Kamis, 07 Feb 2008,

Ketika Imlek Datang dan Diskriminasi Terhadap Warga Tionghoa Masih 
Berlanjut (1)


Buat KTP Masih Ditanya Nama Engkong Sampai Tanah Leluhur
Kata diskriminasi agaknya masih belum mau menjauh dari warga 
Tionghoa. Meski sudah ada peraturan pemerintah yang menjamin 
kebudayaan Tionghoa bebas berkembang tetapi masih ada saja yang 
membuat mereka diperlakukan berbeda. Apa saja perlakuan diskriminatif 
yang masih mereka keluhkan?

Novita Amelilawaty,

Hari ini ribuan warga Tionghoa yang berada di Jakarta dan sekitarnya 
merayakan tahun baru Imlek. Mereka bersuka cita, tidak memandang 
status agama, mereka larut dalam kemeriahan pergantian Tahun Tikus. 
Begitu pula dengan komunitas Tionghoa di Petak Sembilan Glodok 
Jakarta Barat. Tiap rumah dihias dengan aneka macam lampion serta 
altar mini. Bau wangi dupa menyeruak keluar rumah. 

Sekilas tidak ada yang menyangka diantara mereka masih ada yang 
bersedih dan ketakutan dicari-cari petugas catatan sipil. Lho kok? 
Misalnya saja Tjoeng Pau Lin (63), pria keturunan Tionghoa yang 
sampai sekarang belum memiliki KTP, dan Surat Kewarganegaraan. "Saya 
pasti dicari-cari, hahaha, tapi saya tak takut meski ke dalam lumpur 
sekalipun," kata Tjoeng yang mengaku sudah puluhan kali diuber-uber 
Dinas Kependudukan DKI. 

Dia menceritakan singkat bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan 
pengakuan dari pemerintah. Dulu, Tjoeng mulai bercerita, ketika PP 
No. 10 zaman Soekarno masih berlaku, untuk membuat KTP masih 
susah. "Saya harus cantumkan surat balik nama, kartu keluarga, dan 
kartu bebas G 30 S/ PKI," tuturnya. Tidak hanya itu, pernikahan juga 
dipersulit hanya karena persoalan agama saja. "Kami kan Konghucu, 
tidak diakui," kata Tjoeng. 

Yang menjadi permasalahan bagi Tjoeng seharusnya sekarang sudah tak 
lagi dipersulit karena ada peraturan baru. Beberapa peraturan baru 
yang tak lagi memberatkan kaum Tionghoa adalah dalam pembuatan surat 
apapun di catatan sipil berkaitan dengan paspor, atau KTP tak lagi 
ditanya tentang asal-usul atau kewarganegaraan. Bahkan, sejak 2007 
lalu dalam KTP boleh dituliskan agama Konghucu. "Seharusnya sudah tak 
ada kesulitan lagi untuk membuatnya," kata Tjoeng. 

Tetapi, kenyataannya ketika dia akan membuat KTP seumur hidup dan 
Surat Kewarganegaraan masih ditanya soal surat balik nama, K1, nama 
engkong, dan tanah leluhur. "Saya pikir untuk apa?" katanya gusar. 

Diskriminasi lainnya dialami oleh tetangga Tjoeng yakni Johan (bukan 
nama sebenarnya). Dia wanti-wanti agar namanya dirahasiakan dengan 
alasan takut petugas catatan sipil atau kelurahan makin mempersulit 
dirinya jika mengurus KTP atau paspor. "Saya sudah serahkan akte 
kelahiran dan Surat Kewarganegaraan tapi tetap saja dipersulit," 
katanya. Padahal sesuai aturan, hanya bermodalkan akte dan surat 
kewarganegaraan saja sudah sah dan bisa dibuatkan KTP. 

Lain lagi dengan cerita Ketua RT 04 RW 02 Andi S. Warga keturunan 
Tionghoa itu mengaku anaknya harus membayar SPP lima kali lipat dari 
orang pribumi. "Anak saya masuk sekolah Ricci (sekolah swasta Kristen 
di Petak Sembilan) saja susah," katanya. Tidak hanya itu, salah satu 
anak tetangganya juga susah menembus sekolah negeri. Andi mengaku 
pernah mendapat keluhan dari warganya yang mengatakan susah masuk 
SMPN 63 Perniagaan Jakarta karena diminta uang bangunan dua kali 
lipat. "Padahal kan sekolah negeri," kenang Andi. 

Tindakan diskriminasi yang hilang total setelah era reformasi ini 
diakui Andi, Tjoeng, dan Johan adalah tidak lagi dipungutnya pajak 
warga negara asing bagi kaum Tionghoa. "Nah, kalau itu emang tidak 
dipungut lagi," ujar Tjoeng.

Bagaimana dengan pernikahan? Ternyata ada kabar baik soal itu. Itu 
diungkapkan oleh Lina, salah satu pengurus Vihara Dharma Jaya 
Toasebio bagian pernikahan. Dia mengakui dulu pernikahan agama 
Konghucu tak diakui, susah untuk mengurusnya sehingga pemberkatan 
dilakukan secara Budha. Sekarang, lanjut Lina lebih mudah. "Pokoknya 
ada KTP dan Surat Kewarganegaraan saja, bisa nikah dnegan agama 
Konghucu," jelasnya. (bersambung)




Reply via email to