Bung Paul Lim, Bung Rinto Jiang dan teman-teman semua,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Sorry, saya membuka arsip posting lama (2004) dan menemukan posting
tentang penelusuran 'akar' atau silsilah ini. Saya tertarik dengan
topik ini, dan saya suka memperhatikan sistem pemanggilan seseorang
terhadap orang lain dalam satu keluarga ber-sne sama.


Kalau dilihat dari posting Bung Paul Lim, yang menceritakan tentang
seorang kakek yang secara silsilah cukup dipanggil dengan 'koko' sa-
ja, ini bukan merujuk ke 'pue' (?) - sistem penamaan dalam suatu ke-
luarga satu sne. Melainkan ke sistem pemanggilan sesuai generasinya.
Sang kakek tsb minta Bung Paul memanggil-nya dengan sebutan 'koko',
sebab secara hirarki generasi, mereka berdua dalam satu tingkat ge-
nerasi yang sama. Walau si kakek jauh lebih dahulu lahir-nya. 

Sebagai contoh, sejak SMA saja, saya sudah mempunyai 'cucu kepona-
kan' yang memanggil saya 'ku-kong'. Ini disebabkan ibu si anak itu
secara hirarki masih 'pernah' keponakan saya, walau umur kami seba-
ya. Sebab saya memanggil nenek si anak itu dengan 'cici' (kakak),
nenek-nya itu masih 'pernah' cici misan saya entah dari mana.


Sistem penamaan, misal dari 2 nama (yang pertama adalah sne), bisa
saja sama yang pertama, atau sama yang kedua, tergantung aturan da-
ri yang sudah digariskan. Mungkin ini yang dibahas oleh Bung Rinto
dengan 'pue' (?) yang mengambil dari syair itu.

Memang benar bahwa dari sistem penamaan ini bisa diketahui tingkat
atau hirarki generasi yang bersangkutan, tapi dengan adanya pengu-
langan (kembali ke awal), mungkin agak sulit menentukannya.

Benar antara sistem penamaan (sama belakang or sama tengah) dengan 
cara penyebutan, bisa saling berhubungan, saling berkaitan, karena 
sudah digariskan sesuai kesepakatan keluarga sesepuh dulunya. Jadi
bisa diketahui dengan cepat, siapa yang hirarki (tingkat) generasi-
nya lebih dulu (di atas) atau siapa yang lebih muda (di bawah). Ka-
lau orang (Tionghua) di Jawa suka menyebutnya 'menang' atau 'kalah'
awu, abu (leluhur). Ini tidak memandang tingkat ekonomi orang-nya.


Tapi, kalau anda memiliki catatan silsilah keluarga, dengan mudah
anda bisa mengetahui bagaimana anda harus memanggil seseorang da-
lam keluarga, sesuai hirarki-nya dalam 'pohon keluarga' itu. 

Misal, kalau suatu saat anda menemukan seseorang yang bernama Tan
Ay Ling, sedang anda sendiri bernama Tan Mey Ling, hampir bisa di-
pastikan anda berdua memiliki hubungan keluarga, bisa saja segene-
rasi, nama anda berdua mengandung Tan dan Ling. Hal ini bisa ber-
laku khususnya bagi keluarga ber-sne tidak besar-besar amat, kalau
yang ber-sne besar sekali, mestinya kemungkinan bersaudara itu ja-
di kecil sekali. Keturunannya sudah entah generasi ke berapa.

Contoh kongkrit, saya pernah bertemu seorang pelanggan, namanya mi-
rip dengan golongan keluarga isteri saya. Ketika dilacak, ternyata
pelanggan saya itu masih bersaudara, satu tingkatan generasinya de-
ngan isteri saya. Mereka sama-sama generasi ke-5 dari keluarga ber-
sne sama. Artinya, kakek-buyut (kong-co) mereka bersaudara. Kongco
mereka punya orangtua yang sama. Sudah jauh memang, tapi namanya
saudara, jauh-dekat-nya tidak ditentukan oleh jarak, tapi dari hu-
bungannya sehari-hari. (Thanks to Mr. Steve Haryono, berkat catat-
an silsilah keluarga yang dikumpulkannya, saya jadi tahu persis!)


Tentang perkawinan, memang dulu aturannya ketat. Seseorang yang ber-
sne sama, dulu tidak boleh saling kawin-mawin, jangankan mau menga-
wini 'lo-cian-pwe'-generasi di atas kita. Aturan dilarang mengawini
yang lebih tinggi generasinya, mungkin cuma berlaku jika pihak lela-
ki lebih muda tingkatan generasinya, terlepas dari umur si perempuan.
Kalau yang perempuan lebih muda tingkat generasinya (walau umur le-
bih tua?), tentu tidak menjadi masalah.

Tapi, aturan tinggal aturan, tetap saja ada yang melanggar. Namanya
cinta, konon katanya mengalahkan segalanya. Ingat kisah cinta pende-
kar Siao Liong Lie dengan Yo-ko (?). Mestinya si Siao Liong Lie itu
adalah masih 'pernah' bibi-nya secara hirarki generasi.


Dalam thread posting yang sama, saya lihat ada beberapa orang yang
pada waktu itu (2004) merasa perlu mulai mengumpulkan silsilah ke-
luarganya masing-masing. Kalau boleh saya tahu, sesudah lewat seki-
tar 4 tahun sekarang, bagaimana hasilnya ya?

Begitulah saja, kiranya ada manfaat dari sini. Kalau ada yang salah,
sila dikoreksi, dan kalau ada yang kurang, tolong ditambahkan.

Salam,
Ophoeng, BSD City


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Paul <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Salam untuk semua,
  
Saya bersyukur boleh membaca dan menikmati  tulisan, diskusi-diskusi  
yang berlangsung di milis ini, dan mendapatkan banyak pengetahuan 
tentang kebudayaan tionghua.
 
Posting dari sdr. Piter mengenai tingkatan generasi (teochew - pue) 
menarik perhatian saya, dan kalau tidak salah belum  pernah diulas 
atau didiskusikan di milis ini.

Soalnya saya  pernah mengalami pengalaman perihal tingkatan generasi 
ini, sewaktu saya masih berumur 20-an tahun, sekitar tahun 1976.
  
Sewaktu pulang ke kota tempat kelahiran saya, banyak berjumpa dengan 
kenalan orang tua, dan salah satunya adalah seorang tua yang usianya 
kira-kira seusia kakek saya. Tentu saja sebagai tanda hormat dari 
yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, saya memanggilnya "acek 
atau apek". Tetapi apa reaksi dari orang tua tersebut sungguh-sungguh 
mencengangkan saya. Sambil goyangkan tangannya, ia berkata:"mo-mo-mo, 
ati mo ham wa acek; ham a-hia tu ho!" (tidak-tidak , adik jangan 
panggil saya paman, tetapi panggil saya kakak saja), karena saya 
sendiri memanggil ayahmu "acek" demiian sambung orang tua tersebut.
  
Tentu saya pada waktu itu saya sungguh tidak mengerti dan tidak dapat 
menerimanya. Jadi bila lain hari bertemu kembali, tetap saja mulut 
saya berat untuk menyapanya sebagai "ahia" kepada orang tua tersebut. 
Berat rasanya ini mulut, untuk memanggil seseorang sebagai kakak, 
yang usianya  hampir sama dengan kakek sendiri.
  
Beberapa tahun sesudahnya, hal tersebut pernah saya tanyakan kepada 
ayah saya. Ia menerangkan, kalau tidak salah tangkap ada 25 
tingkatan, dan masing-masing  marga mempunyai tingkatan generasi tsb. 
Dari kl. 25 tingkatan tsb, masing-masing mempunyai nama/puenya, dan 
bila telah habis, balik lagi ke awal tingkatan tsb.
  
Rasanya cukup rumit, dan meskipun telah diterangkan, tetap saja 
kurang jelas untuk dipahami. Bagaimana asal usul bermula 
datangnya "pue" tersebut ?
 
Pak Chris, pak Rinto yang tulisannya sangat saya nikmati, demikian 
juga rekan/ahli lainnya, sdr. Piter barangkali mau membagikan 
pengetahuannya. Trims
  
Paul Lim



--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Rinto Jiang <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:

Paul Lim menulis :
 
Rasanya cukup rumit, dan meskipun telah diterangkan, tetap saja 
kurang  jelas untuk dipahami. Bagaimana asal usul bermula 
datangnya "pue" tersebut ?
  
Pak Chris, pak Rinto yang tulisannya sangat saya nikmati, demikian 
juga rekan/ahli lainnya, sdr. Piter barangkali mau membagikan 
pengetahuannya. 

Trims
  
Paul Lim
 
 
Rinto Jiang :
 
Tingkatan generasi ini awal mulanya saya belum punya referensi. Namun 
setahu saya, tingkatan generasi ini dibuat berdasarkan nilai kesatuan 
keluarga yang sangat penting dalam struktur kemasyarakatan Tiongkok. 
Selain marga (Xing) yang merupakan hubungan vertikal antar generasi 
dalam keluarga, tingkatan generasi (Bei) adalah hubungan horizontal 
antar generasi dalam keluarga.
 
Tingkatan generasi ini biasanya diambil dari satu sajak dengan jumlah 
karakter tertentu, gunanya di zaman dulu terutama berhubungan dengan 
sistem pernikahan, karena dalam satu keluarga (zaman dulu, satu 
kampung hampir merupakan keturunan dari satu keluarga) tentunya tidak 
diinginkan ada generasi yang lebih muda menikah dengan generasi yang 
lebih tua dan sebaliknya. Lalu, tingkatan generasi ini juga untuk 
menunjukkan hirarki generasi keluarga tadi untuk memudahkan 
pemanggilan. Mudah2an sedikit info ini dapat mencerahkan. Ada 
tambahan dari rekan lainnya?
 
 
Rinto Jiang



Reply via email to