-orang Indonesia asal
etnik-Tionghoa untuk mengganti nama Tionghoa mereka dengan nama
"pribumi" dsb. Juga serentetan undang-undang dan peraturan pemerintah
yang mendiskriminasi warga negara Indonesia yang keturunan Tionghoa.
>
>
>
>
> Semua kebijaksanaan politik rasialis dan diskriminatif Orba terhadap
golongan etnik Tionghoa yang mayoritasnya adalah w.n.i -- jelas amat
mengganggu, bahkan merusak hubungan baik Indonesia-Tiongkok. Politik
Orba itu merupakan kendala terhadap hubungan baik selanjutnya antara
kedua negeri dan bangsa Indonesia-Tiongkok. Dinyatakan secara tajam,
politik Orba itu, adalah racun yang fatal, baik untuk persatuan bangsa
Inadonesia sendiri, maupun untuk penggalangan hubungan baik dan
harmonis antara Indonesia dan Tiongkok.
>
>
>
>
> Dengan teliti Prof. Kong Yuanzhi menulis mengenai awal hubungan
budaya Tiongkok-Indonesia yang sudah berlangsung dengan harmonis dari
abad ke abad. --- So far so good.
>
>
>
>
> Tapi, beliau tidak menulis tentang kendala dan tantangan yang datang
dari imperialisme dan kolonialisme, dari kekuatan-kekuatan politik
yang sefaham dengan itu, yang merusak hubungan persahabatan kedua
negeri. Yang terutama datang dari jurusan Indonesia.
>
>
>
>
> Menurut hemat penulis ini merupakan kekurangan, baik pada karya
besar Prof. Kong Yuanzhi, maupun kekurangan pada resensi yang ditulis
oleh Mudiro.
>
>
>
>
> Bisa dimengerti, adalah tidak mudah bagi penulis Tiongkok, bagi
pakar dan sejarawan Tiongkok, apalagi yang punya status dan jabatan
resmi -- dalam periode sedang membaiknya hubungan Tiongkok-Indonesia
seperti dewasa ini, --- untuk menulis sesuatu yang kritis terhadap
politik penguasa Indonesia di waktu lalu, yang berdampak negatif
terhadap hubungan baik kedua negeri dan rakyat. Dikhawatirkan hal itu
akan "mengganggu" hubungan baik yang sedang bagus sekarang ini.
>
>
>
>
> Tetapi, betapapun tema yang ditulis dalam buku Prof Kong Yuanzhi
itu, bukankah adalah suatu tema sejarah? Sejarah mengenai perkembangan
hubungan Tiongkok - Indonesia, yang menyangkut fakta-fakta yang
obyektif. Baik itu fakta-fakta yang positif, maupun fakta-fakta yang
negatif, dari manapun asal usulnya. Semua itu adalah fakta-fakta
sejarah, yang dalam suatu buku sejarah hubungan dua negeri dan rakyat,
seyogianya dikemukakan sebagaimana adanya. Syukur-syukur ada analisa
yang memadai untuk, dari padanya, bisa ditarik pelajaran yang berguna
demi hubungan baik kedua negeri dan rakyat di masa mendatang.
Betapapun akhirnya pembaca sendiri yang akan membuat penilaian atas
dasar fakta-fakta sejarah itu.
>
>
>
>
> Sekali lagi, betapapun patut diucapkan penghargaan besar terhadap
Prof Kong Yuanzhi dengan karya besarnya! ***
>