Salam kepada anggota milis yth,

Saya ingin menambahkan sedikit.  Kamis malam yang baru lalu, pimpinan 
masyarakat Tionghoa dari 28 organisasi baru saja mengadakan acara makan malam 
dan tatap muka dengan Gub terpilih Fauzi Bowo dan Wa Gub terpilih Prijanto di 
hotel Marriot.  Malam ini direstoran Nelayan, akan diadakan acara serupa oleh 
14 organisasi2 yang juga berbasis Tionghoa.  Alangkah baiknya kalau acara 
seperti ini bisa diadakan secara gabungan bersama.  Dengan demikian bisa 
terlihat kebersatuan dari sesama organisasi masyarakat Tionghoa.  Setidaknya, 
tidak memperlihatkan pe-kelompokan2.  Teutama dimata aparat pemerintah, yang 
sudah mulai melihat pengaruh politik dari masyarakat Tionghoa yang secara de 
fakto harus mereka perhitungkan.

Kita baru saja mencicipi sedikit rasa kebebasan.  Masih banyak hak2 kita yang 
perlu diperjuangkan.  Ini hanya akan dapat dicapai dengan semangat kebersatuan. 
 Kalau terlihat adanya ketidak bersatuan diantara masyarakat Tionghoa, situasi 
seperti ini dapat dimanfaatkan dan kita diadu domba.  Sehingga fokus perjuangan 
kita terpencar.  Tujuan utama akan sulit untuk dicapai.

Salam,
PK Lim

Akhmad Bukhari Saleh <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                               
KEBANGKITAN ORGANISASI TIONGHOA DI INDONESIA JANGAN SAMPAI KEBABLASAN.
 
 Oleh : Benny G.Setiono
 
 Setelah rezim Orde Baru jatuh dan berlangsung reformasi, tumbuh kesadaran di 
 sementara kalangan etnis Tionghoa bahwa kedudukan mereka, terutama di bidang 
 sosial dan politik, sangat lemah dan menyedihkan.
 Kesadaran ini pada ujungnya membangkitan keberanian untuk menolak 
 kesewenang-wenangan yang menimpa diri mereka dan menuntut keadilan sebagai 
 warganegara Republik Indonesia.
 
 Dengan segera berbagai organisasi, baik partai politik, ormas maupun LSM, 
 dideklarasikan, antara lain Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), 
 Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Formasi, 
 Simpatik, Gandi, PSMTI, Perhimpunan INTI. dll.nya.
 Demikian juga berbagai penerbitan seperti harian, tabloid dan majalah, 
 antara lain Naga Pos, Glodok Standard, Suar, Nurani, Sinergi, Suara Baru, 
 dll.nya bermunculan.
 
 Namun dengan berjalannya waktu ternyata beberapa organisasi tersebut 
 berguguran dan beberapa media cetak telah hilang dari peredaran.
 Masalah utama yang dihadapi organisasi-organisasi tersebut adalah masalah 
 klasik, tidak adanya visi dan misi serta program yang jelas, semangat yang 
 mengendur, kurangnya kader muda dan terjadi perpecahan di kalangan 
 pemimpinnya seperti apa yang terjadi dengan PBI.
 Masalah yang dihadapi media cetak adalah masalah finansial dan SDM. Hampir 
 tidak ada dukungan dari masyarakat Tionghoa akan kelangsungan hidup 
 media-media cetak tersebut.
 
 Berbeda dengan organisasi-organisasi peranakan, organisasi-organisasi di 
 kalangan totok malahan tumbuh dengan subur.
 Lebih dari lima ratus organisasi di kalangan totok berdiri di berbagai kota 
 di Indonesia.
 Organisasi-organisasi tersebut didirikan berdasarkan asal provinsi, 
 kabupaten, distrik dan kampung halaman di Tiongkok, suku (clan), marga, 
 alumni sekolah, kesenian, kesusasteraan, dsbnya.
 Program mereka tidak jelas dan pada umumnya berorientasi ke daratan 
 Tiongkok.
 Bahasa yang digunakan bahasa Tionghoa, baik Mandarin maupun dialek, karena 
 pada umumnya para pemimpin organisasi tersebut kesulitan dalam berbahasa 
 Indonesia.
 
 Organisasi-organisasi ini, seperti organisasi-organisasi Tionghoa perantauan 
 di mana pun, sangat paternalistik, dan para pemimpinnya diangkat berdasarkan 
 senioritas dan keberhasilan dalam bisnis.
 Para anggotanya hanya manut saja dan baru muncul dalam resepsi-resepsi yang 
 diselenggarakan para pemimpinnya.
 Kelebihan organisasi-organisasi ini adalah dukungan dana yang kuat dari para 
 pemimpinnya.
 Namun perpecahan juga muncul di antara para pemimpinnya, terutama di 
 kalangan suku Hakka yang menyebabkan saat ini berdiri tiga organisasi Hakka 
 yang berbeda.
 Kegiatan utama organisasi-organisasi ini adalah menyelenggarakan 
 pertemuan/resepsi di antara para anggotanya tanpa tujuan yang jelas.
 Namun ada hal yang menggembirakan karena akhir-akhir ini ada beberapa 
 organisasi yang melakukan berbagai kegiatan sosial.
 
 Setelah Presiden K.H.Abdurrahman Wahid mencabut seluruh larangan yang 
 memojokkan etnis Tionghoa termasuk larangan bahasa dan aksara Tionghoa dan 
 berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa tersebut, maka bermunculanlah 
 berbagai penerbitan berbahasa Mandarin baik harian maupun majalah seperti 
 Indonesia Shangpao, International Daily News, Universal Daily, Qian Dao Re 
 Bao (Harian Nusantara). dll.nya.
 Walaupun tiras setiap harian maupun majalah tersebut tidak besar karena 
 pembacanya yang sangat terbatas, namun karena dukungan dana dari para 
 pemiliknya maka sampai saat ini berbagai penerbitan tersebut masih dapat 
 bertahan, kecuali harian Universal Daily yang sudah tutup beberapa bulan 
 lalu.
 Pada umumnya media-media cetak tersebut, di samping menyiarkan berita-berita 
 dalam dan luar negeri, digunakan untuk mempublikasikan kegiatan-kegiatan 
 organisasi-organisasi Tionghoa atau kegiatan-kegiatan para tokohnya.
 
 Hasil apakah yang diperoleh dengan berdirinya organisasi-organisasi yang 
 menghimpun etnis Tionghoa, baik peranakan maupun totok ?
 Walaupun sangat lamban, kesadaran politik mereka mulai tampak meningkat, 
 namun trauma masa lalu dan stigma Baperki dan G30S masih saja menghantui 
 sebagian besar etnis Tionghoa sehingga mereka selalu berusaha menghindari 
 wilayah politik.
 Sebagai contoh, ketika berlangsung Pilkada DKI Jakarta yang lalu, 
 berdasarkan survey Litbang Kompas, Kecamatan Penjaringan, Kembangan, Kebon 
 Jeruk, Grogol
 Petamburan, Tambora, Taman Sari dan Kelapa Gading, di mana sebagian besar 
 penduduknya berasal dari kalangan etnis Tionghoa, adalah wilayah yang paling 
 tinggi angka golputnya (40% - 50%).
 Walaupun beberapa tahun terakhir mulai bermunculan anggota DPR, DPRD, 
 Bupati, Wakil Bupati dari kalangan etnis Tionghoa, namun masih dirasakan 
 sangat kurang, mengingat potensi yang sangat besar yang dapat disumbangkan 
 etnis Tionghoa dalam membangun bangsa dan negara.
 
 Dihapusnya segala peraturan yang bersifat rasis dan diskriminatif oleh 
 Presiden Wahid, Tahun Baru Imlek dijadikan hari libur nasional oleh Presiden 
 Megawati dan agama Khonghucu dikembalikan menjadi agama resmi di Indonesia 
 oleh Presiden Yudhoyono, juga merupakan suatu kemenangan yang diperjuangkan 
 oleh berbagai organisasi Tionghoa di Indonesia.
 
 Di samping hasil-hasil tersebut masih banyak kelemahan dan kendala yang 
 dihadapi organisasi-organisasi Tionghoa, antara lain masih langkanya 
 pemimpin yang mempunyai integritas tinggi dan mempunyai visi jauh ke depan, 
 serta SDM yang memadai, yang dibutuhkan untuk memimpin dan menggerakkan roda 
 organisasi.
 Kebanyakan pemimpin/pengurus organisasi-organisasi Tionghoa telah berusia 
 lanjut dan merupakan pengusaha-pengusaha mapan yang sudah tentu mempunyai 
 kepentingan tertentu.
 Untuk mengatasinya, para tokoh Tionghoa harus dengan legowo mau melakukan 
 peremajaan kader-kader yang akan memimpin organisasi-organisasi tersebut.
 
 Kebablasan.
 
 Kalau ingin bertahan, organisasi-organisasi Tionghoa harus dijadikan 
 organisasi modern dan demokratis, yang mempunyai visi, misi dan program yang 
 jelas dan berorientasi ke bumi Indonesia, sesuai dengan semboyan "luo di 
 sheng gen", yang berarti di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
 Dengan kata lain organisasi-organisasi Tionghoa harus membawa seluruh 
 anggotanya masuk ke dalam mainstream bangsa Indonesia, tanpa harus 
 menanggalkan identitas keTionghoaannya, dan bergandeng tangan dengan seluruh 
 komponen bangsa lainnya membangun bangsa dan negara.
 Organisasi-organisasi Tionghoa harus mau membuka diri dan melakukan kerja 
 sama dan menggalang persahabatan dengan organisasi-organisasi di luar 
 kalangannya agar tidak dituduh ekslusif.
 
 Situasi yang kondusif bagi etnis Tionghoa, harus digunakan untuk hal-hal 
 yang positif, dan bukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak ada 
 gunanya, dengan menghambur-hamburkan uang secara demonstratif, yang sangat 
 menyakiti hati rakyat yang sedang menderita.
 Justeru organisasi-organisasi Tionghoa harus berani memperingatkan dan 
 menindak anggotanya yang berprilaku tidak pantas di masyarakat, agar 
 pengalaman buruk di masa lalu tidak terulang kembali.
 Janganlah kita membuat kontes-kontes yang ekslusif dan terjebak dalam 
 kegiatan yang sifatnya diskriminatif.
 Janganlah kita sampai kebablasan dalam mengartikan kebebasan yang kita 
 peroleh saat ini.
 Tunjukkan rasa empati kita kepada saudara-saudara kita sesama anak bangsa 
 yang kurang beruntung dengan melakukan kegiatan-kegiatan sosial untuk 
 meringankan penderitaan mereka.
 Buatlah program yang dapat meningkatkan pendidikan, kesehatan dan 
 pendapatan, serta mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Indonesia.
 
 Sementara itu, dengan disahkannya Undang-undang Kewarganegaraan Republik 
 Indonesia No.12/2006, yang dengan tegas menyatakan yang ada di Indonesia 
 hanya WNI dan WNA, dan tidak ada lagi istilah"pribumi" dan "non pribumi", 
 serta Undang-undang Tentang Administrasi Kependudukan No.23/2006, yang telah 
 membatalkan seluruh UU dan Staatblad diskriminatif peninggalan pemerintah 
 Hindia Belanda yang telah membagi-bagi kedudukan hukum dan sosial bangsa 
 Indonesia, telah melengkapi penghapusan hampir seluruh peraturan-peraturan 
 yang selama ini mendiskriminasi etnis Tionghoa.
 
 Namun selaras dengan hal-hal tersebut di atas, maraknya globalisasi dan 
 berkembangnya RRT menjadi sebuah kekuatan ekonomi, politik dan militer 
 menuju negara Super Power baru, dan semakin eratnya persahabatan pemerintah 
 RI dan RRT, telah menjadi batu ujian bagi loyalitas seluruh etnis Tionghoa 
 di Indonesia.
 Apakah mereka telah benar-benar telah menjadi warganegara dan bagian 
 integral bangsa Indonesia, atau masih mempunyai loyalitas ganda ?
 
 Demi kepentingan jangka panjang, organisasi-organisasi Tionghoa harus 
 menjaga jarak dalam berhubungan dengan pemerintahan negara asalnya.
 Pengalaman masa lalu telah mengajar kita bahwa hubungan antar negara setiap 
 saat dapat mengalami pasang surut sesuai dengan kepentingan nasional negara 
 masing-masing.
 Namun etnis Tionghoa di sini yang akan menanggung getahnya, karena tidak 
 pernah ada 'perlindungan' yang kita peroleh dari negara lain, termasuk 
 negara leluhur kita.
 
 (Penulis adalah seorang pengamat sosial dan politik) 
 
 
     
                               

       
---------------------------------
Choose the right car based on your needs.  Check out Yahoo! Autos new Car 
Finder tool.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke