Dear Sdr JK,
 
Memang di jagad raya ini, hanya "Manusia" mahluk yang Super Hebat, Super Sakti 
dan Super Suci! "Dewa" dan "Leluhur" aja bisa diatur-atur sesuka 
jidat...hehehhehee. Besok-besok, mereka juga akan atur YME!!!!! 
 
Padahal apa sih yang diributkan? harusnya semua pengurus/yayasan spiritual 
terkait (baik  yang lama or baru) menggunakan "Mata Batin" mereka apakah 
tindakannya "salah or benar"????? Toh level kebatinan dan dimensi mereka kan 
bukan level "ecek-ecek" lagi (atau istilah kerennya: beginner level).....Masa 
gak ada rasa toleransi dan pengertian sama sekali???? 
 
Aneh bin Nyata! Seandainya kalau informasi ini tepat, kasihan sekali umat-umat 
yang beribadat di Vihara/Kelenteng ybs karna Pemimpin Spiritualnya justru tidak 
kompeten!!!!!
 
Saya pernah mengunjungi salah satu Kuil Hindu dan turut hormat sekaligus 
bersembahyang di sana (Catatan : Saya tidak beragama Hindu atau lainnya, I'm 
Free Thinker). Uniknya di dalam Kuil tersebut terdapat beberapa Alm Tokoh 
Spiritual dari Islam dan Budha yang turut dihormati dan disembahyangi! Bisa 
anda bayangkan betapa tinggi tingkat toleransi n level spiritual mereka 
(pengurus n pemilik) sampai Alm Tokoh-Tokoh Spiritual tersebut diberikan tempat 
khusus untuk dihormati! 
 
Penghormatan tersebut menyiratkan bahwa para Alm Tokoh Spiritual tersebut 
memberikan banyak sumbangsih bagi kehidupan manusia tanpa membeda-bedakan latar 
belakang aliran Agama atau Kepercayaan!
 
Kenapa justru sesama Tionghoa yang awalnya berkeyakinan sama (Tri Dharma) tidak 
bisa saling menyatu n toleransi????  Apalagi Nenek Moyangnya juga sama????? 
Jawabannya mungkin kembali ke EGO????????
 
Best Regards
HB
 
 
Best Regards
HB

--- On Fri, 3/6/09, Joao Kho <joao....@gmail.com> wrote:

From: Joao Kho <joao....@gmail.com>
Subject: [budaya_tionghua] Kisah Dewata yang Pindah Agama
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Date: Friday, March 6, 2009, 1:12 PM






Kisah Dewa Kelenteng (Bio) yang dipaksa pindah Agama oleh Pengurus.

Belakangan ini saya bertemu sahabat dari kampung. Dari pertemuan dan 
percakapan, 
saya mendapatkan informasi trend yang sekarang ramai di kampung halaman. 
Berikut 
kisahnya dan kronologinya:

Sejak dikeluarkan:
1. Intruksi Presiden (Inpres) No. 14/1967, pemerintah melarang masyarakat 
peranakan 
Tionghoa untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan, tradisi-tradisi 
kepercayaannya, 
dan adat istiadat.

2. Intruksi Presiden (Inpres) No.2/1980 dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 
131/1980, dinyatakan bahwa etnis atau peranakan Tionhoa dilarang menggunakan 
bahasa 
Tionghoa, dan dilarang merayakan hari raya Imlek (tahun baru Tionghoa).


Masyarakat tionghoa yang merantau dari negeri Tirai Bambu yang memilih menetap 
di 
Indonesia maupun masyarakat tionghua yang dari jauh hari sudah menetap dan 
lahir di 
tanah air Indonesia, banyak membangun "HuiGuan" (Balai Diskusi) dan "Bio" 
(Kelenteng) yang dipergunakan sebagai tempat berkumpul dan diskusi, sarana 
penggalangan bantuan sosial di masyarakat setempat, tempat sembahyang leluhur 
maupun 
dewata yang dipercayai telah melindungin mereka dari segala macam bahaya dan 
bencana 
dalam perantauan maupun kehidupan sehari-hari. Dimana saat itu boleh dikatakan 
mayoritas  (yakni > 80%) kepercayaan mereka adalah kepada 3 kepercayaan 
(KongFuCu, 
Tao, Buddha Mahayana).


Setelah adanya Inpres dan Keppres, maka untuk menyelamatkan HuiGuan and Bio 
dari 
ancaman ditutup paksa. Maka solusi yang digunakan adalah me-registerisasikan 
tempat 
tersebut sebagai tempat ibadah umat Buddha, karena negara mengakui 5 agama yang 
salah satunya adalah Buddha. Begitu pelaksanaanya berjalan waktu demi waktu, 
dan 
Yayasan Buddha dan beberapa pengurus baru yang sudah pindah keagama Buddha 
secara 
total mulai menggarap untuk perubahaan status Bio/Kelenteng dibawah naungan 
Organisasi/Yayasan Buddhis, dimana hal tersebut tidak didiskusikan kepada para 
pemilik (yang membangun Bio) yang dahulunya merupakan pengurus awal dan sebagai 
Pembina. 

Karena gencarnya propaganda dan ancaman yang kadang tidak nyata juga 
dipromosikan sebagian pengurus supaya cepat melakukan registrasi naungan Bio 
kedalam 
Yayasan / Organisasi Buddhis. 

Begitu pada tahun 2000, Keppres No. 6/2000 yang mencabut Inpres No. 14/1967, 
maka 
mulai masyarakat peranakan tionghua kembali bebas menjalankan ritus-ritus, 
tradisi-
tradisi kepercayaannya, dan adat istiadatnya. Dengan begitu pengepakan sayap 
MATAKIN 
(Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) mulai dilakukan kembali. Begitu juga 
antusias para generasi tua peranakan tionghua dan sebagian besar masyarakat 
tionghoa 
di daerah untuk lebih mengenal dan menjunjung tinggi dan menghormati leluhur 
serta 
dewata dibangkitkan kembali. Dalam hal ini pengurus lama, pemilik dan sebagian 
besar 
masyarkat ingin untuk memberikan tempat bagi patung Nabi KongFuCu supaya dapat 
dihormati sama anak cucu mereka. Dan hal tersebut memdapat pertentangan berat 
baik 
dari pihak Yayasan/Organisasi buddhis lewat Pengurus yang beragama buddha. 

Terjadilah percekcokan besar, yang mendatangkan aparat keamanan untuk mencegat 
dimasukannya Patung KongZi tersebut dan seluruh papan nama dewata di Bio 
dicabut dan 
diganti nama dengan sebutan bahasa Pali yang ada di ajaran Buddhis, jadi tidak 
ada 
lagi sebutan Kwan Im, Toa Pek Kong, Guan Gong dan sebagainya.

Hal tersebut mendatangkan kontra yang besar di masyarakat tionghoa didaerah dan 
pulau sekitar, dan mulainya masyarakat yang pada umumnya masih sangat ingin 
menghormati dewa/dewi dan nabi KongZi mulai memperolok kelenteng tersebut bahwa 
Dewanya sudah dipaksa pindah Agama sama Pengurus. 


Salam Pengertian,
JK




















      

Reply via email to