Menurut saya, ada suatu cara besikap orang Tionghoa yang salah kaprah jika 
dituduh eksklusif atau tak mengIndonesia. seperti terungkap dari pengakuan 
anak2 muda di bawah ini :

Dalam menangkis tuduhan, mereka sering mengemukakan bahwa mereka sudah "luntur" 
atau menanggalkan sebagian besar "atribut cina" nya. temasuk diantaranya tak 
punya nama Tionghoa, tak bisa mandarin, sudah tak mengerti apalagi menjalankan 
tradisi Tionghoa, bahkan pergi ke negeri leluhur pun tidak nyaman dsb dsb.

Cara bersikap ini secara tak langsung membenarkan politik Asimilasi total. 
yakni orang Tionghoa kalau tak mau disebut ekslusif harus sebisa mungkin 
menanggalkan semua unsur yang berbau Tionghoa. kalau "saya tak bisa bhs 
Tionghoa, nama Tionghoapun tak punya, juga tak mengerti budaya Tionghoa" 
dijadikan alibi kuat tak lagi dicap exclusive, bagaimana dng orang yang "masih 
bisa bhs Tionghoa, punya nama Tionghoa,  juga mengerti dan menjalankan budaya 
Tionghoa" ???

Salam,
ZFy
  ----- Original Message ----- 
  From: HKSIS 
  To: HKSIS-G 
  Sent: Friday, February 22, 2008 6:51 AM
  Subject: [budaya_tionghua] Fw: Sungguh, Kami Enggak Eksklusif



  ----- Original Message ----- 
  From: Ivan Wibowo 
  To: Rizal JJ ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Friday, February 22, 2008 9:33 AM
  Subject: [snb-milis] Sungguh, Kami Enggak Eksklusif

  Sungguh, Kami Enggak Eksklusif
  Jumat, 22 Februari 2008 | 03:25 WIB --- KOmpas 
  Masih merupakan kelanjutan dari Imlek. Hari ini, atau 15 hari setelah Imlek 
yang disebut Cap Go Meh, merupakan penutupan acara-acara Imlek, dan resmilah 
kita memasuki Tahun Tikus. Nah, jadi masuk akal dong kalau kita pengin tahun 
apa aja sih yang dilakukan para abu-abuers keturunan Tionghoa masa kini. Kita 
kan bisa dibilang gede di era reformasi.

  Orang Tionghoa pun enggak beda sama berbagai etnis lain di Tanah Air, yang 
juga sering kali dibayangi stereotip tertentu.

  Sebagai generasi reformasi, masih ada enggak sih pandangan kita yang 
membedakan orang itu berdasarkan suku, agama, dan antargolongan yang populer 
disebut SARA?

  Kalau ada di antara kita yang seperti itu, wuaduh kayaknya lebih cocok hidup 
di zaman batu. Secara, dunia sekarang sudah mengglobal banget, dengan ujung 
jari kita bisa "berpetualang" ke belahan Bumi mana pun, maka prasangka buruk 
cuma gara-gara SARA pastilah enggak banget.

  Enggak jelas siapa yang memberi stereotip orang Tionghoa itu eksklusif maunya 
bergaul sama sesama etnis saja, atau semuanya kaya karena kebanyakan jadi 
pengusaha.

  Nah, prasangka-prasangka seperti itulah yang bikin Ongky Fivi Vilian (15), 
siswa kelas X SMAN 11 Surabaya, sedih. Fivi yang ayahnya keturunan Tionghoa dan 
ibunya asli asal Manado, Sulawesi Selatan, itu merasa enggak pernah 
membeda-bedakan teman. Sejak usia sekolah pun sama seperti warga dari berbagai 
etnis di Indonesia, Fivi belajar di sekolah negeri, selain dekat dengan rumah, 
juga sebab dia enggak merasa beda sama warga negara Indonesia yang lain.

  "Aku malah enggak banyak tahu budaya China. Kalau Imlek sih ngerti karena 
keluargaku merayakan juga. Tapi itu kan sekadar kumpul, makan bareng keluarga 
besar, dan dapat angpau," ujar Fivi.

  "Teman-teman di sekolahku juga pada baik-baik aja tuh. Aku enggak merasa ada 
diskriminasi karena orang keturunan. Kalau ada yang ngeledek, menyebut aku 'hei 
China', itu biasanya mereka yang belum maju pikirannya," cerita Fivi yang 
senang karena tak perlu bolos sekolah lagi untuk merayakan Imlek.

  Oktavianus, siswa kelas XI SMA Kristen IPEKA Jakarta, juga keberatan kalau 
dibilang mereka enggak gaul dengan orang di luar komunitas Tionghoa. "Cari 
teman itu tergantung bawaan orang, ngerasa nyaman dengan siapa. Gue enggak 
masalah berteman dengan siapa aja. Kebetulan dari dulu sekolah dan lingkungan 
tempat tinggal gue banyak orang China-nya. Jadi ya gue gaulnya kebanyakan sama 
mereka," kata siswa jurusan IPS ini.

  Tetapi, biar berada di komunitas Tionghoa sekalipun, Oktavianus juga enggak 
paham soal budaya asli nenek moyang keluarganya. Orangtuanya lahir di 
Indonesia, bahkan nama China-nya pun dia enggak ingat.

  "Gue cuma tahu nama keluarga Liu. Gue juga enggak bisa bahasa Mandarin, baru 
tahun lalu di sekolah ada kelas bahasa Mandarin," ujar Oktavianus yang belum 
pernah menginjakkan kaki di negeri China.

  Dia juga bercerita kalau orangtuanya pun tak pernah mengarahkan anaknya 
menjadi pengusaha, seperti profesi kebanyakan orang Tionghoa. Sama seperti 
orangtua lain pada umumnya, orangtua Oktavianus berharap anaknya tekun belajar, 
dan menjadi orang yang berguna, apa pun profesinya nanti.

  Tidak fanatik

  Sementara Fifi (16), siswa kelas X Bandung Alliance International School, 
bercerita, ayahnya tak bosan-bosan mengajari dia dan dua adiknya untuk memahami 
budaya China. Di rumah mereka banyak pernik-pernik bernuansa oriental yang 
dikoleksi sang ayah, mulai dari guci sampai lagu Mandarin.

  Tradisi Imlek, seperti enggak boleh menyapu rumah di hari H, juga dipegang 
keluarga, agar hoki atau keberuntungan tak lepas dari kehidupan keluarga 
pemilik rumah. Mereka juga bermain kembang api pada malam sebelum Imlek. 
Bahkan, komunikasi Fifi dengan ayahnya menggunakan bahasa Mandarin. Tahun lalu, 
selama sebulan Fifi di Beijing, China, memperlancar bahasa Mandarin.

  "Aku sudah tiga kali ke China. Sebenarnya aku enggak senang tinggal di sana. 
Rasanya gimana ya, banyak yang enggak aku pahami, aku merasa enggak bisa 
menikmati," kata Fifi yang bernama China, Liu Ai Hui.

  Meski keluarga ingin keturunan mereka tetap memahami tradisi Tionghoa, namun 
Fifi mengaku mereka tidak fanatik dengan negeri asal nenek moyang mereka. Ia 
juga tak sependapat dengan anggapan bahwa orang Tionghoa itu eksklusif. "Kalau 
soal eksklusif sih tergantung orangnya. Aku milih teman yang baik, enggak 
peduli dari mana asalnya. Apalagi di sekolahku banyak teman yang berasal dari 
berbagai negara,"ujarnya.

  Aimee Dawis, Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia yang juga peneliti 
kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia, mengatakan, kehidupan generasi muda 
keturunan Tionghoa itu heterogen. Kental atau enggaknya budaya Tionghoa yang 
diterapkan pada generasi reformasi ini, tergantung antara lain pada keluarga, 
agama, dan lingkungan mereka. (ESTER LINCE NAPITUPULU)

  ***
  Saling Menerima

  Biar kita enggak terjebak sama pergaulan yang didasari pada cap SARA maupun 
diskriminasi, ada resep dari Aimee Dawis, Dosen Pascasarjana Universitas 
Indonesia.

  * Sikap tidak diskriminatif itu harus dimulai dari diri sendiri. Artinya, 
pilihan untuk tidak bersikap diskriminatif mesti dibuktikan dengan tindakan 
sehari-hari kita sendiri.

  * Kita kudu berlatih bisa saling menerima. Dua orang kembar sekalipun punya 
gaya, kebiasaan, dan selera yang bisa beda. Kalau kita bisa menerima perbedaan 
itu dengan lapang dada, dunia bakal aman dan nyaman.

  * Buka wawasan dengan banyak baca buku dan bergaul dengan beragam orang, 
supaya pikiran kita terbuka. Dunia ini berisi beragam manusia yang berbeda 
bahasa, budaya, cara hidup.

  * Buat mereka yang keturunan Tionghoa, Aimee yang juga keturunan Tionghoa 
mengingatkan, banyaklah bergaul dengan teman di luar komunitas Tionghoa untuk 
menghapus kesan eksklusif. Terlibatlah dalam kegiatan sosial untuk menunjukkan 
kita peduli dengan masalah yang dihadapi orang lain.

  * Buat mereka yang bukan orang Tionghoa, terimalah abu-abuers keturunan 
Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Dalam pergaulan yang dinilai 
tentu bukan dari mana asal dan etnis kita, tetapi bagaimana kepribadian 
seseorang itu.

  * Semua abu-abuers, dari mana pun asal dan etnisnya, harus bekerja sama dan 
bisa hidup berdampingan. Mau orang Tionghoa atau bukan, yang penting bergaul 
dan berbaurlah dengan beragam jenis orang, etnis, agama maupun tingkat 
sosial-ekonomi. Ini akan membuat stereotip itu mencair. (ELN)

  ----------------------------------------------------------

  No virus found in this incoming message.
  Checked by AVG Free Edition. 
  Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.20.6/1282 - Release Date: 2008/2/15 
$U$H 07:08

  [Non-text portions of this message have been removed]



   


------------------------------------------------------------------------------


  No virus found in this incoming message.
  Checked by AVG Free Edition. 
  Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.20.9/1292 - Release Date: 21/02/2008 
16:09




[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to