http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/22/nus04.html


Cap Go Meh, Potong Kambing Hitam di Pulau Kemaro 
Oleh
Muhamad Nasir


Palembang - Puncak perayaan Imlek 2559 ditandai dengan perayaan Cap Go Meh yang 
diartikan sebagai awal permulaan membuka lembaran baru kehidupan dengan meminta 
keselamatan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang berlimpah.

Di Palembang, puncak ritual Cap Go Meh dilaksanakan di Pulau Kemaro yang 
merupakan sebuah delta di Sungai Musi, sekitar 5 km sebelah hilir Jembatan 
Ampera. Di pulau ini terdapat sebuah Kelenteng Hok Ceng Bio. Tepat pukul 00.00 
WIB, nyala kembang api berpijaran menghiasi langit di atas Pulau Kemaro, 
ditingkahi bunyi dari delapan tambur yang dipukul bersahut-sahutan.  Pijaran 
kembang api itu menandai perayaan Cap Go Meh, momen terakhir penyambutan sin 
cia sekaligus peresmian pagoda Kelenteng Hok Tjing Bio oleh Gubernur Sumsel Ir 
Syahrial Oesman. 

Sebelumnya, dipimpin pengurus Kelenteng Hok Tjing Bio menyembelih seekor 
kambing warna hitam di depan makam Buyut Fatimah. Setelah itu, 100 kambing 
lainnya hasil sumbangan umat juga turut disembelih. Perayaan Cap Go Meh ini 
juga dimeriahkan dengan pertunjukan seni budaya tradisional China, seperti 
barongsai, liong, wayang orang China, dan hadir pula kelompok tanjidor. Dalam 
perayaan Cap Go Meh, ribuan masyarakat etnis China maupun pribumi termasuk yang 
datang dari berbagai kota bahkan dari luar negeri seperti Singapura dan 
Malaysia berkunjung ke Pulau Kemaro untuk melakukan sembahyang atau berziarah. 
Perayaan ini berlangsung selama dua hari.

Di Pulau Kemaro perayaan Cap Go Meh menggambarkan kegiatan peribadatan yang 
sekaligus juga merupakan "perkawinan" budaya yang sebenarnya. Selain barongsai 
dan liong yang meramaikan malam puncak Cap Go Meh - tahun ini jatuh pada 
pergantian hari dari tanggal 19 Februari ke 20 Februari di Pulau Kemaro hadir 
pula kelompok tanjidor dan penyembelihan kambing persembahan. Nuansa 
peribadatan agama Buddha Tridharma dengan nuansa keislaman terasa begitu 
kentara di Pulau Kemaro. Bercampur aroma dan padatnya asap hio yang dibakar. 
Ini tidak lain karena dalam sejarahnya Pulau Kemaro memang ada hubungannya 
dengan kedua agama tersebut. 

Terbersit dalam legenda kisah cinta Fatimah dengan suaminya Tan Po Han 
berabad-abad lalu. Oleh karena itulah, selain bersembahyang kepada Thien (Tuhan 
Yang Maha Esa), umat yang datang pun bersembahyang untuk Dewa Bumi (Hok Tek Cin 
Sin), Buyut Fatimah, Dewi Kwan Im, Dewa Langit, Dewi Laut, dan juga penunggu 
Pulau Kemaro. 

Selain garu/hio, serta perlengkapan peribadatan Tridharma lainnya yang banyak 
dibawa ke pulau itu, ada juga rangkaian bunga serta kambing yang dibawa masuk 
ke Pulau Kemaro. Syarat-syarat upacara memang beragam, seperti nasi kuning plus 
ayam panggang, nasi gemuk dan telur rebus, pisang dan beragam buah-buahan, 
serta opak dan jeruk purut. Di beberapa sudut kelenteng, syarat upacara memang 
tampak memenuhi areal berdampingan dengan hio dan lilin serta garu yang dibakar.

Karena suasana yang memang semarak inilah, saat puncak perayaan Cap Go Meh, 
Pulau Kemaro dikunjungi sekitar 20.000 hingga 30.000 umat dan pengunjung dari 
Sumsel dan luar Sumsel. Pengunjung dari Singapura, Jakarta, Sumatera Utara, 
Bengkulu, Lampung, Jambi, dan Bangka Belitung, terdaftar memadati perayaan Cap 
Go Meh di Pulau Kemaro. 

Dijadikannya Pulau Kemaro sebagai pusat kegiatan perayaan Cap Go Meh ketimbang 
sejumlah kelenteng dan wihara lainnya di Palembang, menurut informasi, karena 
selama ini mereka yang berdoa di Kelenteng Hok Ceng Bio banyak yang terkabul 
doanya. Selain berdoa kepada para leluhur, masyarakat Tionghoa yang datang ke 
sini pun ada yang meminta jodoh serta meminta sukses dalam bisnis dan karier.

Pinjam Angpau
Hal ini diakui seorang pengusaha Hermanto Wijaya yang juga Ketua Walubi Sumsel. 
"Saya dulunya juga meminjam angpau. Tetapi sekarang hanya sembahyang saja. 
Giliran mereka yang muda-muda meminjam angpau," ujarnya.

"Terserah mau berapa pinjamnya. Bisa lima juta, 30 juta, atau berapa. Itu 
semuanya diwakili 10 angpau (uang logam yang dibungkus dengan kertas merah). 
Angpau tersebut kemudian dibawa pulang dan ditaruh di laci di rumah atau di 
kantor. Bila berhasil, tahun depan boleh membayarnya berapa saja, Rp 100.000, 
Rp 50.000, atau berapa saja. Kalau belum berhasil, tidak bayar juga tidak 
apa-apa," tambah Chandra yang diiyakan Hermanto Wijaya. 

Tampak memang beberapa umat memberikan imbalan berkisar antara Rp 20.000 hingga 
Rp 100.000 kepada petugas penuntun. Itu mungkin, mereka yang telah sukses usaha 
maupun kariernya atau telah menemukan jodoh. Sementara itu, uang yang beredar 
di Pulau Kemaro bisa berkisar Rp 2 miliar. Sedangkan uang yang beredar di 
Sumsel selama perayaan Cap Go Meh bisa lebih dari itu. 

Di hari-hari biasa, Pulau Kemaro akan kembali sepi. Tinggal nanti para panitia 
membersihkan sisa-sisa upacara. Akankah permohonan pengunjung dipenuhi Dewa, 
mungkin ukurannya adalah banyak tidaknya pengunjung Cap Go Meh tahun 
berikutnya. Ini karena mereka yang berhasil akan datang kembali mengembalikan 
uang yang dipinjamnya ataupun membawa anak-anak hasil perjodohannya yang 
dipercaya didapat setelah ke Pulau Kemaro, melaksanakan Cap Go Meh. n
 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke