Bagaimana kita dapat menang?


 How can we win when fools can be kings? (Matthew Bellamy, Black Holes and 
Revelations, 2006)


Kita patut bersedih, Indonesia pasca reformasi bukannya maju tetapi malah 
terpuruk, gema reformasi yang kaya retorika miskin substansi, yang tidak mampu 
me-reform bangsa dan negara. 10 tahun sudah semenjak Orde Baru tumbang, 
Indonesia makin jauh tertinggal ke belakang bahkan diantara negara-negara di 
Asia Tenggara sendiri. Thailand, Malaysia, Korea adalah negara-negara yang 
pernah terpuruk akibat krisis keuangan, mereka sudah bangkit, terhadap 
pembangunan begitu marak dan kemajuan-kemajuan disana, kita perlu sangat iri 
dan memandang sedih keadaan Indonesia kita sekarang ini.

Yang terjadi di Indonesia, para penguasa yang tidak mencintai bangsa dan 
negaranya, yang selalu bertikai untuk kepentingan kelompoknya dan membela 
perutnya sendiri-sendiri. DPR yang sebagian "tidur", pejabat yang korup.. tidak 
ada nasionalisme, tidak mencintai bangsa dan negara. Pemimpin yang tidak tegas, 
takut dan sungkan pada kelompok tertentu, para pemimpin negara yang tidak dapat 
menyelesaikan kasus lumpur panas dan menindak yang membuat gara-gara bencana 
itu. Pengungsi pasca tsunami Atjeh yang masih ada tinggal di tenda-tenda hingga 
kini, angka kemiskinan yang bertambah, malnutrisi, dan lain-lain. Para mantan 
pejabat negara yang tidak ada puasnya menjadi pejabat, mantan menteri-pun masih 
ingin menjadi gubernur dan walikota. Para incumbent yang sudah jelas tidak 
mampu membangun suatu daerah masih ingin juga terpilih dalam pilkada. 
Menteri-menteri bidang kesejahteraan yang gagal mensejahterakan rakyat, malah 
sebaliknya menjadikan rakyat sengsara. Kita dipimpin oleh orang-orang yang 
tidak mempunyai itikad membangun negara. Mereka hanya berjuang untuk diri 
sendiri dan memperkaya diri dan kelompoknya. 




Idealisme Yi Fu Lin: 


 Menyimak biografi Justin Yi Fu Lin, memahami nasionalisme yang dimilikinya, 
dada ini serasa berkobar dan bertanya, adakah orang semacam ini dimiliki oleh 
Indonesia? Baiklah saya akan bercerita sosok yang satu ini. Pada Tanggal 4 
February 2008, World Bank president, Robert Zoellick mengumumkan Justin Yifu 
Lin (??? , 15 Oct 1952 - ) sebagai Bank's new Chief Economist and Senior Vice 
President for Development Economics. Dia seorang warganegara China kelahiran 
Taiwan. Sesuatu yang spesial karena untuk posisi yang penting ini seorang Asia 
berkulit kuning terpilih. Barangkali ada yang menganggap hal ini sama sekali 
tidak spesial. Tapi kita perlu banyak tahu profil satu orang ini yang dapat 
memberikan kita inspirasi akan semangatnya dan cintanya kepada Negara.

Sebelum di World Bank, Lin adalah direktur dari China Center for Economic 
Research, ia adalah seorang Professor dari Beijing University, orang penting 
yang mempunyai banyak andil dan peranan penting dalam kemajuan China yang telah 
kita lihat hasilnya akhir-akhir ini. Dia menjadi salah satu designer dalam 
"China's fast grow economy", kemajuan yang berlari kencang yang dicapai China 
sekarang ini. Ia juga seorang ahli pertanian dan keahliannya ini diyakini akan 
memberi dampak yang spesifik/ unik bagi the World Bank Group.

Yi Fu Lin lahir dan dibesarkan di Taiwan dengan nama Zhengyi Lin (???), ia 
mendapat gelar MBA di National Chengchi University di Taiwan pada tahun 1978, 
dan juga menjalani wamil dan menjadi perwira di Taiwan. Tahun 1979, ia 
mendengar statement dari Deng Xiaoping (???) bahwa China tidak akan lagi 
"memusuhi" Taiwan atau melakukan penyerangan. Deng Xiaoping dalam 
kepemimpinannya dikenal sebagai pencetus pembaharuan di bidang ekonomi dengan 
sistem ekonomi pasar bagi wilayah- wilayah yang dianggap bisa melakukan 
pembaharuan, meski negara itu menganut faham Komunis. Pada 1 Januari 1979 China 
juga telah mulai membuka hubungan diplomatik dengan Amerika. Menimbang semua 
itu, rasa nasionalis Lin bangkit, ia bertekat datang ke tanah leluhur dan 
mengabdikan dirinya menjadi bagian untuk kemajuannya. Ia yakin China akan 
berubah dan menjadi Negara yang besar dan maju, dan pada saatnya China - Taiwan 
akan bersama sebagai saudara, Lin ingin menjadi bagian dari semuanya itu.

Untuk mencapai keinginannya itu, Lin muda yang kala itu masih berusia 27 tahun, 
seorang yang berotak brilian sekaligus idealis ini secara diam-diam 
meninggalkan Taiwan, meninggalkan semuanya, ayah ibunya, saudara, istri dan 
anaknya yang kala itu masih dalam kandungan. Keluarganya yang di Taiwan tidak 
habis mengerti terhadap tekat Lin ini, bagaimana ia rela meninggalkan keluarga 
dan anaknya demi idealisme. Jalan yang dilaluinya untuk meninggalkan dan 
membelot dari Taiwan inipun tidak main-main, ia pergi ke China dengan cara 
berenang dan mengapung dengan satu bola basket sepanjang kira-kira 2 kilometer 
dari pulau Kinmen Taiwan menuju ke daratan Xiamen di propinsi Fujian China pada 
17 Mei 1979. Suatu tekat yang luar biasa. Kepergiannya secara diam-diam ini 
tidak dapat dimengerti oleh keluarga, istri dan saudara-saudaranya. Ia tentu 
tak dapat berpamitan secara baik-baik, karena kepergiannya "membelot" ke China 
dengan cara berenang adalah sesuatu perbuatan yang luarbiasa gila. Pada saat 
itu Taiwan menempatkan dia dalam daftar orang hilang, tetapi pada tahun 2000 ia 
dinyatakan Taiwan sebagai seorang yang membelot dan akan ditangkap. Ketika 
ditanya bagaimana ia tega meninggalkan istri dan sanak keluarga? Lin menjawab 
ada "saya kecil", ada "saya besar". "Saya kecil" adalah saya dengan urusan 
pribadi dan tanggung-jawab keluarga, sedangkan "saya besar" adalah cita-cita 
yang lebih besar untuk bangsa dan negara, ketika "saya yang besar" berhasil, 
saya yakin keluarga saya dapat mengerti. 

Sesampai di daratan China, Lin berangkat ke Beijing, ia diterima di Beijing 
University dan menjadi pengajar disana. Pada awal hubungan China-Amerika ini, 
Beijing University kedatangan tamu seorang professor dari Yale University. Kala 
itu tidak banyak orang China yang berbahasa Inggris dengan baik. Maka Lin 
terpilih sebagai penterjemah, dan ia menjadi penterjemah yang baik dan "match" 
dengan "bahasa ilmu" yang sedang diperbincangkan, sang professor ini 
mengaguminya. Ia menawari Lin untuk menerima beasiswa untuk melanjutkan study 
ke Amerika, Lin menerimanya. Kemudian datanglah ia di Amerika untuk study. 
Ternyata sang istri juga mendapat beasiswa ke Amerika dari Taiwan. Bertemulah 
ia dengan istri dan anaknya dan bersama tinggal disana sampai studinya selesai. 
Ia ditawari untuk menjadi pengajar di Yale, atau universitas apa saja yang dia 
pilih, dengan penghasilan yang tentu saja jauh lebih tinggi daripada menjadi 
seorang dosen di Beijing. Namun ia berniat kembali ke Beijing dan menulis surat 
kepada universitas itu posisi apakah yang akan diberikan kepadanya. Namun 
Beijing tidak menjawab, barangkali Beijing tidak percaya Lin mau kembali dengan 
kehidupan yang serba kurang di Beijing, mengingat kala itu China masih sangat 
miskin. Namun tekat untuk membangun negara dengan semangat nasionalisme 
menyampingkan keinginan-keinginan materi. Ia bertekat kembali, walaupun 
istrinya kurang setuju. Lin adalah orang pertama sebagai ilmuwan yang belajar 
di negara barat dan kembali ke 'ibu pertiwi'.

Hal yang membuat ia menjadi lebih bertekat untuk kembali ke China adalah ketika 
ia mendengar percakapan putrinya yang berumur 6 tahun dengan temannya (dari 
keluarga Meksiko). Putrinya berpamitan pada temannya berkata begini : "aku dan 
orang-tuaku mau kembali ke China, di China masih miskin, tapi kami harus 
kembali". Temannya, si anak Meksiko itu berkata, "kamu kembali ke negaramu 
sendiri, walaupun sekarang miskin tapi ada harapan nanti akan maju". Jawaban 
yang sederhana ini mampu menyemangati seorang ayah untuk membawa keluarganya 
kembali ke tanah leluhur. Banyak teman-teman Lin yang ada di Amerika mencoba 
menahannya dan mengatakan tak perlu kembali ke Beijing, karena disana ia pasti 
tidak akan dapat melakukan riset yang sempurna, karena tidak ada orang-orang 
yang sebanding dengan kemampuannya. Namun Lin bertekat akan mendidik 
orang-orang di negaranya menjadi selevel dengannya dan menjadi ilmuwan yang 
baik, yang melakukan riset-riset untuk kemajuan bangsa. 

Sekembali di China, ia diterima kembali di Beijing University. Ia langsung 
diberi posisi penting di China Center for Economic Research. Semacam lembaga 
think-thank (a policy institute) dalam bidang ekonomi. Ia membuat banyak sekali 
masukan yang menjadi dasar keputusan penting dalam perekonomian negara, 
kiprahnya itu kemudian dikenal di dunia internasional. Dan kini, ia menjadi 
sosok penting bagi perekonomian dunia melalui lembaga World Bank, terutama 
untuk pembangunan-pembangunan negara-negara yang masih miskin, dengan fokus 
budidaya pangan/ pertanian. 

Dengan hasil unifikasi Hongkong, kemudian Macao dengan China, menjadi daerah 
otonomi khusus "one country two systems" yang telah membuktikan secara ekonomi 
dan politik ada mutual-benefit. Akhir-akhir ini, baik di China maupun Taiwan, 
selalu didengungkan kemungkinan Taiwan bergabung, apalagi dengan terpilihnya Ma 
Ying Jeou (???) sebagai presiden Taiwan dari partai Kuomintang yang telah 
menjalin hubungan baik dengan China. ini semakin membawa harapan Lin segera 
terwujud. Negara yang dulu harus terpisah akan segera bersatu, ia dimungkinkan 
dapat bebas ke Taiwan dan tidak lagi dipandang sebagai pembelot (diserter).


Kisah dari Yi Fu Lin, kiranya menjadi inspirasi. Betapa Indonesia perlu 
orang-orang yang berkemampuan dan mempunyai rasa nasionalisme tinggi untuk 
kemajuan negaranya. Dan kitapun dapat membandingkan, betapa lembaga-lembaga 
think-thank di Indonesia ini tidak mempunyai dampak yang jelas, atau diberi 
andil yang besar pada kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. 
Bagaimana negara ini kurang mempedulikan cendekiawan dan memelihara kehidupan 
para ilmuwan yang berkecimpung dalam penelitian (riset). Suatu contoh: Sungguh 
tidak pada porsinya seorang presiden repot-repot dalam urusan "blue energy" 
yang kemudian bermasalah. Beliau mestinya tahu persis bahwa semua penemuan baru 
seharusnya mendapatkan verifikasi lembaga-lembaga riset milik negara seperti 
LIPI dan BPPT, bahkan ada Menristek untuk membantu presiden menelitinya lebih 
dulu sebelum semuanya itu masuk ke meja presiden, bukannya mereka ditinggalkan 
untuk mempercayai ilmuwan jadi-jadian. Sudah seharusnya orang-orang riset 
diberi tempat dan dipelihara dengan baik oleh negara untuk mempersiapkan negara 
menjadi berkembang ke arah yang lebih baik. Betapa para ilmuwan kita bekerja 
dengan segala keterbatasan dan kurang diperhatikan negara. Negara-negara 
tetangga telah memperkuat risetnya, mereka bergerak maju meninggalkan Indonesia 
yang mundur ke belakang. 




Blessings,
Bagus Pramono
June 21, 2008



http://portal.sarapanpagi.org/sosial-politik/bagaimana-kita-dapat-menang.html

<<yifulinqs7.jpg>>

Kirim email ke