Tabir Tragedi Mei 1998
Kamis, 15 Mei 2008 | 00:20 WIB 
Oleh B Herry Priyono

Mengenang 10 tahun tragedi Mei 1998? Pada titik mana kita mengheningkan cipta? 
Hidup para mahasiswa yang gugur? Ribuan kematian yang terpanggang api dan amuk 
penjarahan? Rezim Soeharto yang runtuh? Awal reformasi yang mengawali ilusi 
hari ini?

Entah yang mana, brutalitas kekerasan Mei 1998 masih utuh tak tersentuh dan 
teka-tekinya terkunci bahkan bagi para pemberani. Seperti setiap teka-teki 
tentang tragedi besar, dalam diam khalayak tetap menyimpan pertanyaan.

Maka, sementara kita mengenang dan mengheningkan cipta, mungkin ada gunanya 
mengingat lagi teka-teki brutalitas peristiwa yang masih utuh tak tersentuh. Ia 
tidak akan terkuak sebelum tiga pertanyaan besar ini terjawab. Pertama, 
mungkinkah gelombang kekerasan Mei 1998 itu terjadi secara spontan? Kedua, apa 
artinya pola sistematik yang terjadi dalam kekerasan serentak? Ketiga, apakah 
masuk akal badan intelijen tidak tahu sebelumnya kekerasan massal yang bersifat 
serentak dan sistematik itu?

Keserentakan kekerasan

Sangatlah ganjil ledakan kekerasan dalam skala kolosal seperti Mei 1998 terjadi 
pada waktu yang bersamaan. Kekerasan berskala kolosal yang terjadi pada waktu 
bersamaan di seluruh Jakarta pun sudah amat sangat ganjil. Apalagi kekerasan 
tersebut meledak pada waktu bersamaan dalam skala seluas Jabotabek dan 
kota-kota lain. Istilah ?pada waktu bersamaan? merupakan kunci.

Istilah itu menunjuk terjadinya kekerasan dalam skala kolosal secara serentak. 
Dan, terjadinya kekerasan secara serentak dalam skala kolosal itu memberi kesan 
kekerasan kolosal meledak secara spontan serta acak (random). Ia spontan dan 
acak dalam arti tidak digerakkan melalui pengorganisasian apa pun.

Mereka yang telah menelan mentah-mentah klaim spontanitas kekerasan dalam 
tragedi Mei 1998 itu sebaiknya segera memuntahkan kembali. Sebabnya sederhana. 
Dapatkah kita mendamaikan kontradiksi antara ?spontanitas kekerasan? dan ?skala 
kolosal kekerasan?? Apa yang spontan hampir mustahil terjadi dalam skala 
kolosal, dan apa yang terjadi dalam skala kolosal hampir tidak mungkin muncul 
secara spontan.

Dalam dunia perilaku manusia, suatu gejala yang sama sekali baru, bersifat 
acak, dan berskala kolosal hanya mungkin muncul atau terjadi karena dua hal. 
Pertama, karena kebiasaan sosial yang sudah terbentuk lama dan panjang dalam 
proses sejarah hingga menjadi kebiasaan kolektif. Kedua, karena hasil rekayasa 
yang sangat sistematis.

Tentang penyebab pertama, apabila ciri-ciri kekerasan yang berskala kolosal 
dalam tragedi Mei 1998 itu disebabkan oleh kebiasaan sosial kita yang sudah 
menyejarah, satu-satunya kemungkinan adalah kita memang bangsa brutal atau 
bahkan biadab. Namun, jika kita bukan bangsa biadab, kekerasan yang berskala 
kolosal itu tentu dipicu oleh sebab lain yang bukan berakar pada kebrutalan 
yang telah menyejarah. Justru karena itu, pintu terbuka sangat lebar untuk 
memahami kekerasan berskala kolosal dalam tragedi Mei 1998 itu bukan sebagai 
gejala spontan, melainkan sebagai hasil rekayasa yang amat sistematis dan 
terorganisasi. Pertanyaan siapa yang mengorganisasi adalah teka-teki besar lain.

Sistematisasi amuk

Dari pola bagaimana kekerasan kolosal Mei 1998 dimulai, amatlah tidak masuk 
akal menerima keganasan itu sebagai hasil dari spontanitas massal. Dari begitu 
banyak saksi di lokasi kejadian, kita bisa belajar bahwa orang-orang yang 
memulai tindakan kekerasan bukanlah orang-orang dari lingkungan setempat 
ataupun orang- orang yang dikenal warga setempat. Mereka adalah ?orang-orang 
asing dari antah-berantah?.

Itulah para pelaku yang rupanya memulai vandalisme dan kekerasan. Ketika 
gelombang kekerasan telah mulai berjalan kencang, orang-orang dari 
antah-berantah ini kemudian mengajak kerumunan massa penonton bergabung dalam 
deretan penjarahan dan kekerasan. Pada momen inilah segera terlihat kesan bahwa 
seluruh gelombang kekerasan Mei 1998 itu seolah- olah dimulai para penduduk 
setempat secara spontan.

Ketika laju kekerasan sudah terlihat seolah-olah sebagai gelombang amuk 
spontan, orang-orang dari antah-berantah yang menjadi pelatuk kekerasan itu 
lalu menyingkir, dan kemudian lenyap dalam bayang-bayang dan lipatan kekerasan 
kolosal. Mungkin orang-orang asing dari antah-berantah itu masih mendengar 
bunyi api yang membakar kota, atau jeritan anak-anak yang terperangkap dalam 
detik-detik kematian, atau mungkin mereka berpindah untuk segera menyalakan api 
dan kekerasan di sasaran berikutnya. Yang pasti, ?mesin-mesin kekerasan? itu 
kemudian lolos dari lensa sejarah. Mereka menyelinap dan lenyap dalam 
bayang-bayang pertarungan besar kekuasaan yang akhirnya membawa kejatuhan 
Soeharto.

Selanjutnya, kepada kita disajikan kisah tentang segala bentuk kekerasan dalam 
tragedi Mei 1998 sebagai teka-teki yang terkunci. Ada satu lagi pertanyaan 
mahabesar yang perlu diajukan, dan jawabannya akan menunjukkan apakah tragedi 
Mei 1998 itu misteri atau bukan.

Misteri intelijen

Pertanyaan terakhir ini sentral dan sedemikian mendasar. Bukankah begitu aneh 
dan tidak masuk akal ledakan kekerasan dalam skala kolosal sebesar Mei 1998 itu 
sama sekali tak dikenali oleh radar badan intelijen militer? Kita tidak sedang 
berbicara mengenai lembaga intelijen suatu negara yang baru lahir, tetapi badan 
intelijen yang sudah punya pengalaman luar biasa selama 32 tahun kediktatoran.

Hanya orang biasa seperti saya yang tidak sanggup mendeteksi serta 
mengantisipasi mesin-mesin kekerasan yang akan berderap di jalan-jalan 
Jabotabek dan kota-kota lain. Simaklah keanehan besar berikut ini. Kalau 
gerakan amat rahasia beberapa orang aktivis pun dengan mudah dideteksi dan 
dibongkar oleh badan intelijen (dan ini sudah menjadi kebiasaan 
bertahun-tahun), bagaimana mesti dijelaskan gelombang kekerasan berskala 
kolosal dalam tragedi Mei 1998 sama sekali lolos dari radar badan intelijen 
yang sama?

Tanpa jawaban atas keganjilan mahabesar itu, kita tidak perlu percaya 
penjelasan apa pun tentang tragedi Mei 1998. Sekali lagi, keganjilan kinerja 
badan intelijen itu sedemikian besar sehingga klaim atas ciri spontan kekerasan 
yang berskala kolosal itu tidak mungkin dapat diterima. Para saksi yang dapat 
menguak keganjilan mahabesar ini sekarang tentu masih segar bugar. Cuma, 
sedikit kemungkinan mereka akan berani tampil untuk menjawab tiga pertanyaan 
besar di atas. Apa pun juga, tiga pertanyaan besar itu bisa menjadi pandu yang 
menuntun kita dalam menanggapi simpang siur tentang tragedi Mei 1998.

Mengapa mesti berjerih payah dengan tiga pertanyaan besar yang membuat batin 
kita digigit kembali oleh kepedihan pembunuhan, pembakaran, penjarahan, dan 
kekerasan lainnya? Sejak hari-hari gelap pada bulan Mei 1998 itu, berita 
tentang negeri ini setiap hari berisi headlines baru. Setiap headline tentu 
terasa mendesak, tetapi sesungguhnya juga menjadi tabir yang menutupi tragedi 
itu sampai menjadi tabu. Lalu, apa yang kita tulis di buku sejarah hanyalah 
tabir kegelapan. Itu membuat anak-anak kita tidak belajar apa pun selain 
ketakutan.

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) 
Driyarkara, Jakarta

Tragedi Mei dan Perilaku Pascadeklarasi Reformasi
Kamis, 15 Mei 2008 | 00:21 WIB 
Oleh Frans H Winarta

Tidak terasa 10 tahun hampir berlalu setelah reformasi dideklarasikan oleh para 
pemimpin reformasi yang terdiri atas Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, 
Amien Rais, dan Hamengku Buwono X di Ciganjur pascajatuhnya pemerintahan Orba 
di bawah Jenderal Soeharto pada tahun 1998, setelah Gedung DPR/MPR diduduki 
ribuan mahasiswa dan sejumlah menteri kabinet mengundurkan diri.

Janji waktu itu adalah demokrasi dan pemerintahan yang bersih bebas KKN, 
militer harus profesional dan Dwifungsi ABRI akan ditinggalkan, tidak ada lagi 
badan ekstra yudisial, konglomerasi dihapuskan, ekonomi kerakyatan, 
penghormatan atas hak asasi manusia, pers bebas dan segala janji yang penuh 
harapan. Namun, ternyata di dalam perjalanannya janji-janji itu sulit 
dilaksanakan karena faktor budaya politik, hukum, sosial, dan ekonomi feodal 
yang telanjur melekat lebih dari empat dekade masa Orba.

Korupsi tetap merajalela, malahan dalam bentuk yang lebih merata, meluas, 
canggih, dan tidak tahu malu. Memang tidak ada lagi Dwifungsi ABRI, badan 
ekstra yudisial, pers lebih bebas, konstitusi bisa diamandemen, tetapi semua 
itu belum dapat menyejahterakan rakyat. Rakyat tetap miskin, malahan semakin 
miskin karena daya beli jauh menurun. Pemimpin politik terus berkelahi 
seolah-olah semua yang ditinggalkan Orba menjadi rebutan dan budaya mau menang 
sendiri terus merajalela.

Sungguh menyedihkan harapan rakyat akan demokrasi dan kesejahteraan tak 
terpenuhi. Cita-cita negara kesejahteraan (welfare state) berdasarkan hukum 
semakin kabur. Korupsi terus dibicarakan, diperdebatkan, dan ada keengganan 
dari para penegak hukum memberantas korupsi karena keterlibatannya dalam 
korupsi pada masa lalu. Penunjukan KPK pun terus diperdebatkan, ada sikap 
separuh hati dalam agenda memberantas korupsi.

Yang paling mencengangkan dan mengkhawatirkan adalah kembalinya konglomerasi 
yang menjadi sebab ketidakadilan selama pemerintahan Orba. Para tokoh Orba 
kembali ke pentas kekuasaan, baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun 
yudikatif. Para pengusaha teras kembali mentas dan seolah-olah tidak punya 
dosa, menguasai yang berkuasa dengan uang dan pengaruhnya persis seperti zaman 
Soeharto dengan ersatz capitalism- nya. Suap, sogok, kolusi, penyediaan 
fasilitas dipraktikkan bagi pejabat negara, dan janji-janji duniawi 
disebarluaskan.

Yang paling celaka adalah sebagian besar dari mereka adalah etnis Tionghoa yang 
selama pemerintahan Orba diciptakan sebagai economic animal yang rakus, egois, 
anasionalis. Padahal, ratusan konglomerat ini telah menjadi sapi perahan para 
pejabat yang berkuasa. Ironisnya, etnis Tionghoa secara keseluruhan telanjur 
dijadikan warga negara kelas dua dan segala atribut negatif lainnya agar bisa 
dijadikan target kebencian, huru-hara, dan gejolak sosial.

Bisa terulang lagi

Mungkin kita sudah lupa betapa penderitaan kaum reformis, mahasiswa, aktivis 
LSM, dan pejuang hak asasi manusia yang berkorban, termasuk nyawanya, untuk 
menumbangkan rezim otoriter. Apakah tragedi Mei akan terulang lagi? Tentu bisa 
saja terjadi kalau kita terjebak dalam eforia semu, kebebasan bicara yang 
kebablasan, pameran kekayaan yang berlebihan yang dilakukan secara terbuka di 
hadapan umum tanpa tenggang rasa di tengah kemiskinan rakyat. Misalnya ada 
pernikahan anak konglomerat dengan ribuan undangan di Singapura merayakan Imlek 
secara berlebihan di tengah penderitaan dan kemiskinan sebagian besar rakyat 
yang masih prihatin kehidupannya, para pemimpin politik terus berkelahi, agenda 
pemberantasan korupsi gagal, dan harga kebutuhan pokok melonjak yang 
menyengsarakan rakyat.

Kalau itu semua berlanjut, tidak mustahil gejolak sosial terus berlanjut dan 
kejadian tragedi semacam Mei 1998 akan terulang kembali dan mungkin dalam 
bentuk lain dan lebih masif. Semoga para pemimpin Indonesia menyadari itu semua 
dan orang- orang berduit agar hidup prihatin dan tidak memamerkan kekayaannya 
di tengah kemiskinan dan penderitaan rakyat.

Frans H Winarta Advokat di Jakarta dan Ketua Umum Yayasan Pengkajian Hukum 
Indonesia (YPHI)

Kirim email ke