Yup film terbaik yg diputer di tv indo selama beberapa thn ini. Sayang sinetron daai laennya ga sebagus ini. Btw sy juga penasaran ama nasib anak2 wanita keluarga ini, apalagi dari kesatuan n persatuan keluarga ini yg sangat tinggi. Sent from my BlackBerry� powered by Sinyal Kuat INDOSAT
-----Original Message----- From: "Ophoeng" <[EMAIL PROTECTED]> Date: Wed, 08 Oct 2008 02:24:34 To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com> Subject: [budaya_tionghua] Xiao Bagi "Keluarga" [Was: Oe Hauw dan Poet Hauw (U Hao dan Put Hao)] Bung David Kwa dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan? Terima kasih atas koreksi anda dan tambahan info dari anda ttg U-hao dan Put-hao. Sorry, saya agak merancukan maksud 'hauw' (=baik) dengan 'hao' (= berbakti), walau keduanya mengandung makna 'baik', bagus, positip. Waktu saya menggunakan istilah 'u-hauw' sebagai padanan untuk 'good', dalam kutipan saya ttg kebajikan: "It takes just one second to be bad, yet a one whole year to be good", saya memang lupa lawan dari u-hauw. Tapi mungkin secara kebetulan 'bad' = bu-hao, tidak baik, negatip. Tentu saja tidak bisa disamakan dengan 'put-hauw' yang maknanya lebih luas lagi ya. Memang, berbakti itu merupakan terjemahan 'resmi' untuk 'u-hauw'. Wa- lau tentu saja makna-nya tetap berbeda, sedikit atau banyak. Keluarga 'kuno' para orangtua kita dulu, mengajarkan ttg 'xiao' ini dengan baik dan benar. Sayang sekali bahwa kemudian ada kekeliruan persepsi(?) bahwa 'xiao' cuma berlaku bagi tradisi Tionghua kuno. Anak-cucu yang kemudian berpendidikan 'moderen' dan cenderung ke barat, merasa tak lagi wajib menjalankan 'xiao' ini. Tentunya tidak berlaku secara umum. Masih ada yang tetap berpikiran "kuno" bahwa xiao tetap relevan berlaku bagi sesiapa saja, walaupun pendidikan berbeda, agama beralih, dan ja- man sudah "moderen". Sedikit atau banyaknya, tentu saja dibutuhkan pe- nelitian lebih lanjut. Di kalangan anak muda, waktu itu (ketika saya masih SMP-SMA) merasa bahwa 'xiao' cuma mengedepankan kepentingan pihak orangtua. Tanpa sadar bahwa suatu saat akan tiba gilirannya para anak muda itu menjadi orangtua juga. Pada saat menjadi orangtua, barulah terasa bahwa yang dulu dikatakan 'kuno' dan selalu ditekankan orangtuanya itu, ternyata ada benarnya. Saya jadi teringat peran si kakek dalam serial di Da-ai teve,"Ketika Gla- diol Bersemi", cerita sesungguhnya ttg Keluarga Gao di Taiwan sebelum perang (1945-an?). Si kakek mengajari cucu-cucunya ttg 'xiao', kalau tak salah. Jadi mereka, para cucu, hendaknya meneladani perilaku dan sikap papa-mama mereka. Sebab, menurut si kakek, tidak mungkin ke- dua orangtua mereka akan menjerumuskan anak-anaknya. (Jadi ingat ttg "anak babi yang jalannya menunduk" ya?) Tapi, ketika terjadi pertengkaran antara papa vs mama-nya, yakni ke- tika papanya rela membagikan beras dan uang kepada tetangganya yang kekurangan, juga berbagi rebung (mata pencaharian utama ke- luarga, jadi pekerjaan pokok mamanya) bahkan memberitahu tempat memetik rebungnya, kepada seseorang dari kota yang ingin memetik rebung untuk dijual di pasar, maka sang mama protes akan kebaikan hati sang papa yang dianggapnya 'kebablasan'. Lalu anak-anak bertanya kepada engkong (kakek)nya, mana yang mes- ti dituruti dong teladannya: papanya, ataukah mamanya? Sang kakek dengan bijak mengatakan, ambil dan petiklah kebaikan dari keduanya. Bayangkan, itu terjadi pada masa sebelum perang. Dan si kakek sudah begitu 'progresip' membuka diskusi dengan para cucunya. Tidak asal menghardik cucunya untuk diam dan ikuti saja secara membabi buta. Menurut saya, sang papa sudah melaksanakan 'xiao' tidak saja bagi ke- luarganya di rumah, tapi juga 'keluarga' bagi masyarakat sekitarnya (ke- betulan sang papa menjadi kepala kampung) juga lebih luas lagi jang- kauannya dengan berbagi rebung dengan orang kota, yang dianggap- nya juga sebagai 'keluarga'. Dalam hal ini, kayaknya 'xiao' juga berlaku bagi orangtua terhadap anak-anaknya dan keluarganya, sang papa ber- usaha memberikan yang terbaik bagi anak-anak dan keluarganya. Dan, menurut sang papa, 'keluarga' itu tidak hanya yang di rumah, tapi juga yang 'sekampung' bahkan sebangsa dan senegara. Lihat saja ketika dia berhasil menangkarkan bibit bunga gladiol, dia tidak segan berbagi pengetahuan dan bibitnya dengan masyarakat di sekitarnya, di kampungnya. Dan dia marah besar kepada satu orang pedagang bunga yang memusnahkan bibit bunga miliknya, supaya bisa menjaga kestabilan harga bunga yang dihasilkannya. Prinsip bisnis yang dilandasi 'xiao' vs prinsip monopoli 'moderen'? Sang mama juga tidak salah mengajukan protes, sebab memang 'xiao' seorang ibu tentu berkisar pada urusan domestik. Mengutamakan ke- luarga yang di rumah. Sang mama tentu saja mengutamakan kepenting- an anak-anaknya dulu, sebelum ikut berbakti (xiao) kepada masyarakat yang lebih luas (kampung) dan luas lagi (bangsa). Kalau melihat contoh teladan pada Keluarga Gao itu, rasanya 'xiao' itu berlaku timbal balik: orangtua kepada keluarga (dan anak-anak), dan sebaliknya anak-anak (keluarga) kepada orangtua. Orangtua bertugas mencari nafkah bagi keluarganya, supaya anak-anaknya berkecukupan dan mendapat pendidikan terbaik, dalam keluarga dan sekolah. Anak-2 tentu kudu 'xiao' kepada orangtuanya dengan cara tidak bikin malu ke- luarga (hutang harus dibayar, tapi kalau piutang lihat keadaan yang hu- tang?), tidak menyia-nyiakan pemberian orangtuanya, pendidikannya. Berlaku adil kepada sesama termasuk 'xiao' juga, sebab orangtua ten- tu bangga mempunyai anak-anak yang 'xiao' kepada 'keluarga' masya- rakatnya. Noh lihat, anak gua noh yang baik budi dan tidak sombong! Siapa tuh orangtuanya ya, koq anak-anak itu pada baik hati begitu ya? Mungkin saja 'xiao' bisa berlaku kepada orang lain dilingkungan kita, te- tangga, masyarakat sekitar kita, termasuk dalam perusahaan, rekanan bisnis, rekan-rekan berdiskusi dalam milis, bahkan meluas lagi terhadap bangsa dan dunia. Seperti dicontohkan sang papa itu. Bagi dia, kepentingan keluarga (bisa rumah, kampung dan masyarakat luas, negara dan bangsa) diutamakan. Hasilnya bagaimana itu hanya merupakan 'akibat' saja. Tanpa pamrih. Oooops, sorry, jadi melebar luas. Saya kuatir nanti akan ada 'sanggahan' lagi bahwa ini mestinya ideal banget. Bener, tapi..... ujung-ujungnya, ba- gaimana dengan 'hutang' mata, hutang nyawa, dan golok-golok, clurit, bom beterbangan lagi di milis. Haiya... memang sudah begitu 'nature'- nya bebas sih ya. Mau bilang apa lagi? Hehehe........mangga atuh, pencet tombol supaya bom-bom nuklir-nya bersliweran, jadi rame pan, jeh! :D) Omong-omong ttg Keluarga Gao ini, ada pertanyaan yang cukup meng- ganggu saya nih, mengapa yang dicertitakan hanya anak-anak lelakinya saja ya. Sedang 3 orang putri mereka hanya disinggung sedikit saja. Ba- rangkali ada di antara anda ada yang tahu ttg hal ini? Begitulah saja, saya kira. Kalau salah, jangan bosan untuk mengoreksinya. Dan sila tambahkan jika terrasa kurang. Terima kasih. Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David Kwa" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: ABS-tjek dan RRS yb, Maaf yang kemarin salah Encoding, seharusnya Unicode (UTF-8). Jadi ini owe kirimkan lagi. Ko Ophoeng dan RRS yb, Owe ingin menambahkan. U-Hao 有孝 dan Put-Hao 不孝 (bukan Pu-Hao) itu istilah Hokkian; Mandarinnya You Xiao dan Bu Xiao. Hao (Hokkian selatan) = Xiao (Mandarin) = sering diterjemahkan sebagai bakti (anak kepada orangtua) dan kedua istilah itu sebagai ‘berbakti’ atau ‘tidak berbakti’ (kepada orangtua). Bahasa Inggris mencoba menerjemahkan Xiao sebagai ‘filial piety’. Tapi pengertian Hao/Xiao lebih dari sekadar ‘berbakti’. Untuk itu mohon penjelasan dari para qianbei dan rrs yang lebih paham tentang Hao/Xiao. Dalam budaya Tionghoa Put Hao (Bu Xiao) itu perbuatan yang sangat nista. Bila dikatakan oleh orangtua bahwa sang anak put hao, maka ucapan itu dapat dikatakan bernada kutukan. Oleh sebab itu kata-kata itu yang tidak sembarang diucapkan orangtua yang mengerti, seberapa geramnya pun orangtua kepada perbuatan sang anak. Ajaran tentang Hao diwariskan secara turun-temurun dan dimanifestasikan terutama dalam hao selama orangtua masih hidup, pada waktu orangtua meninggal dan setelah orangtua meninggal. Pada waktu orangtua masih hidup, dengan selalu menyenangkan hati orangtua dan tidak pernah membuat hati mereka berduka. Pada waktu orangtua meninggal, antara lain, dengan menyelenggarakan upacara pemakaman yang pantas, mengenakan pakaian berkabung, menyediakan petimati dan makam yang baik, dan berkabung (toa-ha 戴孝) selama waktu tertentu. Setelah orangtua meninggal, dengan menyembahyanginya pada waktu-waktu tertentu. Karena begitu tingginya nilai Hao dalam budaya Tionghoa, maka dalam film-film yang berlatar budaya Tionghoa tidak pernah/sangat jarang ditampilkan anak yang melawan orangtuanya, bahkan gurunya sekalipunn. Kadang kita sampai dibuat terharu melihat bagaimana pun marahnya orangtua kepada anak, anak tetap tidak melawan. Sampai akhirnya orangtuanya sadar akan sikapnya yang “keterlaluan” kepada sang anak. Sebuah film yang dibintangi Jet Lee (saya lupa judulnya) berkisah tentang seorang gadis dari keluarga miskin yang sampai harus menjajakan dirinya kepada orang asing di Shanghai tempo doeloe. Bukan main marahnya sang ayah yang penarik rickshaw (langchia 人車) mengetahui perbuatan sang anak yang dianggapnya terlalu nista, yang sampai dipermainkan orang asing di depan matanya. Sang ayah sampai tega mengusir sang anak dari rumahnya, namun sambil menangis dengan memeluki kaki sang ayah sang anak berulang-ulang memohon ampun. Akhirnya sang ayah sadar setelah ditengahi oleh Jet Lee. Di sinilah kita melihat betapa tingginya nilai Hao dalam pandangan budaya Tionghoa. Ini hanya sekadar contoh. Jadi, pengertian Hao 孝 di sini bukan Hao 好 dalam ‘dialek’ Mandarin yang artinya ‘baik’. Dalam dialek Hokkian selatan Hao Mandarin dilafalkan Ho. Kiongchiu, DK