Peringatan Targedi Mei ‘98 Dilaporkan oleh: Dr.Irawan Duarte , May 12, 2007 / Indonesia Media Sembilan tahun telah berlalu Peristiwa tragedi Mei ‘98 di Indonesia sampai sekarang belum ada kelanjutan tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah RI, bahkan dibeberapa media masa tanah air dilaporkan adanya usaha-usaha melupakan atau menutupi kembali kasus Mei ‘98 ini. DR.Frits Hong dalam kata sambutannya selaku ketua umum ICAA mengingatkan pentingnya peringatan tragedi Mei ‘98, beliau menganalogikan dengan peristiwa “ The Rape of Nanking”. Pemerintahan yang silih berganti di Indonesia belum satupun yang benar-benar berniat menuntaskan kasus kerusuhan Mei’98, kepada seluruh masyarakat Indonesia, yang memilih nanti pada putaran pemilu 2009 agar mempelajari dengan hati-hati, dan memilih wakil yang benar-benar komit untuk menuntaskan masalah ini. Karena penuntasan kasus Mei’98 adalah merupakan tolok ukur mengembalikan kepercayaan global terhadap Indonesia. Sekali lagi Peringatan Mei ‘98 tidak pernah boleh dilupakan, pungkas boss Duarte Inn itu. Juliana Widjaja Ph.D. seorang dosen dari Center of South East Asia Study, UCLA dalam ceramahnya menekankan bahwa :”Sejarah yang dilupakan adalah berpotensi menimbulkan pengulangan tragedi kekerasan di masa yang akan datang” Juliana menahyangkan foto-foto kekerasan HAM yang belum pernah dipublisir oleh media selama 40 tahun via power point, dengan TKP di Banyuwangi saat itu ada 9 anak-anak (mulai dari 10 tahun), pemuda, dan pelajar gugur akibat berondongan senjata ABRI, belum lagi masih puluhan yang luka-luka. Saat itu mereka tengah melakukan aksi damai di pasar sehubungan dengan penutupan toko-toko pengecer milik etnis Tionghoa (tingkat Kabupaten) di kiosk-kiosk pasar. Namun anehnya sampai hari ini tidak pernah dipublisir di media masa. Inilah yang dinamakan penutupan / penghapusan sejarah. Juliana juga menceritakan betapa pahit getirnya dia dalam mengurus surat WNI, dan masuk sekolah perguruan tinggi. Stigma bahwa Tionghoa itu semua kaya tidak berlaku untuk sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa, termasuk dia. Saat itu Juliana harus cukup puas dengan hanya meneruskan di perguruan tinggi yang tidak berkelas, dan harus membayar mahal pula sehubungan dengan status WNI nya belum selesai dari proses. Demikian pula dalam hal penggantian nama yang harus diselaraskan dengan nama yang berlafalkan Indonesia, tapi pada akhirnya toh pamong yang menangani suratnya mengimbuhkan nama marganya (Oei) diakhir namanya, jadi ini suatu peraturan yang dibuat-buat dan jelas kontradiktif, demikian cetusnya. Belum lagi dia diharuskan mengenakan kebaya Jawa sewaktu di sumpah WNI-nya, katanya ini adalah pakaian Indonesia. Apakah busana Indonesia adalah busana Jawa? tanyanya. Sebagai dosen CSEAS-UCLA, Juliana sangat merasakan kurangnya, atau boleh dikatakan tidak ada lagi mahasiswanya yang mau datang belajar ke Indonesia. Salah satu faktornya adalah keamanan di Indonesia yang belum terjamin, hal ini juga menyulitkan institusi yang memberikan grant kepada mahasiswa yang tertarik mempelajari negara-negara yang sedang bermasalah. Sejarah harus dicatat dengan benar , termasuk personal memory harus dibukukan juga, karena dengan mengetahui sejarah anak cucu kita belajar tak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama dimasa yang akan datang. Martinus Oei seorang akuntan yang datang dari Indonesia memberi kesaksian tentang kejadian kerusuhan Mei 98 di Jakarta. Betapa mencekamnya Jakarta saat itu, menurutnya sudah jelas kasat mata para provokator yang berambut cepak itu diturunkan ber truk-truk ke TKP. Siapa yang bisa mengeluarkan mobilitas semacam ini ? Beliau juga menyesalkan ketidak pedulian masyarakat Indonesia yang sudah berdiam diluar negeri atas ketidak sediaannya mereka dalam menanda tangani petisi untuk dikirim ke High Commision of Human Rights di PBB, (Mary Robinson), serta UNHCR, saat beliau memohon umat dari salah satu gereja ICC di Perth (Australia) yang jemaatnya banyak berasal dari Indonesia. “Malah orang bule yang spontan mau menandatangani, sunggih suatu ironi”, ujarnya. Petisi itu akhirnya membuahkan hasil, yaitu dengan diutusnya Radhika Coomaraswamy datang ke Indonesia untuk menyelidiki kejadian tersebut Perjuangan Esther Jusuf S.H. dari Solidaritas Nusa dan Bangsa patut didukung seluruh masyarakat. Baru-baru ini SNB baru meluncurkan buku tentang kerusuhan Mei’98 di Jakarta, inipun sempat ditentang oleh beberapa anggota TGPF sendiri yang berindikasi menghapus kejadian tersebut. Sedangkan data dari TGPF yang asli yang disimpan di kantor pemerintah sudah hilang. Maka tidak ada jalan lain Esther Jusuf dkk. berinisiatif segera meluncurkan buku kerusuhan Mei’98 itu. Rencananya buku-buku itu akan disebarluaskan dalam berbagai bahasa. Usaha ini jelas memerlukan biaya yang tidak sedikit, untuk itu dalam nota pesanan Esther Jusuf kepada masyarakat agar bahu membahu dalam pelaksanaan misi ini. Menurut Martinus, seiring dengan di “munirkannya” tokoh HAM Munir, maka Romo Sandyawan sementara ini kabarnya diamankan oleh ordo Jesuit, hal ini membahayakan diri Esther Jusuf yang harus berjuang sendiri dengan SNB nya. Jonathan Goeij, selaku moderator dan co speaker membeberkan secuplik data-data temuan TGPF yang menunjukan begitu banyaknya titik api yang dicatat dalam peta DKI Jaya , belum lagi wilayah lainnya yang tidak sempat di tahyangkan karena keterbatasan waktu. Masalah undang-undang kewarganegaraan dan SBKRI, saat itu yang dipakai adalah UU dari tahun 1958, UU ini dibuat dengan mengacu UUD sementara tahun 1950, padahal UUD sementara 1950 sudah dicabut , jadi sebenarnya UU tahun 1958 mengenai kewarganegaraan seharusnya tidak berdasar lagi saat UUD sementara 1950 dicabut. Suara dari Komentator: Mengungkap dan mengadili pelaku kerusuhan Mei ‘98 adalah merupakan perjuangan kolektif semua, mengapa tidak? Jika suatu negara belum jelas hukumnya dan keamanannya bagaimana mungkin bisa meyakinkan masuknya investasi global, bagaimana mungkin mempunyai perputaran ekonomi yang optimal, dan pada gilirannya bagaimana mungkin menjamin kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu perjuangan ini bukan semata PR sekelompok etnis saja melainkan harus merupakan perjuangan kolektif rakyat Indonesia. Selama semuanya tidak berjalan transparan dikhawatirkan ada kemungkinan investor yang berani masuk ke Indonesia hanya merupakan deal-deal antara investor spekulan dan kelompok koruptor saja, yang pada akhirnya membebani hutang kepada anak cucu kita lagi. Memang tidak semua orang mampu membantu perjuangan ini entah dengan waktu tenaga dan dana, tapi setidaknya dengan menghadiri acara peringatan semacam ini menunjukan kepedulian anda terhadap solidaritas perjuangan, demikian ucap salah seorang komentator. Kabarnya buku tentang kerusuhan Mei ’98 itu bakal tersedia disini , tunggu tanggal mainnya.
************************************** See what's free at http://www.aol.com. [Non-text portions of this message have been removed]