Lho, inikan tulisan saya yang pernah saya post di milis ini tanggal 
14 Feb 2007 (post no 23093), lengkap dengan referensinya.
Koq di sini diclaim sebagai tulisan Pak Benny G Setiono?

Thanks.


--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, anathapindika muliawan 
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> ----- Original Message ----- 
> From: Solidaritas Nusa Bangsa 
> To: [EMAIL PROTECTED] 
> Sent: Wednesday, September 03, 2008 1:05 AM
> Subject: [snb-milis] Imlek di Kalangan Tionghoa-Kristen di Indonesia
> 
> 
> Monday, March 3, 2008 
> Imlek di Kalangan Tionghoa-Kristen di Indonesia 
> Kalau kita bandingkan orang Tionghoa-Kristen di Indonesia dengan di 
Singapore (juga negara lain seperti Malaysia, Hong Kong, dsb ) ada 
suatu perbedaan dalam menyikapi tahun baru Imlek. Di Singapore, 
hampir semua orang Tionghoa-Kristen tetap merayakannya (merayakan 
yang dimaksud di sini adalah dari segi budaya, bukan agama) sementara 
di Indonesia ada sebagian yang tidak lagi merayakannya.
> Apa yang menyebabkan hal ini? Untuk menjawab pertanyaan ini dengan 
tepat,ada baiknya kalau kita telusuri sejenak sejarah orang Tionghoa 
di Indonesia.
> 
> Sampai dengan pertengahan abad 19, orang Tionghoa di Indonesia 
adalah golongan peranakan, yaitu mereka yang sudah beberapa generasi 
di Indonesia. Pada saat mereka datang, semua adalah laki-laki, 
kemudian menikah dengan wanita Indonesia setempat. Keturunan mereka 
kemudian saling menikah di antara mereka, dan inilah yang disebut 
golongan peranakan. Karena sudah beberapa keturunan tinggal di 
Indonesia, mereka umumnya sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin / 
dialek, namun masih memegang tradisi Tionghoa walaupun tidak terlalu 
kuat.
> 
> Mulai akhir abad 19, gelombang orang Tionghoa berikutnya datang ke 
Indonesia. Karena sudah cukup mapan, mereka mampu untuk mendatangkan 
kaum wanita, sehingga mereka tidak menikah dengan penduduk setempat, 
melainkan di antara gelombang yang baru datang tersebut. Karenanya 
mereka masih berbahasa Tionghoa/dialek dan tetap memegang tradisi. 
Mereka inilah yang disebut golongan totok.
> 
> Akhir abad ke-19, di Tiongkok terjadi gerakan kebangkitan nasional 
yang dipimpin oleh Dr Sun Yat-sen, yang bertujuan menggulingkan 
dinasti Qing/bangsa Manchu (yang merupakan bangsa non-Han/non 
Tionghoa) dan mengusir bangsa Eropa. Semangat kebangkitan nasional 
ini juga menyebar ke orang-orang Tionghoa di Indonesia dimulai dari 
golongan totok lalu menyebar ke golongan peranakan. Tahun 1900, 
golongan peranakan mendirikan Tiong Hoa Hwe Koan (T.H.H.K.) yang 
bertujuan untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai budaya Tionghoa 
(resinifikasi) dan bahasa Mandarin kepada golongan peranakan. Hal ini 
menyebabkan kecenderungan bersatunya
> golongan totok dan peranakan dan adanya rasa kebangkitan nasional.
> 
> Bahkan gerakan kebangkitan nasional ini kemudian menyebar ke antara 
orang-orang Indonesia. Karena orang Tionghoa dan Indonesia memiliki 
nasib yang sama,
> yaitu sama-sama di bawah tekanan bangsa Eropa, maka orang Tionghoa 
banyak yang bersimpati dan membantu perjuangan bangsa Indonesia.
> 
> Hal ini tentu saja menakutkan pihak Belanda. Mereka takut bukan 
saja karena bersatunya sesama orang Tionghoa tetapi juga bersatunya 
orang Tionghoa dan Indonesia. (Tahun 1740-1743 orang Tionghoa dan 
Indonesia bersatu melawan Belanda dan mereka hampir saja berhasil 
mengusir Belanda dari Indonesia.) Untuk mengatasi hal ini, tahun 1907 
Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (H.C.S.) yang 
ditujukan untuk orang Tionghoa peranakan dengan bahasa pengantar 
Belanda. H.C.S. berhasil menarik minat banyak orang Tionghoa 
peranakan karena lulusannya lebih mudah mendapat pekerjaan dan 
pendidikan barat dianggap lebih modern. Di sekolah ini mereka dididik 
secara Belanda, dan sengaja tidak diperkenalkan kebudayaan Tionghoa, 
bahkan sebuah sumber menyebutkan bahwa di sekolah Belanda banyak guru 
yang menghujat dan menjelekkan kebudayaan Tionghoa.
> 
> Ada satu lagi usaha yang dilakukan Belanda untuk memecah antara 
orang Tionghoa. Pada saat itu, Belanda membagi penduduk menjadi 3 
kelas. Yang paling tinggi adalah golongan bangsa Eropa, kedua 
(menengah) adalah orang timur asing, yaitu orang Tionghoa, India, 
Arab, dan kelas yang paling rendah adalah penduduk Indonesia. Tahun 
1907 Belanda mengeluarkan undang-undang yang memberi kesempatan 
kepada orang Tionghoa peranakan untuk mendapat status sama dengan 
orang Eropa, tetapi ada beberapa syarat diantaranya adalah harus 
fasih berbahasa Belanda dan harus membuat surat pernyataan bahwa 
mereka tidak cocok tinggal di kalangan masyarakat Tionghoa! Salah 
satu implikasinya adalah mereka harus menanggalkan
> ketionghoaan mereka termasuk tidak ikutan Imlek lagi.
> 
> Kekejaman politik Belanda kemudian diteruskan oleh pemerintah Orde 
Baru dengan mengeluarkan peraturan diskriminatif, termasuk larangan 
merayakan perayaan Tionghoa di tempat umum, larangan terhadap bahasa 
Mandarin,penggantian kata Tionghoa menjadi kata "cina" dan peraturan 
ganti nama.
> Semuanya ini melengkapi kebijaksanaan Belanda yang akhirnya membuat 
banyak orang Tionghoa terpaksa melepaskan ketionghoaannya.
> 
> Jadi bisa disimpulkan bahwa salah satu sebab utama adanya sebagian 
orang Tionghoa-Kristen di Indonesia yang tidak merayakan imlek lagi 
adalah karena korban politik pecah-belah Belanda maupun kebijaksanaan 
diskriminatif orde baru. Tetapi sayangnya fakta sejarah ini kurang 
diketahui oleh kebanyakan orang dan malah menjadikan hal lain sebagai 
alasan yaitu:
> 
> a. Alasan agama (seperti: "karena sudah Kristen") sebenarnya sama 
sekali tidak tepat.
> b. Alasan "patriotik" (seperti: "supaya bisa menjadi orang 
Indonesia sejati maka harus meninggalkan ketionghoaan") adalah alasan 
yang keliru.
> 
> Hal ini bertentangan dengan semangat "Bhinneka Tunggal Ika". 
Lagipula rasa nasionalisme seseorang tidak bisa diukur dari 
kebudayaan yang
> dianutnya.
> 
> Dengan demikian cukup jelas bahwa orang Tionghoa-Kristen di 
Indonesia seharusnya juga ikut merayakan Imlek. Buat kita (Tionghoa-
Kristen) yang masih merayakannya, mari kita terus pelihara tradisi 
ini dan buat kita (Tionghoa-Kristen) yang sudah tidak merayakannya 
lagi, apa salahnya kalau di era reformasi ini kita manfaatkan dan 
mencoba mulai menggali kembali kebudayaan leluhur kita sendiri ini.
> 
> Oleh Benny G. Setiono
>  
> 
> 
> 
>       

Reply via email to