Sdri Anathapindika M
 
Sedikit tambahan atas penjelasanmu. Dalam pengamatanku banyak orang-orang 
keturunan Tionghua yg beragama Kristen yg kurang memahami masalah Imlek. Mereka 
yg tidak merayakan imlek pada umumnya belum mengerti,sebenarnya Tahun Baru 
Imlek adalah Tahun Baru menurut perhitungan kebudayaan Tionghua untuk semua 
keturunan Tionghua diseluruh dunia.Mereka masih menganggap bahwa hari besar 
mereka adalah Natal padahal imlek tidak ada hubungan dengan Natal.
Tahun Baru Imlek adalah tahun baru untuk seluruh keturunan Tionghua didunia 
untuk segala macam agama. Sedangkan Natal adalah perayaan memperingati hari 
kelahiran Kristus bagi seluruh umat kristiani didunia untuk segala jenis 
keturunan/ras.
Thank's & GBU..

Atintai.

 
----- Pesan Asli ----
Dari: anathapindika muliawan <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Terkirim: Jumat, 5 September, 2008 09:31:02
Topik: [budaya_tionghua] fwd: Imlek di Kalangan Tionghoa-Kristen di Indonesia


----- Original Message ----- 
From: Solidaritas Nusa Bangsa 
To: [EMAIL PROTECTED] ps.com 
Sent: Wednesday, September 03, 2008 1:05 AM
Subject: [snb-milis] Imlek di Kalangan Tionghoa-Kristen di Indonesia

Monday, March 3, 2008 
Imlek di Kalangan Tionghoa-Kristen di Indonesia 
Kalau kita bandingkan orang Tionghoa-Kristen di Indonesia dengan di Singapore 
(juga negara lain seperti Malaysia, Hong Kong, dsb ) ada suatu perbedaan dalam 
menyikapi tahun baru Imlek. Di Singapore, hampir semua orang Tionghoa-Kristen 
tetap merayakannya (merayakan yang dimaksud di sini adalah dari segi budaya, 
bukan agama) sementara di Indonesia ada sebagian yang tidak lagi merayakannya.
Apa yang menyebabkan hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan tepat,ada 
baiknya kalau kita telusuri sejenak sejarah orang Tionghoa di Indonesia.

Sampai dengan pertengahan abad 19, orang Tionghoa di Indonesia adalah golongan 
peranakan, yaitu mereka yang sudah beberapa generasi di Indonesia. Pada saat 
mereka datang, semua adalah laki-laki, kemudian menikah dengan wanita Indonesia 
setempat. Keturunan mereka kemudian saling menikah di antara mereka, dan inilah 
yang disebut golongan peranakan. Karena sudah beberapa keturunan tinggal di 
Indonesia, mereka umumnya sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin / dialek, 
namun masih memegang tradisi Tionghoa walaupun tidak terlalu kuat.

Mulai akhir abad 19, gelombang orang Tionghoa berikutnya datang ke Indonesia. 
Karena sudah cukup mapan, mereka mampu untuk mendatangkan kaum wanita, sehingga 
mereka tidak menikah dengan penduduk setempat, melainkan di antara gelombang 
yang baru datang tersebut. Karenanya mereka masih berbahasa Tionghoa/dialek dan 
tetap memegang tradisi. Mereka inilah yang disebut golongan totok.

Akhir abad ke-19, di Tiongkok terjadi gerakan kebangkitan nasional yang 
dipimpin oleh Dr Sun Yat-sen, yang bertujuan menggulingkan dinasti Qing/bangsa 
Manchu (yang merupakan bangsa non-Han/non Tionghoa) dan mengusir bangsa Eropa. 
Semangat kebangkitan nasional ini juga menyebar ke orang-orang Tionghoa di 
Indonesia dimulai dari golongan totok lalu menyebar ke golongan peranakan. 
Tahun 1900, golongan peranakan mendirikan Tiong Hoa Hwe Koan (T.H.H.K.) yang 
bertujuan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai budaya Tionghoa 
(resinifikasi) dan bahasa Mandarin kepada golongan peranakan. Hal ini 
menyebabkan kecenderungan bersatunya
golongan totok dan peranakan dan adanya rasa kebangkitan nasional.

Bahkan gerakan kebangkitan nasional ini kemudian menyebar ke antara orang-orang 
Indonesia. Karena orang Tionghoa dan Indonesia memiliki nasib yang sama,
yaitu sama-sama di bawah tekanan bangsa Eropa, maka orang Tionghoa banyak yang 
bersimpati dan membantu perjuangan bangsa Indonesia.

Hal ini tentu saja menakutkan pihak Belanda. Mereka takut bukan saja karena 
bersatunya sesama orang Tionghoa tetapi juga bersatunya orang Tionghoa dan 
Indonesia. (Tahun 1740-1743 orang Tionghoa dan Indonesia bersatu melawan 
Belanda dan mereka hampir saja berhasil mengusir Belanda dari Indonesia.) Untuk 
mengatasi hal ini, tahun 1907 Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School 
(H.C.S.) yang ditujukan untuk orang Tionghoa peranakan dengan bahasa pengantar 
Belanda. H.C.S. berhasil menarik minat banyak orang Tionghoa peranakan karena 
lulusannya lebih mudah mendapat pekerjaan dan pendidikan barat dianggap lebih 
modern. Di sekolah ini mereka dididik secara Belanda, dan sengaja tidak 
diperkenalkan kebudayaan Tionghoa, bahkan sebuah sumber menyebutkan bahwa di 
sekolah Belanda banyak guru yang menghujat dan menjelekkan kebudayaan Tionghoa.

Ada satu lagi usaha yang dilakukan Belanda untuk memecah antara orang Tionghoa. 
Pada saat itu, Belanda membagi penduduk menjadi 3 kelas. Yang paling tinggi 
adalah golongan bangsa Eropa, kedua (menengah) adalah orang timur asing, yaitu 
orang Tionghoa, India, Arab, dan kelas yang paling rendah adalah penduduk 
Indonesia. Tahun 1907 Belanda mengeluarkan undang-undang yang memberi 
kesempatan kepada orang Tionghoa peranakan untuk mendapat status sama dengan 
orang Eropa, tetapi ada beberapa syarat diantaranya adalah harus fasih 
berbahasa Belanda dan harus membuat surat pernyataan bahwa mereka tidak cocok 
tinggal di kalangan masyarakat Tionghoa! Salah satu implikasinya adalah mereka 
harus menanggalkan
ketionghoaan mereka termasuk tidak ikutan Imlek lagi.

Kekejaman politik Belanda kemudian diteruskan oleh pemerintah Orde Baru dengan 
mengeluarkan peraturan diskriminatif, termasuk larangan merayakan perayaan 
Tionghoa di tempat umum, larangan terhadap bahasa Mandarin,penggantia n kata 
Tionghoa menjadi kata "cina" dan peraturan ganti nama.
Semuanya ini melengkapi kebijaksanaan Belanda yang akhirnya membuat banyak 
orang Tionghoa terpaksa melepaskan ketionghoaannya.

Jadi bisa disimpulkan bahwa salah satu sebab utama adanya sebagian orang 
Tionghoa-Kristen di Indonesia yang tidak merayakan imlek lagi adalah karena 
korban politik pecah-belah Belanda maupun kebijaksanaan diskriminatif orde 
baru. Tetapi sayangnya fakta sejarah ini kurang diketahui oleh kebanyakan orang 
dan malah menjadikan hal lain sebagai alasan yaitu:

a. Alasan agama (seperti: "karena sudah Kristen") sebenarnya sama sekali tidak 
tepat.
b. Alasan "patriotik" (seperti: "supaya bisa menjadi orang Indonesia sejati 
maka harus meninggalkan ketionghoaan" ) adalah alasan yang keliru.

Hal ini bertentangan dengan semangat "Bhinneka Tunggal Ika". Lagipula rasa 
nasionalisme seseorang tidak bisa diukur dari kebudayaan yang
dianutnya.

Dengan demikian cukup jelas bahwa orang Tionghoa-Kristen di Indonesia 
seharusnya juga ikut merayakan Imlek. Buat kita (Tionghoa-Kristen) yang masih 
merayakannya, mari kita terus pelihara tradisi ini dan buat kita 
(Tionghoa-Kristen) yang sudah tidak merayakannya lagi, apa salahnya kalau di 
era reformasi ini kita manfaatkan dan mencoba mulai menggali kembali kebudayaan 
leluhur kita sendiri ini.

Oleh Benny G. Setiono


____________ _________ _________ _________ _________ _________ _
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ id/
 


      
___________________________________________________________________________
Dapatkan nama yang Anda sukai!
Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com.
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Reply via email to