Sebagai informasi  tambahan.  Vihara Kong Hua Sie di bilangan Tangki, Jl. 
Mangga Besar V/ 269, adalah salah satu vihara tua di Jakarta.  menurut cerita 
vihara tersebut di bangun dan dibina oleh Biksu Ashin.  Beliau juga dikenal 
dengan nama Pen Ching.  Ketika beliau wafat di tahun 2002, jenazah beliau 
sempat diarak mengunjungi vihara Kong Hua Sie sebelum diberangkatkan ke Lampung 
untuk di kremasikan.

Salam,
PK Lim

jackson ang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:                               bagus juga 
bisa jadi pengetahuan untuk kita semua
 selamat yah 
 
 ----- Original Message ----
 From: Purnama Sucipto Gunawan <[EMAIL PROTECTED]>
 To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
 Sent: Friday, November 30, 2007 9:35:06 AM
 Subject: [budaya_tionghua] Buddhayana Indonesia
 
 Dear all member saya berhasil menyelesaikan artikel saya
 mengenai Buddhayana Indonesia. Kenapa artikel ini ada di group ini. 
 Alasannya Aliran ini lahir dari Tokoh tionghoa Kita bernama Bhiku 
 Ashin Jinakarya. DAn ALiran ini lahir Di bumi Pertiwi Indonesia. 
 Saya persembahkan artikel ini untuk Koleksi Budaya Tionghoa. Karena 
 Artikel ini layak disimpan.
 
 The Boan An (lahir di Bogor pada 23 Januari 1923; juga dikenal 
 dengan panggilan Su Kong) adalah bhikkhu Indonesia pertama dalam 500 
 tahun saat ia ditahbiskan pada tahun 1953.Beliau menyelesaikan 
 sekolah dasarnya di Kota Kembang - Bogor, lalu melanjutkan sekolah 
 menengahnya di PHS Jakarta, kemudian HBS B di Jakarta. Beliau 
 melanjutkan pendidikan tingginya di THS Bandung (sekarang ITB) pada 
 jurusan Ilmu Pasti Alam. Beliau tidak sempat menamatkan 
 pendidikannya di THS karena perkuliahan dihentikan ketika Jepang 
 masuk ke Indonesia, juga Ia belajar kimia di Groningen, Belanda. 
 Namun pada Juni 1953 ia ditahbiskan dalam tradisi Mahayana di 
 Jakarta.Semasa kecil beliau hidup prihatin. Untuk membantu 
 meringankan beban kedua orang tuanya beliau bekerja sebagai loper. 
 Walaupun demikian jiwa sosialnya sudah terlihat, ia sering 
 membagikan makanan kecil yang dibeli dari hasil jerih payahnya 
 kepada teman-teman sepermainannya.
 Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menjadi seorang 
 vegetarian. Beliau juga tertarik pada dunia spiritual, beliau sering 
 belajar kepada para suhu di kelenteng-kelenteng , haji, pastur, dan 
 tokoh-tokoh teosofi. Beliau mengenal agama Buddha dari tokoh-tokoh 
 Teosofi dan dari perkumpulan Tiga Ajaran.
 Filsafat modern maupun kuno sudah menjadi makanan sehari-harinya. 
 Jika anak-anak lainnya senang bermain-main, Bo An, demikian nama 
 kecil beliau, lebih suka mengembangkan kehidupan batinnya, misalnya 
 dengan bertapa di Gunung Gede. Ketika menjelang dewasa beliau aktif 
 dalam usaha pemberantasan buta huruf dan ikut dalam kegiatan dapur 
 umum untuk menolong rakyat sekitar yang kelaparan.
 Pembimbingnya menganjurkan agar ia belajar lebih lanjut di Myanmar, 
 karena itu pada tahun yang sama ia masuk Sasana Yeiktha di Yangon 
 untuk belajar meditasi satipatthana di bawah bimbingan Mahasi 
 Sayadaw. Pada tahun berikutnya ia ditahbiskan menjadi bhikkhu dan 
 mengambil nama Ashin Jinarakkhita. Ia menjadi bhikkhu Indonesia 
 pertama dalam 500 tahun. Pada tahun 1955 ia kembali ke Jawa dan 
 dengan kerja keras membangun kembali vihara-vihara dan biara-biara 
 Buddhis.Pada tanggal 17 Januari 1955 beliau pulang ke Indonesia. 
 Kembalinya beliau ke Indonesia membawa kegairahan tersendiri bagi 
 simpatisan Buddhis di Indonesia. Beliaulah putra pertama Indonesia 
 yang menjadi bhikkhu sejak keruntuhan Kerajaan Majapahit. Di Jakarta 
 beliau tidak berdiam diri. Beliau segera merencanakan untuk 
 mengadakan tour Dharma ke berbagai daerah di Indonesia.
 
 Akhir tahun 1955 dimulai tour Dharma ke pelosok-pelosok tanah air. 
 Beliau memulainya dari daerah Jawa Barat. Dalam perjalanannya itu 
 beliau mengunjungi setiap daerah yang ada penganut agama Buddha-nya, 
 tidak peduli di kota-kota besar maupun di desa-desa terpencil. 
 Kunjungan beliau memberi arti tersendiri bagai umat Buddha Indonesia 
 di berbagai daerah yang baru pertama kali melihat sosok seorang 
 bhikkhu. Tour Dharma ini tidak terbatas di Pula Jawa saja. Bali, 
 Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya juga beliau 
 kunjungi. Pendek kata, hutan diterobosnya, gunung didaki, laut 
 diseberangi, untuk membabarkan Dharma yang maha mulia ini kepada 
 siapa saja yang membutuhkannya.
 
 Setelah semakin banyak umat Buddha, dan semakin banyak murid beliau 
 yang ditahbiskan menjadi upasaka, Bhante Ashin mendirikan 
 Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), pada bulan Juli 1955 
 di Semarang. Pada tahun 1979 PUUI berganti nama menjadi Majelis 
 Buddhayana Indonesia.
 
 Dalam setiap kesempatan berkunjung ke berbagai daerah tersebut 
 Bhante Ashin selalu mengingatkan umatnya untuk tidak bertindak masa 
 bodoh terhadap kebudayaan dan ajaran agama Buddha yang sudah sejak 
 dulu ada di Indonesia. Galilah yang lama, sesuaikan dengan jaman dan 
 lingkungan. Beliau menegaskan bahwa usaha mengembangkan agama Buddha 
 tidak dapat lepas dari upaya untuk meningkatkan taraf hidup bangsa 
 Indonesia secara keseluruhan. Beliau mendorong umatnya untuk terus 
 menggali warisan ajaran Buddha yang tertanam di Indonesia. Karena 
 bagaimanapun, secara kultural ajaran yang pernah membawa bangsa kita 
 pada jaman keemasan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit itulah yang 
 akan lebih bisa diterima oleh bangsa kita sendiri.
 
 Salah satu hasil penggalian yang sangat penting adalah konsepp 
 Ketuhanan dalam agama Buddha yang dianut oleh nenek moyang Bangsa 
 Indonesia. Dari berbagai penelitian terhadap naskah-naskah kuno 
 dalam Kitab Sanghyang Kamahayanikan, oleh para cendikiawan Buddhis 
 Indonesia kala itu, yang merupakan murid-murid Bhante Ashin, 
 akhirnya istilah Sanghyang Adi Buddha dinyatakan sebagai sebutan 
 Tuhan dalam agama Buddha khas Indonesia. Doktrin inilah yang sejak 
 saat itu giat disebarkan oleh murid-murid Bhante Ashin, diantaranya 
 Alm Y.A. Bhikkhu Girirakkhito Mahathera, Herman S. Endro 
 Dharmaviriya, Dicky Soemani, Karbono, dan sebagainya. Namun 
 sayangnya ada beberapa diantara mereka yang akhirnya malah menentang 
 dokrin Sanghyang Adi Buddha ini.
 
 Sikap yang terus konsisten pada diri Bhante Ashin ialah beliau tidak 
 pernah berpihak kepada salah satu mazhab/sekte manapun dalam agama 
 Buddha. Disamping menyebarkan ajaran Theravada, beliau juga tidak 
 meninggalkan ajaran Mahayana dan Tantrayana. Semua diserahkan kepada 
 pribadi masing-masing umatnya. "I am just a servant of the Buddha", 
 ujarnya suatu saat kepada Y.A. Dalai Lama.
 
 Salah satu murid beliau yang bernama Ong Tiang Biauw ditahbiskan 
 menjadi samanera dan akhirnya menjadi Bhikkhu Jinaputta. Setelah 
 jumlah bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Bhante Ashin 
 kemudian mendirikan Sangha Suci Indonesia. Pada tahun 1963, 
 organisasi ini kemudian diubah namanya menjadi Maha Sangha 
 Indonesia. Namun tanggal 12 Januari 1972, lima orang Bhikkhu yang 
 sebenarnya adalah murid beliau sendiri, yang menganggap bahwa hanya 
 ajaran Theravada saja yang benar, memisahkan diri dari Maha Sangha 
 Indonesia dan mendirikan Sangha Indonesia. Walaupun kemudian sempat 
 bersatu kembali, dan Maha Sangha Indonesia dan diubah namanya 
 menjadi Sangha Agung Indonesia (Sagin), para Bhikkhu itu kembali 
 memisahkan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha 
 THeravada Indonesia.
 
 Tahun 1978, murid beliau yang lebih berorientasi ke aliran Mahayana, 
 memisahkan diri dari Sagin, dan mendirikan Sangha Mahayana 
 Indoneisa. Sekarang ini di dalam Sagin, yang masih tetap dipimpin 
 beliau terdapat persatuan yang manis antara para Bhikkhu (Sangha 
 Theravada), para Bhiksu (Sangha Mahayana), maupun para Wiku (Sangha 
 Tantrayana), dan para Bhiksuni (Sangha Wanita). Semua bersatu dalam 
 kendaraan Buddha (Buddhayana) . Memang pengetahuan beliau yang luas 
 mengenai berbagai aliran dalam agama Buddha memungkinkan beliau 
 untuk dapat mengasuh umat dengan latar belakang yang berbeda-beda 
 sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
 
 Sebagai seorang bhikkhu, beliau tidak hanya dikenal oleh umat Buddha 
 di Indonesia. Pada saat awal menjadi bhikkhu, beliau mendapat 
 julukan The Flying Monk oleh umat Buddha di Malaysia dan Singapura 
 karena kegesitan beliau untuk `terbang' dari satu tempat ke tempat 
 lain untuk membabarkan Dharma. Beliau juga beberapa kali mengikuti 
 beberapa kegiatan keagamaan yang berskala internasional. Diantaranya 
 Persamuan Keenam (Chatta Sangayana) yang diadakan di Rangoon, tahun 
 1954-1956, juga konferensi-konferen si yang diadakan oleh The World 
 Buddhist Sangha Council maupun The World Fellowship of Buddhists. 
 Beliau juga pernah menjadi wakil presiden untuk The World Buddhist 
 Sangha Council dan The World Buddhist Social Services.
 
 Saat ini beliau lebih banyak berdiam di Vihara Sakyawanaram, Pacet. 
 Bhante Ashin masih tetap hidup sederhana dibiliknya yang kecil di 
 vihara tersebut. Di usianya yang sudah senja ini, beliau memang 
 sudah tidak banyak membabarkan Dharma lagi. Namun beliau 
 tetap `mengajarkan' kepada kita semua, umat Buddha Indonesia, 
 melalui sikap dan tingkah laku beliau sehari-hari.
 
 Banyak tokoh-tokoh Buddhis sekarang ini yang merupakan murid beliau. 
 Bapak Oka Diputhera, pejabat sementara ketua umum Walubi, mengenal 
 ajaran Sang Buddha dari beliau. Demikian pula dengan Alm. Bhante 
 Giri adalah salah satu murid beliau yang dulu sering bersama-sama 
 beliau dalam menyebarkan Dharma. Juga Brigjen Soemantri, salah satu 
 tokoh pendiri Walubi, merupakan salah satu murid beliau yang setia. 
 Dr. Parwati Soepangat, salah satu tokoh wanita Buddhis Indonesia 
 dahulu kerap ikut bersama beliau berkunjung ke berbagai daerah, pada 
 awal-awal masa kebangkitan agama Buddha di Indonesia.
 
 __________________________________________________________
 Never miss a thing.  Make Yahoo your home page. 
 http://www.yahoo.com/r/hs
 
 [Non-text portions of this message have been removed]
 
 
     
                               

       
---------------------------------
Be a better sports nut! Let your teams follow you with Yahoo Mobile. Try it now.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke