--- In [EMAIL PROTECTED], sarah serena
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

 
  LAPORAN DARI JAKARTA
   
  "ACARA PELUNCURAN BUKU ANTOLOGI PUISI TIONGKOK KLASIK"
   
  Oleh :


  Sarah Jakarta
   
   
              Peluncuran Buku Antologi Puisi TIongkok Klasik, Purnama
Di Bukit Langit, di Gedung Bentara Budaya, Palmerah, Jakarta tanggal
15 Mei 2007 telah menambah khasanah kesusastraan Indonesia. Buku
Antologi ini merupakan buku terjemahan dari Puisi Tiongkok Klasik,
yang dilakukan oleh Zhou Fuyuan. Ia menerjemahkan puisi klasik karena
ingin membagi rasa cintanya terhadap puisi tersebut kepada orang lain.
Peluncuran ini dihadiri oleh Penyair ternama Sapardi dan Rieke Diah
Pitaloka. Rieke membacakan beberapa puisi hasil terjemahan dari Zhou
Fuyuan.
              Bagi saya, yang juga menghadiri acara peluncuran buku
tersebut memberikan kesan tersendiri.  Terlebih lagi, puisi tersebut
walau gaya bahasanya mungkin sulit dimengerti orang, tetapi mempunyai
makna yang dalam. Memang kalau dari segi bunyi puisi, akan berbeda
makna antara puisi asli dengan terjemahannya. Namun bagi orang awan
seperti saya,  hanya berpatokan terhadap makna puisi terjemahannya.
Yang menarik bagi saya adalah puisi yang berjudul : Sanjak Tujuh
Langkah. Puisi ini terhadap di halaman 131 buku puisi tersebut.. Puisi
ini dikarang oleh Cao Zhi (192-232 ). Cao Zhi adalah penyair pada
zaman Dinasti Wei. Cao sendiri adalah adik kaisar.  Pada saat itu,
kakaknya sang kaisar, dihasut oleh anak buahnya bahwa adik kandungnya,
yakni cao hendak melakukan kudeta terhadap dirinya dengan cara
membunuhnya.  Terpengaruh hasutan tersebut, sang kaisar menjadi geram.
Ia segera melakukan tindakan untuk menghukum adiknya.  Akan tetapi, 
ia tidak berani melakukan
 pembunuhan secara langsung, sehingga ia menyuruh adiknya membuat
puisi dalam tujuh langkah. Namun,  setelah puisi tersebut dibuat, sang
kaisar akhirnya sadar bahwa dirinya terkena hasutan dan tidak jadi
membunuh adik kandungnya tersebut.
   
              Adapun puisi "Sanjak Tujuh Langkah"  tersebut berbunyi
sebagai berikut :
   
  Sanjak Tujuh Langkah 
  Cao Xhi (192-222 : Wei)
  
Ranting kacang dibakar kacang ditanak,
  Ditengah belanga butiran kacak terisak,
  Sesungguhnya dilahirkan dari satu akar,
  Mengapa amat tergesa saling membakar?
   
              Bagi orang awam, mungkin puisi ini tidak memiliki arti
apa-apa. Tapi bagi orang yang memahami puisi, tentu mereka akan
berpikir bahwa puisi ini punya makna yang dalam. Puisi ini
mempertanyakan secara tidak langsung, mengapa kita harus saling
berbunuhan, saling menyerang satu sama lain, padahal kita berasal dari
satu keturunan yang sama. Seperti yang kita lihat berita di tv
baru-baru ini, penyerangan sesama mahasiswa di USUI  Medan dan di 
Universitas 45 Makassar.  Mereka saling menyerang satu sama lain,
hanya karena beda pemahaman.  Padahal mereka satu akar, yakni
sama-sama orang medan, dan sama-sama orang Makassar. Mengapa harus
saling menyerang dan berbunuhan satu sama lain?
              Begitu pula dengan hubungan antara kaum etnis tionghoa
dengan masyarakat pribumi di Indonesia, yang masih saja tidak harmonis
hingga kini. Masih aja ada kecumburan-kecumburan sosial dalam diri
pribumi yang menyebabkan mereka nekat melakukan sesuatu yang membuat
kaum etnis tionghoa semakin merasa tidak nyaman tinggal di negara
Indonesia yang juga negaranya sendiri. Kecumburan sosial tersebut
secara tidak langsung telah menghilangkan suatu fakta yang ada, yakni
hampir 75% penduduk Indonesia adalah keturunan Tionghoa. Coba saja
lihat,  orang Sunda, Orang Padang, Orang Bangka Belitung, Orang
Manado, Orang Palembang, Orang Betawi mempunyai adat istiadat yang
mirip dengan tionghoa. Belum lagi kulit dan matanya juga mirip orang
tionghoa. Hal itu bisa terjadi, karena memang sebagian besar warga
Indonesia adalah keturunan cina. Yang membedakannya hanya barat ,
timur, utara dan selatan. Sementara kita, adalah keturunan cina
selatan,  yakni daerah Yunan selatan yang
 merantau ke wilayah rumpun Melanesia yang kemudian setelah merdeka
dikenal dengan nama Indonesia. Jadi, warga tionghoa telah ada di
Indonesia jauh sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara pada
tanggal 17 Agustus 1945.  Warga tionghoa tersebut kemudian banyak yang
menikah dengan berbeda kebangsaan,  ada yang menikah dengan orang Arab
yang datang ke Indonesia, sehingga anaknya kelihatan seperti arab
padahal keturunan tionghoa. Seperti yang terjadi pada kelurga Abdullah
Baadilla, dari Banda neira. Abdullah adalah seorang pedagang keturunan
arab yang kawin dengan putri kapitan Cina dari Marga Teh, yang pernah
ditangkap oleh VOC dan dibuang ke Banda Neira. DI Naira, waktu itu
sekitar permulaan abad 19, keluarga Teh, terkenal dengan tiga putrinya
yang cantik-canting. Salah seorang diantaranya dipersunting oleh
Abdullah Baadila. Yang satu lagi  oleh seorang kapten Cina, Nio,
sedangkan yang ketiga menikah dengan seorang keturnan Spanyol,
Montanus. Perkawinan antara
 Abdullah Baadila dengan puteri Cina itu melahirkan tiga orang putera
: Said putera sulung, Abdul Rahim dan si bungsu salim. Ketiga putra
Abdullah ini berturut-turut dipanggil dengan julukan Tjong, Nana dan
Coco. Julukan ini diberikan oleh ibu mereka yang keturunan
cina/tionghoa.  Itu adalah satu contoh pernikahan antara tionghoa
dengan arab di Indonesia. Walaupun anak-anaknya jadi bermarga Arab,
namun tetap mereka menggunakan nama kecil mereka yang mengikatkan
mereka dengan negara leluhur.
              Selain menikah dengan orang Arab yang juga sama-sama
orang rantau, warga tionghoa juga banyak yang menikah dengan penduduk
asli Indonesia,  seperti yang pernah dilakukan oleh Raja Kutai
Kertanegara yang menikahi putri Campa dari Cina, juga ada pernikahan
antara orang tionghoa dengan orang jawa asli yang menyebabkan
terjadinya perbauran warna kulit dengan mata, dimana keturunannya
berkulit khas Jawa, yakni sawo matang tetapi bermatakan khas tionghoa
. Jadi, siapa yang bisa disebut pribumi asli ? Jawabannya tidak ada,
karena kita semua adalah warga keturunan tionghoa. Suka atau tidak
suka. Jadi kenapa kita harus benci saudara kita sendiri? Padahal kita
dari akar yang sama, yakni tiongkok.
   
  Apakah kita harus membenci saudara kita sendiri, hanya karena mereka
lebih maju perekonomiannya dari kita ?  Apakah kita pernah intropeksi
diri kita sendiri? Dimanakah letak kesalahan kita ?
   
  Pepatah mengatakan : " Belajarlah sampai ke negeri CIna", Agama
Islam pun juga mengatakan : "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina,
seakan-akan engkau akan hidup 1000 tahun lagi".
   
  Pertanyaannya :   mengapa ke negeri Cina ? Kenapa bukan Amerika atau
Jepang yang lebih maju.
   
  Jawabannya ada dalam al-qur'an, jelas dikatakan bahwa suatu saat
yang menguasai dunia adalah bangsa kuning yakni kaum Tionghoa. Kenapa
demikian?
   
  Jawabannya satu : Mereka cinta negaranya, mereka cinta keluarganya.
Mereka akan berjuang mati-matian untuk melindungi keluarga dan
negaranya, bagaimana dengan kita ?
   
  Pertanyaannya : Bagaimana cara mereka untuk melindungi negara dan
keluarganya ?
   
  Jawabannya : Hasil yang mereka capai dari kerja mereka, akan
disumbangkan untuk keluarga dan negaranya. Pada umumnya orang-orang
etnis Tionghoa, mengutamakan keluarga mereka terlebih dahulu. Mereka
biasanya membantu keluarga yang tidak mampu dengan cara memberi
bantuan modal untuk usaha. Keluarga tersebut diberikan kesempatan
maksimal  3 kali untuk membuktikan bahwa dia mampu berusaha, apabila
setelah 3 kali gagal barulah bantuan modal tersebut dihentikan. 
Bagaimana dengan kita ?  Apakah kita bisa melakukan hal yang sama
seperti mereka ? Apakah kita mau berbagi dengan saudara kita yang
miskin ?  Apakah kita bisa mempercayai saudara kita sendiri untuk
mengelola usaha yang telah kita jalankan?  Biasanya kita lebih percaya
orang lain ketimbang saudara kita sendiri. Padahal orang lain belum
tentu bisa dipercaya dibanding saudara sendiri yang mempunyai
keterikatan hubungan darah. Hal ini yang menyebabkan banyak sekali
keluarga yang kontras antara adik dan kakak. Dimana si
 kakak kaya raya, sementara si adik tinggal dirumah gubuk beralaskan
tikar. Karena si kakak tidak mau memberikan bantuan modal usaha untuk
adiknya, karena takut sang isteri/suami tidak setuju.  
   
  Pertanyaannya  : Seberapa  besar cinta rakyat tionghoa terhadap
negaranya ?
   
  Jawab : Sangat besar, karena dimana pun mereka berada, mereka akan
menggunakan bahasa ibu mereka agar mereka tetap mengingat jati diri
mereka sebagai warga tionghoa. Bahkan tak jarang, mereka mencari jodoh
dari negara asal, agar rasa keterikatan emosional mereka dengan negara
leluhur tetap terjaga. Bagaimana dengan kita ? Biasanya, warga kita
sangat bangga bisa mendapatkan jodoh beda bangsa. Bahkan tak jarang,
banyak yang mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing
karena saking kelamaan tinggal diluar negeri. Padahal bahasa Indonesia
adalah bahasa negara ibunya. Pakaian dan gaya rambut  yang ketimuran
dianggap kuno,  dengan alasan arus moderenisasi mengikuti pakaian dan
gaya rambut kebaratan.  Dimana secara tidak langsung hal itu
menunjukkan, bahwa aku malu jadi warga negara Indonesia, aku lebih
senang jadi warga negara asing.
   
  Pertanyaannya : Seberapa besar pengaruh puisi tiongkok asli terhadap
kehidupan masyarakat tionghoa ?
  
Jawab : Sangat besar, karena puisi tiongkok asli itu menunjukkan
kejayaan masa kerajaan tionghoa, yang memperkuat rasa nasionalis dalam
diri warga tionghoa dimanapun mereka berada. Bagaimana dengan kita ?
Apakah puisi para penyair Indonesia diakui dalam kehidupan berbangsa
dan negara.  Bagaimanakah nasib para penyair setelah era Chairil
Anwar,  Rendra dan Taufik Ismail.  Banyak penerbit yang tidak mau
menerbitkan buku penyair alasan tidak laku dijual dipasaran. Apakah
sebegitu rendah penghargaan terhadap penyair di Indonesia?
   
  Jadi seperti dalam puisi tersebut yang mengatakan " sesungguhnya
berasal dari satu akar, mengapa amat tergesa saling membakar", maka
janganlah kita membenci saudara kita sendiri kaum etnis tionghoa.
Karena disukai atau tidak sebenarnya kita adalah satu akar dengan
mereka yaitu sama-sama keturunan cina.
   
  Mungkin itu saja laporan saya dari Jakarta serta sedikit tanggapan
berbentuk otokritik dari saya mengenai keterkaitan puisi tersebut
dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini.  Tak ada gading
yang tak retak, kalau dalam tulisan ini ada kata-kata saya yang kurang
berkenan di hati rekan-rekan, saya minta maaf.
   
  Wassalam
  Sarah Jakarta
  16 Mei 2007

       
---------------------------------
Be a better Heartthrob. Get better relationship answers from someone
who knows.
Yahoo! Answers - Check it out. 

[Non-text portions of this message have been removed]

--- End forwarded message ---


Kirim email ke