DANIEL JOHAN: PRIBUMI INDONESIA BERDARAH TIONGHOA
Oleh Kenken   Tjong Nyuk Hao adalah generasi ke 4 sejak leluhurnya
meninggalkan Moyan, Guangdong. "Himbauan" Jenderal Suharto
agar orang-orang Tionghoa memiliki "nama Indonesia"
membuat Nyuk Hao memiliki identitas tambahan. Sekarang
ia dikenal dengan nama Daniel Johan. Ia adalah Wakil
Sekjen DPP Partai Kebangkitan Bangsa sekaligus
calon anggota legislative dari PKB untuk Dapil DKI 3.    "Saya pribumi
Indonesia berdarah Tionghoa. Sama
seperti Indonesia Jawa atau Batak. Karena
saya lahir di Indonesia", kata Daniel di suatu malam.    Daniel Johan
dilahirkan di Jakarta, 10 April 1972.
Ia tinggal di daerah Pekojan yang dikenal sebagai
perkampungan Arab di masa kolonial Belanda. Saat itu,
Pekojan adalah salah satu ghetto Arab di mana
kebijakan passen stelsel dan wijken stelsel diterapkan.
"Sampai sekarang masih ada sisa-sisa keluarga Arab
di sini", kata Daniel.    Di dekat daerah Pekojan terdapat Kali Angke.
Nama Kali
Angke muncul setelah etnis Tionghoa dibantai
selama tiga hari oleh VOC di Batavia pada tanggal
9 Oktober 1740. Mayat-mayat Tionghoa dibuang ke kali
hingga membuat warna air sungai berubah menjadi
merah oleh darah. Istilah Angke berasal dari
dialek Hokkian, berarti Kali Merah.   Di daerah itulah, Daniel Johan
tumbuh dan berkembang.
Ia adalah bungsu dari enam bersaudara. Lahir dari
keluarga Hakka totok. Daniel kecil dikenal oleh
teman-temannya sebagai anak yang aktif dan berani.
Selain gemar membaca, ia juga mengoleksi berbagai
jenis hewan peliharaan.

Jejak militansi gerakan Daniel sudah terlihat sejak
usia 15 tahun.    Waktu itu ia masih duduk di bangku SMP kelas dua.
Terjadi penyimpangan praktek keuangan oleh Yayasan
Sekolah. Daniel memimpin sekitar 30 murid SMP untuk
melakukan boikot, semacam demonstrasi kecil-kecilan.    Akibat aksi itu,
Daniel remaja hampir dipecat.  Sekalipun pada akhirnya, pihak yayasan
merasa perlu
melakukan perbaikan sistem manajemen keuangannya.
Daniel dkk berhasil menekan yayasan untuk memperbaiki
diri. "Alhamdulilah, tidak dikeluarkan. Jadi bisa
sampai lulus SMP", kata Daniel mengenang masa-masa
SMP itu.    Daniel yang menganggap hari Valentine sebagai
sebuah "kegilaan" meneruskan sekolah lanjutan
atas di SMA Triratna.    Menurut Ivana, aktifis Budhis, Daniel
menghabiskan
masa SMA yang kontemplatif. Lewat OSIS,
ia menghidupkan majalah sekolah, ekskul teater dan
vokal grup dsb.  Krisnanda WM, seorang pentolan Budhis,
menulis bahwa "Saat masih pelajar (SMP/SMA Tri Ratna),
Daniel sudah mempertanyakan soal menampilkan wajah
Buddhisme yang hidup, bukan Buddhisme sebatas simbol.
Dia sadar betul tentang arti perjuangan dan pengorbanan,
dan tanpa kepedulian sosial, tanpa adanya keadilan sosial,
tidak ada Buddhisme".   Di kelas tiga SMA, seorang aktifis mahasiswa
Budhis
bernama Fung Kian mengajak Daniel untuk aktif di
majalah Hikmahbudhi yang merupakan majalah resmi
Keluarga Mahasiswa Budhis Jakarta (KMBJ).    Di masa ini pula, Daniel
bersama "anak-anak KMBJ"
berhasil menyelenggarakan seminar di Untar. Menghadirkan
Dr. Naek L Tobing, dalam rangka menggalang dana untuk
pembangunan Vihara Mendut.    Setelah memasuki dunia kampus, Daniel
menjadi
anggota KMBJ. Ia menyebut dua nama yang sangat
mempengaruhi dirinya untuk benar-benar menjadi aktifis.
Mereka adalah Krisnanda WM dan Eric Eresen. Pemahaman
"dialektika" diketahui lewat penjelasan Eric Eresen.
Di titik ini, Daniel Johan telah menjadi aktifis
mahasiswa Budhis.    Menurut Daniel, "dialektika" adalah proses yang
digambarkan sebagai dua gerigi yang harus berputar
saling menggesek supaya dapat menggerakkan sesuatu
agar menjadi lebih maju.    Pada tahun 1994, Daniel bersama Agus
Tjandra,
Agus Hartono, Yabin Yap dkk sepakat mengubah haluan
gerakan KMBJ. Sebelumnya, KMBJ adalah organisasi
mahasiswa yang bersifat religius-ritual. Orientasinya
ke Theravada Thailand.     Di tangan para pemuda "revolusioner" ini,
KMBJ mulai
berorientasi sosial-politik. Simbol perubahan ini
diwujudkan dengan pergantian nama organisasi, dari
KMBJ menjadi Hikmahbudhi.    Kuliah diselesaikan dengan IP 3,2. Daniel
tetap
aktif dalam gerakan politik. Daniel kemudian dikenal
sebagai seorang pemuda penentang keras kapitalisme.
"Persoalan kapitalis. Itu yang menguras waktu
saya banyak banget, sampe sekarang," katanya.     Desember 1997,
Indonesia mulai masuk pusaran krisis
moneter. Rupiah anjlok. Dunia usaha panik. Kasus-kasus
penculikan aktifis sudah terjadi sejak menjelang
pemilu Mei 1997. Atmosphere politik mulai memanas.    Di situasi yang
semakin memanas itu, Daniel dkk
berencana menggelar seminar Aksi Cinta. Seminar ini
recananya menghadirkan tokoh-tokoh penentang Suharto
seperti romo Sandyawan, Permadi, Sabam Sirait dsb.
Pihak intelijen bereaksi. Pemantauan dilakukan hingga
menciptakan suasana intimidatif. Tokoh-tokoh Budhis
bereaksi dengan meminta pembatalan rencana seminar.    Saat itu, Bhante
Mahaghosananda datang ke Jakarta
dan akan menghadiri seminar tersebut. Beliau adalah nominator Hadiah
Nobel Perdamaian. Namanya sedang dibicarakan oleh dunia.    Kedatangan
Bhikkhu Kamboja yang amat dihormati ini  menebalkan tekad Daniel dkk.
Asumsinya, pihak militer Indonesia
tidak akan gegabah untuk menangkapi mereka di depan
mata seorang nominator Nobel Perdamaian.    Tekanan makin gencar, Daniel
dkk mengambil langkah
melawan dengan mengundang Wapres Jenderal Try Sutrisno
untuk membuka seminar.   Kebimbangan belum reda, tiga hari sebelum hari
H
panita mengadakan rapat tehnis. Sebagian anggota
panitia mulai takut, Daniel bersikeras untuk
meneruskan agenda seminar.    Hari berikutnya, Daniel mengundang
Mahaghosananda
untuk menerima dana makanan di rumahnya. Setelah
Mahaghosananda selesai membaca parita, Daniel
menerima fax surat dari istana wakil presiden.    Isinya, Jenderal Try
tidak dapat menghadiri undangan
seminar. Tetapi mantan ajudan Presiden Suharto ini  bersedia menerima
audiensi panitia guna mengetahui  hasil-hasil seminar. Di akhir surat,
Jenderal Try secara  pribadi memberi bantuan dana sebesar 2 juta rupiah.
Surat Wapres itu ditempel di pintu gedung seminar.
Para intel menjadi bimbang dan selamatlah nasib
acara seminar ini.    Di tahun 1998, Suharto mengeluarkan kebijakan
melikuidasi bank-bank bermasalah. Kepanikan
semakin menjalar membakar keresahan. Sembako
semakin langka. Demonstrasi mahasiswa terjadi
di seantero Indonesia. Tuntutannya agar Suharto
mundur.     Di tahun 1998 ini, Hikmahbudhi bersama dengan
organisasi mahasiswa lain seperti HMI, PMKRI,
PMII, GMKI (kelompok Cipayung) membentuk sebuah
aliansi bernama Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia
(FKPI).    Lewat forum ini, Daniel mulai berkenalan dengan
Muhaimin Iskandar (Wakil Ketua DPR-RI sekarang),
Baskara (Ketua GMNI), Anton Doni (Ketua PMKRI) dan
aktifis lain dari spektrum berbagai agama.    Penembakan mahasiswa
Trisakti oleh sniper aparat
keamanan Indonesia memicu kerusuhan Mei 98.
Toko-toko milik Tionghoa dijarah. Korban berjatuhan
di Jakarta, Medan dan Solo. 13-15 Mei, Jakarta
dicekik ketakutan dan diwarnai oleh amuk massa.
Sentimen anti-tionghoa dihembuskan oleh pihak-pihak
tertentu.    Selama 3 hari itu, Daniel Johan tidak pulang
ke rumah. Mamanya kuatir. Di situasi gawat itu,
Daniel berkeliling Jakarta. Bersama aktifis FKPI
lain, ia mendatangi Komnas HAM, menggelar rapat-rapat
dan mengunjungi tokoh-tokoh nasional termasuk
militer yang pro-perubahan seperti kelompok Edy
Sudrajat. Daniel dan aktifis mahasiswa
mempertanyakan mengapa militer menghilang dan
tidak melindungi masyarakat.    Daniel menuturkan bahwa ia pun
sebenarnya mengkuatirkan
keluarganya selama hari-hari mencekam itu. Tetapi
kekuatiran itu hilang ketika Daniel mengetahui
mama dan keluarganya malah bersorak bangga ketika
melihat dirinya muncul dalam liputan televisi. Bahkan
kemudian mamanya membuat kue-kue untuk dibagikan
kepada mahasiswa yang sedang menduduki gedung DPR.     "Salut dengan
keberanian mama", kata Daniel.    Tekanan mahasiswa terhadap Suharto
semakin
menguat. Tanggal 21 Mei 98, Suharto menyatakan
berhenti. Meninggalkan bara api yang belum padam dan
kehancuran. Mundurnya Suharto disambut kegembiraan
oleh masyarakat luas. Ada yang membuat syukuran,
bakar kambing dan sorak-sorai kemenangan menyambut
era baru.    Dan Daniel Johan dan begitu banyak pemuda etnis Tionghoa
seperti Yap Yun Hap, Hendrawan Sie, Suma Mihardja, Ali Sutra dsb menjadi
saksi sekaligus  berpartisipasi dalam proses perubahan tersebut.

Kirim email ke