Bung Ernest J.K. Wen dan TTM semuah, Hai, apakabar? Sudah makan?
Hehehe.... rupanya anda memperhatikan sapaan 'sudah makan' ini. Terima kasih atas keterangan yang anda bagikan itu. Memang begitulah yang saya pernah baca juga. Jaman dulu, jaman susah. Makanan sebagai kebutuhan dasar menjadi perhatian utama. Jadi, benar sekali bahwa pertanyaan itu bukan sekedar basa-basi. Budaya Tionghua mungkin termasuk budaya guyub, keber- samaan. Apa yang ada di rumah, dibagi secara merata. Tapi jaman sudah berubah. Dulu, sesama teman sering bertukar informasi dan saling mendukung. Pertanyaan: bagaimana bisnis? Ada rejeki tolong dibagi ya. Mungkin sekarang (sudah sejak lama juga) jawabnya: boro-boro mau bagi, sa- ya sendiri masih lapar nih. Hehehe.. dulu, jaman generasi orangtua kita, mesti- nya jawabnya berbeda dari itu. Satu hal lagi, kalau kita sudah duduk makan sama-sama. Katanya jaman dulu itu sudah sangat mendalam. Teman makan semeja menjadi teman dalam arti sesungguhnya. Tidak boleh lagi anda 'memakan' teman yang pernah duduk se- meja makan bersama. Jaman sekarang? Ibaratnya 'homo homini lupus', orang merupakan srigala bagi orang yang lain. Kalau bisa cia ho peng, why not? Ambil barang tidak bayar, satu contohnya. Kalau anda sudah berteman, tentu anda akan percaya kepada teman itu, berapapun hutangnya. Jadi, celah begini sering dimanfaatkan untuk praktek 'hopeng cia hopeng'. Kalau anda tidak ke- nal, mungkin anda tidak akan percaya kepada orang itu kalau ambil barang. Begitu juga dalam hal ini: anda bisa menjual barang teman anda, anda kenal- kan pembelinya karena anda perlu keterangan teknis. Eh, si pembeli langsung batal beli dari anda, sebab teman anda itu menjual dengan harga lebih murah. Anda cuma dikentutin saja secara terang-terangan atau gelap-gelapan. Anda punya ide, cerita dan tukar pikiran minta pendapat kepada teman, eh, tak lama ide anda sudah dijalankan teman anda. Tanpa memberitahu atau melibat- kan anda sama sekali. Teman anda menjadi kaya karena ide anda bisa dijual. Kalau dia bukan teman anda, mana mungkin anda mau berbagi ceritanya toh? Jaman memang sudah banyak berubah. Mau bilang apa? Daripada pusing, mari kita saling bertegur saja: sudah makan belum? Kalau emang belum, mari kita ma- kan sama-2, anda di rumah anda, saya di rumah saya. Lha, kita kan cuma jumpa di milis sajah, jeh! :D) Begitu sajah sih ya kira-kira. Salam makan enak dan sehat, Ophoeng BSD City, Tangerang Selatan PS: Tapi kalau pas anda lewat BSD dan dekat rumah saya, pas jam makan, tentu saya ajak anda makan sama-sama, apa adanya. Itu sudah kebiasaan saya, lepas anda mau jadi teman atau tidak, itu masalah anda sendiri. Berteman itu pan tak bisa sepihak, tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Mesti dari dua-dua pihak ya? --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Enerjik" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Sudah makan? Beberapa rekan di milis ini menggunakan sapan "sudah makan belum?" dalam emailnya, dan hal ini menggugah saya untuk berbagi arti dari sapaan ini. Ketika remaja saya tinggal di kota Pontianak di dalam sebuah gang, rumah kontrakan keluarga saya yang reot berhadapan dengan pintu belakang rumah tetangga di mana seorang 'encim'=tante tinggal bersama anak, menantu dan cucu-cucunya. Setiap kali saya keluar dan berpapasan dengan encim ini beliau selalu menyapa: "Sudah makan belum?" Waktu itu saya merasa sangat aneh, masa jam 6 pagi saya sudah makan? Masa jam 9 pagi saya belum makan, masak jam 14 saya belum makan dan jam 8 malam? Perlu diketahui bahwa saya dibesarkan dalam budaya Tionghoa yang kental, tetapi saya tidak pernah bertanya atau berpikir apa gerangan artinya sapaan itu. Setelah dewasa dan banyak membaca akhirnya saya menyadari betapa bermaknanya sapaan ini. Di zaman dahulu ketika transportasi masih sulit sehingga untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain orang memerlukan waktu lama. Di samping itu rumah makan mungkin tidak mudah ditemui di tengah perjalanan, sehingga jika tamu tiba di tempat kita, pasti yang pertama-tama diperhatikan adalah kesejahteraannya yang paling basis, makan! Maka tuan rumah yang baik dan penuh perhatian akan bertanya: Sudah makan belum? Pertanyaan ini bukan sekedar basa-basi, kalau si tamu/pengunjung belum makan, maka ia akan segera diberi makan hingga kenyang. Di samping itu, orang Tionghoa juga dikenal sangat memperhatikan urusan perut. Karena itu jika seseorang bertemu dengan teman atau kerabatnya, ia akan menunjukkan perhatian dengan menanyakan apakah temannya sudah makan atau belum. Bukankah hantu-hantu kelaparan pun kita beri makan setahun sekali pada tanggal 7 bulan ke-7? Apalagi kerabat kita! Sapaaan ini sudah semakin jarang digunakan, namun prakteknya masih sangat kental. Jika kita berkunjung ke RRC/Hong Kong/Taiwan, maka tidak mungkin tidak kita akan diajak ke restoran untuk makan. Ketika kita berkenalan dengan seseorang dan sebelum berpisah, orang tersebut akan berkata:"Senang berkenalan dengan Anda, bagaimana kalau kita kapan-kapan dim-sum (nyam cha) bersama?" Jadi, saya kira sapaan yang sangat ramah dan penuh perhatiaan ini kalau diucapkan pada waktu yang tepat sangat menyentuh hati. Sudah makan belum? Ernest J. K. Wen