--- On Mon, 3/30/09, Lili Zhang <zhang.l...@yahoo.com> wrote:


From: Lili Zhang <zhang.l...@yahoo.com>
Subject: Fw : Kisah David Hartanto Widjaja
To: angela.noviya...@yahoo.co.id, "ariesz" <ariesz.prat...@yahoo.com>, "Sonya 
Basuni" <sn...@yahoo.com>, "ester berlian" <eb_rejo...@yahoo.com>, 
buddha_su...@yahoo.com, "Setyono Budhy" <xianh...@yahoo.com>, "Hendra Bujang" 
<hendra_buj...@yahoo.com>, "ci yenny" <wly_ye...@yahoo.com>, 
cihuy_rat...@yahoo.com, "cunyuk" <n...@hengtraco.com>, "desy" 
<desy.t...@gmail.com>, "merry djaja" <cute_purpl...@yahoo.com>, "djoni doank" 
<d_7...@yahoo.com>, "edrick" <fung_fung1...@yahoo.com>, "elin" 
<dvine...@yahoo.com>, erwa...@yahoo.com, "Yan Ethan" <yan_et...@yahoo.com>, 
"yeyen evasari" <yen_2...@yahoo.com>, "Fenny" <tidur_a...@yahoo.co.id>, 
"ferdinand" <sky8...@gmail.com>, ferry_h...@yahoo.com, "chardi gmail" 
<chrd...@gmail.com>, gn_dha...@yahoo.com, "Natalia Handayani" 
<natalia_handay...@yahoo.com>, "bolih hengki" <bolih_hen...@yahoo.com>, "hendra 
hengtraco" <siau_rong_...@yahoo.com>, "dewi hengtraco" 
<dewz_andri...@yahoo.com>, "Haha Hihi"
 <my_lettersssss...@yahoo.com>, "ali husin" <madehu...@yahoo.com>, "Dian 
Juliantine" <dhammacar...@yahoo.com>, "Agata Leins" <sweety_g...@yahoo.com>, 
"YULI LIM" <yulilim2...@yahoo.com>, "lisa" <green_drea...@yahoo.com>, "Lim 
Maria" <ac1_ma...@yahoo.com>, "lauw marshela" <lauw_marshel...@yahoo.com>, 
"Maria Nia" <n14_cut3z...@yahoo.com>, "niko" <niko_...@yahoo.com>, "niko" 
<neko_...@yahoo.com>, "Vivi Oktaviani" <okta_...@yahoo.com>, "olivia oliv" 
<visan...@yahoo.co.id>, "Andhy Purnama" <andhy7...@yahoo.com>, "robin" 
<b...@hotmail.com>, "Rosevita" <rose_v...@hotmail.com>, "ferdinand s" 
<ferdinand_sulai...@yahoo.com>, stanislaus_fr...@yahoo.com, "Albert Sutanto" 
<albert_cha...@yahoo.com>, "nova tobing" <novatob...@yahoo.com>, "rudy widjaja" 
<rudy.cor...@yahoo.com>, "David Wijaya" <d_v_...@yahoo.com>, "yohanes winata" 
<abbalove_a...@yahoo.com>, yono77_...@yahoo.com
Date: Monday, March 30, 2009, 10:23 AM








--- On Sat, 3/28/09, yumei himura <himura_yum...@yahoo.com> wrote:


From: yumei himura <himura_yum...@yahoo.com>
Subject: Fw : Kisah David Hartanto Widjaja
To: "aryani" <girlani...@yahoo.com>, "HOK TONG - JAKARTA" 
<htjak...@dnet.net.id>, "Sianny" <www.sianny...@yahoo.com>, "Siska Rapil" 
<black_sixse...@yahoo.com>, "lilie zhang" <zhang.l...@yahoo.com>, "Iva Aurelia" 
<spaincu...@yahoo.com>, "Dewi ratnasari" <www.d3wi...@yahoo.com>, "CuCu" 
<cucu3...@yahoo.com>, "Melawati" <m_3...@yahoo.com>, "Raymond Atmante" 
<ray_atma...@yahoo.com>, "Marisa" <marisaguna...@yahoo.com>
Date: Saturday, March 28, 2009, 5:22 AM






















*Subject:* Kisah David Hartanto Widjaja

“They Want to Kill Me,” Teriak David, Darah Lalu Bersimbah
Sketsa 18 Maret 2009
Pertemuan saya dengan ayah David, Hartono Wijaya, hari ini
mengindikasikan kuat pembunuhan. Riset David setelah terus saya
verifikasi menajam; indikasi “rebutan” hak penemuan “ komponen” obyek 3
dimensi yang bisa tayang di udara, bisa juga berguna bagi televisi masa
depan yang dapat ditonton kasat mata, tanpa kacamata khusus, laksana
riset yang pernah dilakukan Lucas Art & Co.
Inilah Sketsa ke-3 sebagai seorang literary citizen reporter, indikasi
tentang kasus pembunuhan
anak jenius, aset bangsa seharusnya. SOSOK Hartono Wijaya berkacamata
berkemeja lengan pendek bergaris biru berpantolan biru tua. Alur benang
celana bagian pisak depannya melicin.. Ada goresan seterikaan. Sepatu
hitamnya bertelapak tipis. Penampilannya sederhana saat saya temui.
Hartono adalah ayah kandung David Hartanto, mahasiswa Indonesia yang
tewas di kampusnya di Nanyang Technology University (NTU), Singapura,
pada 2 Maret 2009 lalu.
“They want to kill me, they want to … kill me … they …” Di menjelang
ajal itu, David berteriak-teriak, “They want to kill me,” lalu lari
terbirit-birit, di lantai tempat ia berkonsultasi dengan dosen
pembimbing skripsinya, Prof., DR. Chan Yan Loek, 45 tahun, di jurusan
Electrical Engineering.
Tak ada bala bantuan. David ketakutan. Bayangan kematian di depan mata.
Malaikat maut seakan menabal ajal. Kampus bergengsi di pagi cerah mulai
ramai namun sepi.
Di 2 Maret 2009, sekitar pukul 10 waktu Singapura, suasana senyap,
ternyata telah mengantar tubuh David yang semula segar bugar lalu
kelengar. Indikasi lehernya ditebas, lalu badannya dibuang, dijatuhkan
dari lantai empat kampus, tempat segala ilmu dan kelimuan yang
mengedepankan integritas itu terjadi. Seorang wanita, pekerja di NTU
melihat sosok David lari terbirit-birit.
Ia mendengar jelas suara, “They wanto to kill me…” Tetapi ia tak
menyangka sebuah permintaan tolong melolong. Ia mengira, agaknya, hanya
sebuah adegan bercanda. Wanita itu menceritakan detik mencekam itu
kepada Hartono Wijaya, pada 2 Maret 2009 petang di Singapura, di saat
sosoknya berkunjung ke kampus NTU.
“Jika saya sebutkan nama wanita itu kepada Anda, akan dibunuh pula
wanita itu kini,” ujar Hartono. Indikasinya leher David ditebas pisau.
Darah berceceran di tangga, sebagaimana foto tetesan darah yang sedang
dibersihkan yang telah dikirim oleh seorang blogger di Singapura kepada
saya. Foto itu kini juga beredar di internet, Facebook, dan menjadi
potongan video visual
yang dibuat oleh Christovita Wiloto. Kalimat David lari terbirit-birit
dengan nada ketakutan itu diceritakan Hartono dengan mata berkaca-kaca.
Saya lalu meminta tolong ayah David ini mendeskripsikan jasad anaknya
ketika pertama kali melihat. Ditemani oleh pihak Kedutaan Indonesia di
Singapura pada sore, 2 Maret 2009, oleh pihak kepolisian ia tak
diperbolehkan melihat jasad David. Alasannya masih dalam otopsi.
“Keesokan harinya saya kembali, Anak saya badannya dililit plastik,
dibalut macam mumi plastik bening.”
“Tetapi saya melihat lehernya diplester, ada tiga baris plester.”
Demikian paparan Hartono kepada saya. Saya berjumpa Hartono di sela-sela
diskusi yang diadakan oleh Christivita Wiloto, Selasa, 17 Maret 2009,
pukul 13..30. Chris membuat pertemuan diskusi sekalian memberikan
penghargaan kepada penulis resensi bukunya, Behind Indonesia Headlines,
dalam sebuah diskusi bertopik Membangun Citra Positif Indonesia Melalui
Pemberitaan Media. “Mengapa media di Indonesia hanya mengutip saja
keterangan media di Singapura, bahwa David memutus nadi, melompat bunuh
diri,” ujar Christovita membuka diskusi. Bisa saya maklumi Hartono
enggan menyebut wanita saksi mata itu. Toh, empat hari setelah kematian
David, sosok Zhou Zheng, peneliti, yang
di saat hari kematian David turut hadir di ruangan Prof Chap Yan Loek,
mati gantung diri.
Christovita membuat sebuah film presentasi bahan yang dikumpulkan di
forum Straits Time. Kumpulan foto kematian David; deretan kejanggalan,
seperti dua tulisan saya sebelumnya, sudah beredar di banyak milis,
blog, di Facebook, kini. Di tanggal 3 Maret, kedua orang tua David di
Singapura, diminta membuat keputusan cepat, mengkremasi jasad atau
membawa pulang ke Indonesia. “Entah mengapa kala itu, dalam keadaan
kalut kami memutuskan mengizinkan
kremasi,” kenang Hartono. Matanya berkaca. Seakan ada penyesalan di
sana. Pertanyaannya lalu, mengapa David dipatheni? SAYA teringat akan
pergumulan saya di dunia visual.
Sejak berhenti jadi wartawan di Majalah SWA pada 1989, saya kemudian
membuka usaha sendiri, mulai dari graphic design hingga visual animasi.
Bahkan pada 1993, saya memutuskan penuh berusaha bergerak di bidang
animasi. Hingga 1996, usaha saya tutup, setelah menginvestasikan uang Rp
1,2 miliar, sebuah angka besar bagi saya - - karena diperoleh dari usaha
sendiri dari nol. Saya membuat animasi 2D wayang, 3D wayang. Dalam
pergulatan yang membawa kerugian uang itu, mengantarkan saya kepada
pengetahun piranti lunak dan kemampuan visual. Saya mengenal yang
namanya aplikasi software animasi 3D; mulai dari Soft Image 3D, 2D,
Toon, 3D Studio Max. Hardware mulai dari high end komputer Silicon
Graphic yang dipakai untuk menjalankan aplikasi editing macam Inferno --
dulu di Jakarta dimiliki pertama oleh Post Office, perusahan post
production (rumah paska produksi) milik Peter F. Gontha.. Pada 1997-1998,
saya sempat pula bekerja di VHQ,rumah paska produksi visual milik Eric
Lomas, orang Australia , warga Singapura. Ia juga berpartner dengan
Media Development Authority (MDA) semacam BUMN-nya
Singapura. Melalui MDA inilah, antara lain pemerintah Singapura memberi
kemudahan Disney, bahkan Lucas Film membuka usahanya di Singapura,
termasuk memberi iming-iming tax free
Lucas Art & Co, pernah melakukan riset tentang teknologi tiga dimensi
(3D) visual untuk kepentingan iklan, yang mampu tampil di udara. Itu
artinya, software animasi 3D, sederhananya, yang semula hanya bisa
membuat model dan tayang di komputer atau cuma direkam ke format film
dan video, lalu bisa ditayang di udara. “Seingat saya pada 2006 Lucas
Art & Co, sudah pernah mempublikasikan rencana riset mereka soal itu,“
ujar Vidiyama Sonnekh, praktisi teknologi informasi di Jakarta.
“Semacam hologram tiga dimensi yang bisa hidup di udara.” “Dulu kami
pernah mau menawarkan teknologi itu sebagai suplier ke kelompok usaha
Djarum yang sedang membangun Grand Indonesia. Cuma, kala itu masih
mahal, proyektornya saja satu US $ 20 juta,” kata Vidiyama.
Nah harga mahal itu pastilah berkait ke riset panjang dan mahal. “Nah
jika ada mahasiswa yang melakukan riset dan menemukan teknologi yang
lebih murah, logikanya, bisa merugikan industri?” ujar Vidi. Judul
penelitian David Hartanto: “Multiview acquisition from multi-camera
configuration for person adaptive 3D display 3D Rekonstruski Dari CCTV,
Syarat Utama Pendukung Intelligent Video Surveillance System.”
Dari latar pemahaman animasi dan software, latar bekerja di perusahaan
post, lalu mengetahui riset Lucas Art dari Vidiyama, serta membaca judul
skripsi David, plus mendapatkan email dari blogger di Singapura, juga
mengakuan sosok gadis bernama Angel, mahasiswi yunior David di NTU, maka
saya menduga, bahwa penemuan David adalah: Kemampuan membuat gambar
visual tiga dimensi yang bisa tayang ke udara, khusus untuk teknologi
intelijen, di mana sosok orang digital bisa diprogram masuk ke ruang
tertentu dipantau melalui kamera CCTV, gerakannya dipandu pemindai gerak
(motion capture); dapat mengirim data, suara, layaknya manusia benaran
yang sedang kita perintah bekarja. Jika benar demikian, hebat. bukan.
Jika benar itu yang ditemukan, menurut Vidi, implementasinya bisa
macam-macam. “Kita bisa saja mengganti resepsionis di kantor dengan
orang 3D, bukan manusia utuh,” ujar Vidi. Saya lalu menghayal
membayangkan teknologi hologram dalam film Star Trek, yang kini memang
mulai banyak dilakukan riset visualnya oleh Amerika Serikat. Riset itu
juga berupaya mengembangkan televisi masa depan, antara lain agar publik
dapat menonton teve tiga dimensi di udara tanpa lagi menggunakan
kacamata khusus.
Ketika di risetnya 70%, sesuai penuturan Angel, sebagaimana sudah saya
tulis di Sketsa saya kedua soal David, profesor-nya tidak yakin David
mampu. “Jika kamu bisa, kamu akan dapat Nobel,” ujar Angel, mengutip
David. Gadis itu penasaran atas kesibukan David selama dua pekan
menyelesaikan tugas akhir yang tak mau diganggu. Ia lalu mengunjungi
David dan mendapatkan keterangan demikian. Pada pagi sebelum berangkat
ke kampus, David sudah memindahkan data
skripsinya ke flash-disk. Juga mebawa note book-nya dalam ransel, plus
bekal minuman air putih dalam botol besar. “Sesuai dengan info
kawan-kawanya di Singapura yang saya terima, hari itu
skripsinya sudah samapi 90% final,” ujar Hartono Wijaya, sang ayah.
Malang tak dapat diduga, kampus yang seharusnya menjadi wadah para
ilmuwan yang berdedikasi kepada keilmuan dan kejujuran, sebaliknya
justeru kini meninggalkan tanda tanya besar. Jika indikasi pembunuhan
memang kini menguat, riset jitu anak penggemar game dan visual itu pun
diduga kuat sesuatu yang sangat berarti. Pertanyaaan, mengapa David
harus mati? Hingga di sini adalah tugas jurnalisme perlu melakukan
verifikasi terus-menerus menjadi penting. “Saya sangat menyayangkan
mengapa KBRI kita di Singapura diam saja. Tidak bersuara?” ujar Constant
Marino Ponggawa, anggota komisi I DPR RI, 2004-2009. Ketika saya desak
dengan pertanyaan, mengapa DPR tak menekan pemerintah RI menyampaikan
tekanan penyidikan tuntas terhadap pemerintah Singapura? “Ini waktunya
sedang tak pas. DPR sedang reses.” kata Constant. Constant tak habis
pikir, mengapa pemerintah diam, “Apa ini karena sosok yang tewas
kalangan minoritas?”
Bila saya menjawab Constant, maka dengan berat hati saya tuliskan
kembali bahwa penghargaan negara terhadap nyawa memang rendah-rendah
saja. Saya mengulang menuliskan bahwa tiga pekan lalu seorang wanita
bernama Devi, di Pamulang, Banten, koma usai diperkosa, rumah sakit
tidak bisa menerima karena tak ada identitas dan kartu miskin, dirawat
sekenanya di pos ronda lima hari oleh warga, lalu mati begitu saja.
Negara? Entah di mana! Di banyak kasus menimpa TKI kita di luar negeri,
dilecehkan, dihamili bahkan mati, sebagaimana dipaparkan Christivita
Wiloto, negara juga seakan entah di mana? Makanya jika seorang anak
pandai, brilian pula otaknya, lalu kemudian
dibunuh, dan opini media sedunia dibangun bahwa, anak mahasiswa
Indonesia penusuk dosen?
Pembunuh! “Maka celakalah kita,” ujar Christovita. Di saat anggota DPR
reses, di saat pejabat pemerintahan bercuti lalu berkampanye, di saat
para Caleg menghitung kocek, kematian satu nyawa, bisa jadi terlupakan
lagi oleh pengelola negara. Padahal di kematian David, bisa jadi
sesungguhnya menyangkut nama besar bangsa diindikasikan dirusak,
sekaligus “dihina”. Sudah sejak lama anak-anak pintar negeri ini
diimingi bea siswa, lalu setelah tamat otaknya guna membangun bangsa
orang. Inilah tragedi di bangsa yang menghamburkan dana dalam lima tahun
ini mencapai Rp 1.000 triliun, untuk kepentingan Pemilu, Pilkada, Partai
dan pengeluaran perorangan partai, namun alpa akan sisi kemanusiaan yang
kian hari seharusnya: kian beradab.
“Sebagai orang tua, Pak Hartono tak mungkin meminta nyawa anaknya
kembali. Tetapi minimal ada pembuktian, bahwa anaknya mati bukan karena
menusuk dosen,” ujar Christovita. ***






















      

Kirim email ke