Kehidupan luks dan dekadensi Tempo Doeloe dan sekarang (Bagian kedua)

 

Karena yang tampak keluar kegiatannya, chususnya seperti yang dimaksud dalam
judul cerita ini ialah  mereka yang tergolong menengah atas dan golongan
yang kaya, apalagi kalau kita bicarakan tentang penghidupan luks dan
dekadensi. Maka saya bicarakan mereka yang masuk dalam tingkat social yang
lumayan dan tinggi.

Saya harap dengan tulisan di bab ini bahwa romatik kultur jaman Tempo
Doeloe, yang sudah lewat bisa "dihidupkan dan biar dia bicara lagi" pada
anda para pembaca,.  Meskipun kekuatan memori saya ini sekarang sudah
melemah karena kesenioranku, operasi yang besar dua kali dan dan banyaknya
pengobatan dengan kemoterapi. Kalau kita jalan-jalan di Supermall, Tunjungan
Plaza etc. Kita lihat banyak nyonya-nyonya, gadis-gadis dengan teman
sejawatnya atau bersama pacarnya berjalan dimall-mall dengan ditangannya
membawa tas-tas plastic dengan nama toko-toko yang elit, luks. Kalau mereka
sudah dapat apa yang mereka mau beli, mereka berhenti duduk beristirahat
dicafetaria-cafetaria makan kuwe basah dengan es cream, atau makan
direstoran-restoran di Mall-mall itu. Mereka ini dengan teman-temannya,
makan minum sambil ketawa dan bercakap-cakap, kelihatan puas, menunjukkan
kebruntungannya (Hok-Gi) bisa beli pakean, sepatu dan sebagainya yang luks
menurut kesenangannya. Mereka bebas berpergian, bebas bicara dan lebih bebas
hubungan antara kedua kelamin, pergi shopping atau nonton bioskop. Apalagi
pada hari saptu atau minggu mall-mall dan restoran-restoran itu penuh dengan
manusia yang datang dan pergi untuk shopping dan makan-makan. Jalan-jalan di
mall-mall pada hari saptu dan minggu adalah biasa bagi orang Indonesia jaman
sekarang, apalagi pemuda-pemudi jaman sekarang, meskipun tidak beli sesuatu,
hanya untuk penggantian keadaan untuk kekeluargaan dan memberi kesegaran
semangat, penghidupan jiwa.

            Tempo Doeloe nyonya-nyonya setingkat sosial yang tinggi, dan
anak-anak gadisnya kalau belanja menyuruh pegawainya untuk beli, atau pergi
dengan suaminya dan anak-anaknya. Pakean tidak bisa nyuruh orang beli karena
harus pas dengan badannya, mereka memanggil penjahit datang kerumah mengukur
badannya dan sekalian membawa bahan kainnya. Saya dengar cerita dari orang
yang satu generasi lebih tua dari saya mengatakan bahwa ibunya kalau beli
sarong, toko sarong langgannannya membawa puluhan sarong dan kalau cocok
dengan selera nyonya rumah, bisa beli sampai sepuluh buah atau lebih. Mereka
kalau pesan kebayanya juga bukan hanya satu saja, bisa sampai lima kebaya
atau lebih dicocokkan dengan sarongnya, karena itu si penjahit biasanya
membawah bahan kainnya lebih dari cukup. Demikian juga dengan sepatunya dan
pakean dalamnya seperti beha dan celana dalamnya etc. 

Bukankah ini keterlaluan, menghambur-hamburkan uang, keadaan ini mungkin
over reaksinya atau sifat-sifat yang ekstrim, Saya beranggapan kalau
berkelebihan, saya kira bukan lagi penghidupan yang luks, tetapi dapat
dikatakan dekadensi, kebiasaan, norma-norma, ethik yang menurun, jatuh
kebawah. Cara hidup demikian ini dinamakan dekadensi karena kebiasaan ini
tidak berguna bagi kehidupan bermasyarakat yang baik dan tidak mendidik pada
generasi mudanya. Mereka tidak tahu bagaimana harus melalukan kesepian dan
waktu-waktu yang senggang. Mereka main maciok, domino, rasan-rasan, beli
barang-barang untuk memenuhi keinginannya dan untuk mengisih waktu. Karena
rasan-rasan ini banyak terjadi bertengkaran antar keluarga terutama
disebabkan karena omongan yang berkelebihan yang keluar dari mulut wanita,
atau bertengkaran karena anak-anaknya. Dirumahnya banyak sepatu-sepatu,
pakean-pakean, sarong dan kebaya yang dipakai sekali saja, bahkan belum
pernah dipakai. 

Nyonya dan gadis-gadis Tionghoa jarang keluar sendirian, dan ini dapat
dipikir bahwa bagi nyonya-nyonya dari keluarga demikian tidak tahu bagaimana
mereka harus melalukan waktunya. Umumnya mereka tidak kerja, dirumah cukup
pembantunya. Umumnya mereka saling menamu minum teh kerumah familinya atau
teman baiknya dengan makan kuwe kering atau kuwe basah. Teh disuguhkan
didalam cangkir dengan lepeh seperti biasanya. Cara mereka minum teh yang
panas itu ialah, teh dituang dilepeh dulu agar agak dingin baru diminum.
Mereka bicara-bicara tentang keluarga, penghidupan tetapi umumnya ialah
rasan-rasan tentang orang lain, ini adalah topik yang sangat interesan bagi
mereka. Apalagi mengenai suami orang lain yang berbuat diluar rumah "diluar
batas norma-noma moral" yang dulu dikatakan orang dengan terminologi "hidung
belang" atau nyeleweng, punya gundik. Tetapi tidak tahu bahwa sang suami
diluar tahunya juga demikian. Sisuami berkata pada istrinya begitu agar
tidak dicurigai kelakuannya diluar, karena dia membicarakan tentang temannya
yang ethiknya kurang baik. Dari pengalaman jaman doeloe maka diciptakanlah
lagu "Terang Bulan" yang cocok dengan keadaan jamannyai, lagu ini  berkata:
" Terang bulan, terang bulan dipinggir kali, jangan percaya mulut lelaki,
berani sumpah tetapi takut mati. Nyonya-nyonya ini berpergian diantar oleh
pembantunya atau suaminya atau putranya lalu ditinggal, nanti kalau pulang
dipapak lagi.

Dr. Han Hwie-Song 

Breda, 17 Agustus 2008 Holland 

 

Kirim email ke