Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu negara pemalsu terbesar. 

 

Meski sedih tapi apa mau dibilang kalau kenyataan memang demikian.
Mulai dari avtur palsu (dicampur air), baso palsu (berformalin, berdaging
tikus), beras palsu (pakai pemutih), daging ayam palsu (tiren), daging sapi
palsu (glonggongan, direndam darah, berformalin, dioplos dengan daging
celeng), gorengan crispy palsu (sedotan, kemasan plastik ikut dilelehkan
dalam minyak goreng panas), semangka manis palsu (disuntik pemanis buatan),
susu murni palsu (dioplos santan dan air kaporit), telur asin palsu (dicat
dan disuntik air garam), terasi palsu (campur nasi aking atau dedak), ikan
palsu (berformalin) , jamu tradisional palsu (campur obat keras jenis G
penyebab gagal jantung/ginjal/ hati), permen coklat palsu (diisi narkoba),
susu Formula ?palsu? (mengandung bakteri enterobacteri sakazaki). Dan,
masih banyak palsu-palsu yang lain yang sangat mendukung predikat tidak
terpuji.


Bahkan berita terbaru yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta
tentang terulangnya praktek kecurangan terhadap minyak goreng yang dioplos
dengan oli bekas kendaraan bermotor. Padahal peristiwa yang sama sempat
marak di bulan Mei lalu. Pertanyaannya kenapa hal serupa menjadi marak lagi
sekarang?


Apakah Balai POM dan pihak Kepolisian sudah tuntas mengusut pelakunya.
Rasanya setiap detik hidup kita terkepung dalam bahaya terselubung.
Konsumen selalu terbebani keresahan dan kekhawatiran akan produk yang akan
dibeli. Apalagi di saat-saat seperti ini semua bahan kebutuhan pokok sudah
merangkak naik. Maka ibaratkan makan buah simalakama. Ingin berhemat dengan
membeli minyak goreng curah yang per kilo 8-9 ribuan tapi dengan risiko
terjebak minyak goreng oplosan. Atau membeli minyak yang bermerek yang
notabene lebih sehat yang sudah berada di kisaran Rp 12.000/liter sedangkan
kebutuhan lain juga turut mendesak.


Walhasil lagi-lagi konsumen tidak ada pilihan dan tetap membeli minyak
goreng curah karena harga yang terjangkau. Padahal kerap kali minyak goreng
itu selain dikonsumsi sendiri juga digunakan sebagai modal usaha bagi
pedagang makanan gorengan, warung-warung tepi jalan, dan penjual aneka
penganan di pasar-pasar, stasiun kereta api, terminal bus, dan fasilitas
umum yang lain.


Berikut ini informasi yang didapat langsung dari lapangan dan oknum pelaku
kecurangan yang bisa kita simak sebagai pengetahuan agar kita lebih waspada
dan tidak terjebak sebagai korban pemalsuan minyak goreng lagi..
Teknik Pengoplosan

(Embedded image moved to file: pic11023.jpg)

Pelaku mengumpulkan minyak jelantah (minyak bekas menggoreng) dari para
penjual makanan gorengan dengan harga Rp 1000 ? 2000/kg. Oli bekas
kendaraan bermotor didapat dari bengkel mobil dan sepeda motor secara
gratis.


Jelantah dan oli bekas dipanaskan di tempat yang berbeda sampai terpisah
antara endapan dan cairan beningnya kemudian masing-masing disaring. Minyak
jelantah yang sudah terpisah disaring dan kemudian ditambahkan tepung
terigu dan mentega dengan takaran suka-suka dan dimaksudkan supaya warna
dan tampilannya mendekati minyak goreng murni.
saat dicampur oli dan minyak
(Embedded image moved to file: pic29972.jpg)

Terakhir oli bekas yang juga sudah disaring ditambahkan ke dalam minyak
goreng tadi dengan maksud menambah jumlah volume sehingga semakin banyak
hasil yang diperoleh. Bahkan, tidak tanggung-tanggung pelaku juga
menambahkan zat kimia semacam Hidrogen beroksida. Dan, semua itu
membutuhkan modal hanya Rp 6000/liternya dan mereka menjual kembali kepada
penjual di pasar mendekati harga normalnya Rp 10.000 sampai dengan 11.000
/liter. Dan dijual dalam kemasan plastik 1 kiloan atau per jerigen.
(Embedded image moved to file: pic13061.jpg)
hasil produksi

Bisa dibayangkan berapa keuntungan yang bisa mereka dapat dengan penjualan
minyak racikan berbahaya ini. Semisal (50 kilo/hari x Rp 4000) 30 hari = Rp
6000.000/bulan. Bisa dibayangkan berapa ratus orang yang akan dirugikan dan
terancam penyakit mematikan. Kanker, ginjal, hati dengan 50 kilo minyak
goreng berbahaya itu.
Hasil Penelitian Bapak Mohamad Bachir selaku kepala Associate Laboratories
menyatakan bahwa hasil uji lab terhadap minyak goreng oplosan mengandung
senyawa berbahaya (baca: racun) lebih tinggi dibanding minyak jelantah
biasa. Kadar Senyawa itu memicu sel kanker menjadi ganas.

Cara Mengenali
Mengenali minyak goreng oplosan di pasaran memang tidaklah mudah. Tapi,
tetap kita bisa membedakannya apabila kita mau jeli. Berikut ini tips mudah
untuk mengenalinya:

- Berbau tengik.
- Berwarna lebih gelap dari minyak goreng asli.
- Terdapat endapan didasar minyak (berasal dari tepung terigu).
- Timbul buih dan berasap saat dipanaskan.

Keanehan di atas tidak ditemukan pada minyak goreng asli yang sehat.
Berbekal pengetahuan di atas semoga konsumen bisa lebih jeli terhadap
produk-produk palsu yang merugikan dan membahayakan kesehatan keluarga dan
saudara-saudara kita. Dan sudah seharusnya pemerintah segera mengatur tata
niaga tentang pembuatan dan izin edar minyak goreng karena sampai saat ini
minyak goreng masih termasuk niaga bebas dan pengawasannya memang tidak
ketat.


Sedang untuk produk-produk palsu lain segeralah pemerintah bertindak tegas
dan tidak setengah-setengah karena korbannya anak bangsa sendiri.. Semua
instansi terkait hendaknya bergerak cepat dan jangan menunggu sampai
terulang kasus serupa. Dan masyarakat juga berperan aktif memberikan
informasi apabila ditemukan pemalsuan di sektor mana pun.?


Semoga info di atas dapat bermanfaat bagi teman2 dan saya juga ingin
sampaikan bahwa saya memiliki solusi untuk ?memagari? tubuh kita ini dari
berbagai ancaman toxic/ racun yang dapat masuk melalui udara dan makanan
serta minuman yang kita konsumsi sehari-hari, yaitu melalui terapi oksigen,
dengan cara mengkonsumsi air sehat yang menyehatkan (bahkan 0% kandungan
mineral) yang mengandung oksigen tinggi yang merupakan produk nasional
sejak tahun 5 tahun yang lalu.

Kirim email ke