Etnisitas, sebuah renungan

Nenek lahir di tahun 1888, diberi nama oleh ayahnya, 'sudah', nama yang di 
ambil dari bahasa melayu. Karena bahasa Indonesia belum ada waktu itu. Sebagai 
anak terkecil mungkin maksud ayahnya supaya tidak mempunyai adik lagi.  Di 
kalangan Tionghoa waktu itu memang ada semacam trend memberi nama anak 
perempuan dengan bahasa melayu. Sebab salah satu sepupu nenek ada juga bernama 
'rendah'. Pernah ditanyakan ke ibu kenapa nenek diberi nama 'sudah', jawabnya 
supaya tidak mempunyai adik lagi. Kenapa pakai nama melayu? Ya itu biasa banyak 
orang lain pakai juga. Itu terjadi di jawa timur dan jawa tengah  Apakah ayah 
mereka sudah terpengaruh oleh konsep yang disebut 'Indonesia'? Tentu saja tidak.

Saudara ibu diberi nama 'ragum' dan 'garpu', mereka lahir awal tahun 1900'an. 
Apakah ayah mereka sudah terpengaruh oleh konsep yang disebut Indonesia? Tentu 
saja tidak

Ada teman teman saudara perempuan yang lahir sekitar tahun 30'an dan juga 
sebelum tahun 1945, banyak yang memakai nama melayu, seperti 'terima', 'kasih' 
atau bahkan jawa seperti 'bati', tetapi banyak juga yang memakai nama sedikit 
barat seperti 'emmy, erna, elly atau anna'. Apakah ayah mereka sudah 
terpengaruh oleh konsep yang disebut 'Indonesia'?

Kakek sepertinya mempunyai kebiasaan memberi nama 'jawa' ke cucu-cucu nya, baik 
yang lahir sebelum 1945 maupun yang lahir setelah 1945. Ada semacam kebiasaan 
memang, nama jawa dipakai di lingkungan rumah dan keluarga dekat, sedang nama 
Tionghoa dipakai di sekolah atau di tempat resmi lainnya. Walaupun demikian 
memang saudara ayah ada yang memilih nama barat untuk anaknya seperti betty 
atau benny. 

Pada waktu kakak perempuan kawin, hiburan yang dipilih orang tua adalah 
gamelan. Juga tetangga yang mantu di akhir 50'an dan awal 60'an ada yang 
memakai wayang kulit untuk hiburan.  Di awal tahun 60'an dan di akhir 50'an 
tidak aneh remaja remaja Tionghoa berlatih gamelan.

Bahkan bukan hal yang aneh di banyak kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah, 
keluarga Tionghoa yang cukup berada, yang mampu; mempunyai seperangkat gamelan 
dan bahkan sepeti wayang kulit. Dan tentu saja keris dan pusaka yang lain. 
Seorang tetangga, tentu saja juga orang Tionghua,  teman ayah, cukup sering 
main gambang di rumahnya yang asri, pada waktu sore atau juga selepas jam 
sepuluh pagi, sebelum makan siang. Bahkan tetangga yang lain, juga seorang 
Tionghua,  kegemarannya membuat wayang kulit, benar benar menggambar, menatah 
kulit dan melukisnya.

Setiap kali datang musim kemarau, sekitar Agustus, pasar malam selalu datang, 
dan datang juga rombongan wayang-wong nya, dan ini adalah hari hari menonton 
wayang wong di malam, bisa seminggu tiga kali bahkan bisa lebih, tergantung 
lakon yang dimainkan. 

Pergi ke Solo pasti tidak melewatkan wayang wong Sriwedari, kalau ke Semarang 
barulah pas kalau ke Ngesti Pandowo.

Waktu setahun berjalan, kehidupan berputar. Datang awal tahun, datang SinCia. 
Ke rumah kakek, sembahyang sehari sebelumnya dan memberi selamat tahun baru 
besoknya. Datang Ceng Beng, naik delman pergi ke kuburan, sepupu jauh 
berdatangan, dan tentu saja banyak kue. Datang peh-cun datang bak cang dan 
kue-cang. Datang bulan tujuh, pergi kelenteng sembahyang rebutan. Datang bulan 
sembilan, ada bapak bapak yang selalu datang setiap tahun menjual kue Tiong 
Tjioe Pia. Dan kemudian datang bulan dua belas, datang sembahyang ronde. 
Ditambah lagi pada bualn ketiga atau bulan tertentu adalah she-jit nya makco 
atau kong-co tertentu, dan bisa jadi melancong keluar kota untuk datang ke 
kelenteng tertentu. Ah waktu Natalpun juga datang ikut ke gereja.

Ini gambaran kehidupan sebelum tahun 1965.

Kehidupan berubah setelah tahun 1966, pertama muncul keharusan ganti nama. 
(Mungkin bukan keharusan, tetapi terasa sebagai keharusan bagi banyak orang 
Tionghua). Dan tiba tiba semua terasa lebih sempit untuk orang Tionghua. Tiba 
tiba semua orang berbagi cerita, pengalaman susah mencari bangku universitas. 
Dan itu menjadi cerita di hampir semua orang Tionghoa, kesulitan tidak bisa 
menjadi pegawai negeri, kesulitan tidak bisa menjadi polisi atau tentara, 
kesulitan ini dan itu.

Waktu bergulir, muncul generasi baru yang lahir setelah tahun 1965, generasi 
yang lahir dengan identitas ke Tionghoa an yang di tanggalkan, paling tidak 
nama Tionghoa yang tidak dipakai lagi. Seorang keponakan pada waktu berusia 
11-12 tahun satu hari pernah bertanya, apakah kita orang cina?

Beberapa keponakan yang dilahirkan di Australia setelah tahun 1965 dan 
dibesarkan disana juga, mereka menyebut dirinya orang Australia. Tetapi mereka 
lebih senang dikelompokkan sebagai berasal dari Indonesia, terutama untuk 
membedakan dengan kelompok yang dari 'mainland' china. Karena satu hal dua hal 
mereka merasa lebih dekat dengan kelompok yang datang dari Singapura atau 
Malaysia.

Ketika berjalan jalan di Tiongkok, tentu saja kalau memperkenalkan diri adalah 
orang dari Indonesia. Di dalam satu kereta, jika berdiam saja, tentu saja 
mereka juga tak bisa membedakan apakah ini dari propinsi utara, timur, tengah 
atau selatan atau dari barat.
Dan di benak mereka apakah terpikirkan etnisitas? Mungkin mereka lebih memikir 
mencari nafkah, menghidupi keluarga, membesarkan anak, menyekolahkan anak, 
menyiapkan anak untuk masa depan.

Tentu saja cerita di atas bisa jadi cuma mewakili sekelompok orang saja atau 
bahkan tidak sama sekali. Tetapi yang ingin ditonjolkan dari cerita di atas 
adalah munculnya konsep tentang etnisitas.

Membaca koran hari ini, tentang sesorang Tionghoa dari Sumatera yang berusaha 
mengatasi diskriminasi yang di alaminya. Tentu saja ini adalah berita karena 
apa yang dialaminya, karena terjadi. Membaca majalah hari ini tentang prasangka 
yang timbul orang provinsi Timur di Tiongkok ke orang dari provinsi Hunan, ah 
mereka banyak kriminalnya. Prasangka ada dimana mana, dan sepertinya biasa.

Memandang ke jendela, orang orang yang berangkat bekerja dengan naik bis atau 
berjuang dengan motor menembus macetnya jalan raya. Terpikirkah mereka akan 
etnisitas? Apakah mereka lebih memikir mencari nafkah, menghidupi keluarga, 
membesarkan anak, menyekolahkan anak, menyiapkan anak untuk masa depan? 
Memandang poster yang terpasang di dinding dinding tembok. Merekalah para 
politisi. Akankah mereka menggunakan etnisitas untuk memenangkan pertarungan 
politik? Akankah mereka tetap menggunakan politik 'kita dan mereka'? Akankah 
mereka tetap menggunakan politik eksklusif, bukan inklusif? Akankah masyarakat 
tetap memilih mereka 'yang penting dari golongan kita' bukan 'siapa yang bisa 
menyediakan pekerjaan' 

Cobalah tanya kepada penduduk Hunan, kenapa mereka migrasi pindah ke propinsi 
pesisir di timur? Mencari penghidupan jawabnya. Kenapa pindah ke Nan-yang ? 
Mencari penghidupan. Kenapa pindah ke Amerika? Mencari penghidupan. Bukankah 
semua orang sekedar mencari penghidupan?

Perbatasan negara, nasionalisme dan etnisitas boleh dikatakan muncul sebagai 
produk abad ke 20, di abad abad sebelumnya orang bisa melintasi perbatasan 
negara lebih mudah, dan nasionalisme lebih longgar. Dan bisa jadi orang belum 
memikirkan etnisitas. Situasi politik dunia juga menyumbang banyak pemikiran 
pemikiran sesaat, seperti misal jatuhnya cina ke tangan komunis, menimbulkan 
phobia dikalangan akademisi dan politisi Amerika yang takut Asia Tenggara akan 
jatuh ke tangan komunis melalui efek domino, dengan orang Tionghoa sebagai 
salah satu agennya.

Seperti diungkap di beberapa buku, Indonesia sudah lahir seperti ini jadinya, 
mungkin diluar dugaan para penggagasnya, orang2 Tionghoa di tahun 1860'an atau 
orang2 Indo di tahun 1860'an. Mungkin juga diluar dugaan pemerintah kolonial 
belanda sekalipun.

Negara barat dengan cepat belajar kesalahan masa lalunya, dan mereka sekarang 
memperkenalkan muti-kultural-isme. Australia dari white policy, bahkan sampai 
awal 70'an, sekarang juga multi-kultural. Bahkan pemilik apotik pun lebih 
senang punya pegawai yang multi-kultual sekarang. Masyrakat barat cepat 
berubah, mereka sekarang lebih senang pergi ke food court di mall yang 
menyediakan masakan dari mana saja.

Bisa jadi ini semua hanya kenangan saja, dan semoga semua hanya kenangan masa 
lalu saja, yang pahit. 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke