Jakarta apa juga sudah ada,hanya saja tdk tau bagaimana
  menjaga dan melestarikannya (poor mantainance)

"@}PurPLe;[EMAIL PROTECTED];->--" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
          


www.tempointeraktif.com
menarik


julia

*
--------------------

*

*Tulus Abadi*

Surat Terbuka untuk Gubernur Foke
Sabtu, 20 Oktober 2007

Eric Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, dalam sebuah seminar
di Jakarta, melontarkan kritik keras soal kondisi Kota Jakarta. Menurut
dia, Jakarta tak ubahnya sebuah kota yang sakit. Kondisi itu bukan
karena Jakarta sedang dilanda wabah demam berdarah atau flu burung,
melainkan karena Jakarta terlalu banyak dipenuhi mal dan pusat belanja.
Sebaliknya, di Jakarta sangat minim tempat yang bisa dijadikan publik
untuk berkumpul secara bebas (/public space/). Fakta ini sungguh
paradoks, karena bagi mantan gubernur Sutiyoso, banyaknya mal dan pusat
belanja justru diklaim sebagai sebuah prestasi yang membanggakan dalam
membangun Jakarta sebagai kota supermodern. Target Sutiyoso, Jakarta
harus memiliki 200 mal dan pusat belanja, sebagaimana di negeri jiran,
Singapura.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan Sutiyoso yang berkiblat ke
Singapura untuk urusan mal dan pusat belanja. Tapi seharusnya Sutiyoso
tidak hanya mengadopsi sisi komersial dari negeri kecil itu. Sebab,
selain marak mal dan pusat belanja, Singapura mengembangkan /public
space/ secara proporsional. Ini yang tidak diadopsi oleh Sutiyoso.

Relevan dengan situasi tersebut, Fauzi Bowo (Foke), yang baru saja
dilantik menjadi orang nomor wahid di Jakarta, menetapkan menyembuhkan
penyakit kronis Kota Jakarta sebagai agenda utama. Pasalnya, senapas
dengan Eric Penalosa, yang sukses menjadikan Bogota sebagai kota
manusiawi (/human city/) berkat kepemimpinan politik (/political
leadership/) yang kuat, yaitu setelah mengantongi kemenangan 60 persen
suara via pemilihan umum langsung. Dengan modal politik inilah Penalosa
mendapat kepercayaan dan dukungan publik untuk membongkar ulang tata
kotanya. Analog dengan Penalosa, kini modal politik itu juga dimiliki
oleh Fauzi Bowo, setelah meraup suara 57,78 persen suara dalam pemilihan
kepala daerah yang lalu. Artinya, sebagaimana Penalosa, Foke juga
mengantongi kepercayaan publik yang cukup kuat untuk "mendaur ulang"
pola manajemen tata Kota Jakarta. Foke tidak perlu gamang menganulir
rencana kebijakan Sutiyoso yang tidak sejalan dengan aspirasi publik dan
tata pengelolaan kota yang berkelanjutan.

Isu ini harus digelorakan karena, jika hanya mengacu pada janji Foke
dalam masa kampanye yang lalu, sepertinya tidak akan ada gebrakan
radikal ala Penalosa. Via iklan politik "Solusi Fauzi Bowo untuk
Jakarta" (/Kompas/, Sabtu, 4 Agustus), Foke hanya berfokus pada tiga
kasus utama. Pertama, untuk mengatasi banjir, dia akan mempercepat
penyelesaian Kanal Banjir Timur serta normalisasi Kanal Banjir Barat dan
kali-kali yang melintasi Jakarta. Kedua, untuk mengatasi kemacetan, dia
akan mempercepat ketersediaan transportasi massal dengan kapasitas yang
besar dan kualitas yang prima, antara lain /busway/ dan /subway/ yang
mampu mengangkut 60 ribu penumpang per jam. Dan ketiga, dalam hal
pendidikan, dia akan menyiapkan program prioritas untuk penuntasan wajib
belajar 12 tahun, peningkatan mutu lulusan sekolah dasar/sekolah
menengah pertama dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan
(standar internasional) serta meningkatkan kompetensi guru (standar Asia).

Jika hanya mendasarkan pada tiga program itu--sebagaimana yang tertuang
dalam iklan politik, hakulyakin Foke tidak akan dikenang publik sebagai
gubernur yang "menyejarah". Sekalipun /busway/, monorel, /subway/, serta
percepatan pembangunan Kanal Banjir Barat/Timur sukses, warga Jakarta
akan mencatat bahwa itu "karya" Sutiyoso.

Banjir dan kemacetan lalu lintas jelas merupakan "megakasus" yang harus
mendapatkan prioritas tertinggi untuk segera dibereskan. Persoalannya,
penyakit kronis Kota Jakarta bukan hanya itu: bukan hanya banjir dan
macet /an sich/! Masih ada sederet penyakit kronis lain--yang secara
sosio-kultural akan menjadi bom waktu yang tidak kalah mengerikan
ketimbang "megabanjir" dan "megamacet". Sebagaimana Jakarta menyontek
/bus rapid transit/ ala Transmilenio Bogota, seharusnya Fauzi Bowo juga
mengadopsi gerakan radikal ala Penalosa.

Apa sajakah gerakan radikal Penalosa dalam memanusiawikan Kota Bogota
yang semula terkenal barbar? Salah satunya membangun tempat-tempat
publik secara meluas. Di Bogota, taman-taman kota terbentang begitu
luas. Dengan taman kota itu, warga kota dapat secara leluasa
bercengkerama dengan keluarga dan kerabat, berolahraga, serta aktivitas
lainnya. Karena itu, tidak ada jalan bagi Fauzi Bowo untuk menganulir
"nafsu" Sutiyoso agar Jakarta memiliki 200 mal dan pusat belanja. Caranya?

Pertama, Fauzi Bowo harus berani me-/replace/ dengan memperbanyak
pembangunan tempat publik yang nir-komersialisme, seperti tempat
bermain, taman kota, dan lapangan untuk berolahraga. Minimnya
tempat-tempat publik di Jakarta mengakibatkan warga Jakarta tidak
kreatif, bahkan destruktif. Tingginya angka kriminalitas di Jakarta
bukan hanya dipicu oleh faktor ekonomi dan kemelaratan, melainkan lebih
karena tata ruang kota yang tidak familiar bagi warga Jakarta. Terbukti,
ketika Penalosa menata ulang kotanya, angka kriminalitas di Bogota turun
secara dramatis, 60 persen!

Saat ini jumlah mal dan pusat belanja di Jakarta yang sudah /oversupply/
bukan hanya berdampak terhadap persaingan yang tidak sehat antarmal,
melainkan juga menjadi "mesin pembunuh" bagi eksistensi pasar
tradisional dan usaha mikro lainnya. Lebih dari itu, maraknya mal dan
pusat belanja juga memicu perilaku konsumtivisme warga Jakarta. Dalam
konteks agama (Islam), menjadikan mal dan pusat belanja sebagai /center
of activity/ sejatinya merupakan perbuatan yang tidak dianjurkan, bahkan
harus dihindari. Rasulullah SAW menegaskan bahwa pasar (baca: mal dan
pusat belanja) merupakan pusat segala kemaksiatan, karena di pasarlah
terjadi aksi tipu-menipu dan penindasan manusia atas manusia
(/exploitation de l'home par l'home/).

Kedua, mengembalikan fungsi tempat-tempat publik yang sudah ada, tapi
direduksi untuk kepentingan komersial dan kepentingan lain yang
menyimpang. Contohnya, jalan raya dan trotoar. Kedua wahana untuk
aktivitas publik ini kini berubah menjadi "pasar". Menjadikan jalan raya
dan trotoar untuk kepentingan komersial, apa pun alasannya, merupakan
pengambilalihan hak-hak publik secara nyata. Apalagi luas ruas jalan di
Jakarta masih sangat minim, hanya berkisar 8 persen dari total luas
wilayah. Bandingkan dengan Singapura, yang luas ruas jalannya mencapai
15 persen dari total luas wilayah.

Ketiga, mengembalikan area ruang terbuka hijau (RTH) yang kini telah
disulap menjadi sarana komersial. RTH Jakarta yang kini tinggal 9,7
persen harus dinormalisasi menjadi minimal 27 persen dari total luas
wilayah Jakarta. Luas area RTH yang memadai, selain akan menjadi sumber
resapan air tanah, akan menjadi "tempat bermain" warga kota, tanpa harus
dijejali dengan kepentingan komersial. Tempat-tempat komersial, yang
secara telanjang melanggar prinsip-prinsip RTH, harus dihijaukan kembali.

Pada akhirnya, Fauzi Bowo tidak akan mampu menyembuhkan penyakit Kota
Jakarta jika hanya berkutat pada persoalan banjir, kemacetan, dan
pendidikan. Keberadaan tempat-tempat publik yang proporsional, dari
dimensi apa pun--budaya, sosial, psikologi, bahkan agama--merupakan
suatu keharusan. Rujuklah tesis cendekiawan muslim kawakan Ibnu Khaldun
dalam bukunya, /Mukaddimah/, bahwa salah satu ciri kota beradab adalah
adanya tempat yang luas untuk berkumpul warganya. Ayo, Bang Foke, jangan
gadaikan Jakarta hanya untuk kepentingan materialisme. Lakukan terobosan
radikal ala Penalosa untuk melakukan /face off/ (operasi total wajah)
Jakarta sebagai kota sakit menjadi kota manusiawi bagi warganya. Ayo,
Bang Foke, Anda bisa!

Tulus Abadi, ANGGOTA PENGURUS HARIAN YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN INDONESIA


[Non-text portions of this message have been removed]



         

       
---------------------------------
 Yahoo! Answers - Get better answers from someone who knows. Tryit now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke