Bagaimana dgn yg tinggal diseberang kelenteng - tempat tinggal O-Ok dulu bekas bus RS dan bagaimana dgn keluarga disebelahnya - dulu mereka masih menjadi pengurus. Apakah mereka menjadi kristen? Goalnya mau diapakan dgn kelenteng ini? Menja sembayang Samkau sebetulnya adalah dari aliran Samkau Jakarta yg dibawa oleh oom The Boan An [ tidak tahu nama barunya] Seharusnya diatasnya hanya ada Budha Sidharta, KungTze dan LaoTze Jadi seharusnya tidak ada sun Gokong. Anyway rupanya keadaan sudah berubah banyak dan keadaan jaman dulu sudah hilang oleh karena yg memeliharanya kurang cukup pengetahuannya mengenai sejarah Bogor. Andreas
--- On Fri, 5/8/09, Ning M. Widjaja <nmw...@gmail.com> wrote: From: Ning M. Widjaja <nmw...@gmail.com> Subject: [budaya_tionghua] Re: Boe Lo Loe - surat private [1 Attachment] To: mihar...@pacbell.net, budaya_tionghua@yahoogroups.com Date: Friday, May 8, 2009, 12:02 AM [Attachment(s) from Ning M. Widjaja included below] Dear Andreas, Sekarang secara de jure di bawah tanggung jawab Teng Hay Suhu dari Vihara Vajra Bodhi di pertigaan Tajur Tan Ek Coan Bogor. Kalu sehari-hari sepertinya di pegang oleh Ko A Hak dan beberapa orang anak muda dari Jawa Tengah. Sepertinya semua pengurusnya sudah tidak ada orang Bogor karean yang berkumpul kebanyakan orang Bangka. Kebetulan hari ini saya ada datang ke sana, saya lampirkan beberapa fotonya . Hormat saya, NMW 2009/5/7 ANDREAS MIHARDJA <mihar...@pacbell. net> Ning - aku ini dlm 1960 sering keluar masuk kelenteng ini sebelum saya berangkat keluar negeri utk mencari ilmu. Suhu yg kalian sebut Mpe pecek dgn saya berhubungan baik sekali dan dia yg mengatakan bahwa penghidupan saya harus diluar Indonesia [waktu itu masih 1961 jadi belum ada keributan diBogor] Sebelum saya berangkat dia ada permintaan kepada saya utk mencarikan kartu utk kuamiah yg hanya dpt diketemukan di Nederland. Dgn susah payah saya mencari dan baru setelah dia meninggal saya menemukannya dan mengirim perjanjian ini kepada cucunya yg memelihara kelenteng tsb waktu itu setelah lebigh dari 20 thn. Oleh karena itu tolong berikan kabar dan info - siapa yg sekarang menjadi bestuur dari kelenteng ini - maafkan saya tidak tahu nama² baru aliran ini. Mungkin sdr dapat memberikan penerangan dan memberikan tahu keperluan mereka. Andreas /TTH --- On Thu, 5/7/09, Ning M. Widjaja <nmw...@gmail. com> wrote: From: Ning M. Widjaja <nmw...@gmail. com> Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: Boe Lo Loe - sebuah kelenteng yang dinamai "greja" dalam bhs Melayu Rendah To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com Date: Thursday, May 7, 2009, 1:21 AM Ko David Kwa, Mudah-mudahan tulisan kita bisa menggugah orang lain supaya ada memiliki rasa perhatian dan prihatin yang mendalam atas warisan budaya para leluhur kita. Salam Hormat, NMW 2009/5/5 David Kwa <david_kwa2003@ yahoo.com> Sdr. Tie Tie yang baik, Ban-ban kamsia atas pencerahan anda. Menarik sekali menyimak pemaparan anda tentang Gredja Boeloloe yang tidak diketahui orang banyak. Beberapa kali owe berkunjung ke sana, mengagumi keindahannya setelah tiam hio, tapi owe tidak tahu riwayat Gredja ini yang ternyata begitu menarik. Bahkan seorang teman asli Bogor yang tinggal tak jauh dari situ pun sering menyebut namanya hanya Koan Im Bio, tanpa ada penjelasan lain. Kalau nama Boeloloe artinya “Jalan Tanpa Usia Tua,†maka aksara Tionghoanya seharusnya ç„¡è€ è·¯ dan dibacanya bu lo lou. Aneh juga namanya ya, tapi owe yakin nama tersebut diberikan bukan tanpa sebab. Memang, pertama kali owe berkunjung ke sana, owe melihat ada dua Meja Abu berukir halus ber-kimpoh é‡`ç®" (Man. jinbo, atau prada) khas Peranakan, masing-masing untuk “Abu†Ma Suhu Tan Eng Nio dan Mpe Pece. Tapi betapa “mencelos†hati owe, ketika suatu waktu owe berkunjung lagi, kedua Meja Abu indah itu sudah disingkirkan ke tembok di samping kanan bangunan utama, dekat Klinik Dharmakaya yang sekarang sudah dibongkar, sementara Meja Sembahyang Thni-kong 天公 diletakkan di sisi tembok yang lain, menghadap ke dalam, berseberangan dengan altar Mo San Cousu 茅山祖師 (Man. Maoshan Zushi) di bangunan belakang. Setiap kali owe ke Gredja ini, owe selalu menyempati diri untuk melihat keberadaannya semari berharap, mudah-mudahan kedua Meja Abu dan Meja Sembahyang ini masih ada di tempatnya dan tidak “berpindah tempat†ke rumah salah satu kolektor antik. Owe belum mencek lagi ke sana, mudah-mudahan saja masih ada. Kiongchiu, DK Ning M. Widjaja wrote: Saudara Sekalian, Saya ingin berbagi cerita tentang Kelenteng yang dinamai Greja Boe Lo Lou, Jalan Tanpa Usia Tua") yang berlokasi di Sukasari, Kota Bogor. Demikianlah seberapa sedikit yang saya alami sendiri dan seberapa sedikit yang saya dengar. Mohon masukannya. Demikianlah yg saya ketahui klenteng Greja Boe Lo Loe yang dimasa orba diganti nama menjadi Vihara Dewi Bulan Candrasari dan lalu sekarang menjadi Vihara Dharmakaya yang dikelola oleh kelompok Suhu Teng Hay dari Vihara Vajra Bodhi, Tajur, Bogor. Kelenteng ini dibangun atas kemurahan hati mendiang Ibu Tuan Tanah Kwitang yg bernama Teng Oen Giok di atas sebidang tanah yg cukup luas di tanjakan Sukasari pada awal tahun 1940'an (?). Kelenteng dibangun dalam bentuk vila dengan bangunan utama di tengah pekarangan dan sebuah menara tingkat 2 dengan tangga melingkar di sebelah timur bangunan utama. Bangunan tambahan terpisah berbentuk 'L' mengelilingi bangunan utama di sebelah barat dan utara. Dibangun dengan gaya campuran Belanda Tropis, dengan atap limasan. Jendela,pintu dan dan perabotan sebagian besar berukir gaya Tionghoa peranakan kemungkinan buatan Soanci. Sebagian kursi meja mempergunakan batu marmer bergambar Tay Li. Di setiap sudut pancuran terdapat gentong keramik raksasa untuk menampung air hujan sebagai air minum. Halaman muka belakang dan samping timur ditumbuhi tanaman lengkeng besar (sudah tumbang semua sekarang). Seluruh bangunan dikelilingi tembok 2 lapis yang cukup tinggi dengan gerbang berlapis. Mendiang Nyonya Besar Teng Oen Giok mendedikasikan semua ini kepada Ma Suhu Tan Eng Nio ???^?Q??v??lanjutny a bangunan ini dikenal sebagai Bio Ma Suhu. Ma Suhu seorang biarawati yang tidak memotong dan tidak mengikat rambut dan selalu berpakaian putih dan memakai kain batik panjang. Sebelum menjadi suhu, beliau pernah menikah tanpa anak dan tinggal di Jatinegara, dan suaminya adalah pekerja di toko foto Djoa Djin Som di Matraman di sebelah jembatan kereta api dan selanjutnya juga menjadi Bioskop Sentral. Semeninggal suami, beliau menjadi Suhu dan tinggal di Bogor karena diperkirakan beliau kelahiran di Bantar Kambing, Semplak, Bogor dari lingkungan keluarga besar Kwee di sana. Kalau mendengarkan cerita, sepertinya Ma Suhu menjalankan ajaran Tantra bercampur aliran mistis Tao. Diakui memiliki kekuatan supernatural, berkebiasaan hanya minum dan makan yg dimask dengan air hujan, seorang vegetarian murni dan sangat memuja Dewi Kwan Im. Menara tingkat dua dipakai beliau untuk bertapa pada waktu-waktu tertentu dan dalam waktu yang lama. Konon menara ini selalu terkunci dan hanya boleh dikunjungi pada waktu tertentu setelah orang yang akan berkunjung melakukan cia chay beberapa hari. Seumur hidupnya beliau dilayani oleh pelayan setia yang bernama Acim On. Selama bertapa Ma Suhu mengunci diri dan tidak boleh diganggu dalam menara sampai beberpa hari. Ketika bertapa, beliau tidak makan dan minum dan hanya memakai selembar kain putih untuk menutupi badan. Dalam perjalanan waktu, Ma Suhu mengangkat beberapa murid dari wilayah Bogor dan dari Pasar Baru, dan mengangkat anak seorang Jatinegara bernama Oeij Lo Hie ????ß yang beristrikan Khouw San Nio ?\???Q anak dari Khouw Bun Eng (Man. ?) yang tak lain juga toa ku Oeij Lo Hie) seorang saudagar dan tuan tanah ?a?D dari Emui yang menikah dengan istri dari marga Kwee kelahiran Bantar Kambing. Kemungkinan besar karena pertalian saudara Piauw diantara para wanita dari Bantar Kambing ini, maka Ma Suhu mengankat anak tersebut. Ma Suhu meninggal di akhir tahun 1950-an dan dimakamkan di Gunung Gadung (bila ada yg tahu letak makam ini, mohon infonya). Dua keanehan yg disaksikan orang banyak yaitu, seprai tempat tidur dimana beliau meninggal meninggalkan bekas berbentuk tubuh Ma Suhu dan berwarna kuning. Keanehan kedua, setelah badan beliau dibersihkan dan diberikan pakaian penguburan, badan beliau diletakan di kursi dalam posisi duduk dengan kaki diatas dampar (kursi alas kaki) untuk di sembahyangkan. Seusai sembahyang, kaki beliau bergerak sendiri dari dampar dan tepat memasuki sepasang selop yang disediakan di lantai, dan baru setelah itu badan dipindahkan ke dalam kwan chai. Dalam upacara kematian, keluarga besar 3 turunan Oeij Lo Hie yang memakai toa ha. Upacara dihadiri banyak hweesio dari Hokkian dan Hongkong yang kebetulan sedang ada di Betawi. (Foto-foto Ma Suhu semasa hidup dan upacara kematiannya pernah disimpan di altar Kwan Im dari anak perempuan tertua dari Oeij Lo Hie - sayangnya semua dimusnahkan ketika mereka pindah kekeyakinan lain menjelang tahun-tahun akhir kehidupannya) . Semeninggalnya Ma Suhu terjadi perseteruan di antara murid-muridnya untuk menduduki Bio Ma Suhu ini. Memang para murid Ma Suhu sebagian mondok di sana. Dalam hal ini kel besar Oeij Lo Hie menghindar dari kemelut ini. Kemelut Bio Ma Suhu terselesaikan dengan diserahkannya bio ini di bawah binaan Suhu Teng Hay di tahun 2000-an sampai sekarang dan menjadi Vihara Dharmakaya. Ruang-ruang : Pada awalnya di akhir thn 1970-an bangunan utama terdiri dari 2 kamar tidur besar, dan 2 ruang pemujaan di muka. Ruang pemujaan terdepan terdapat meja Thian Kong di tengah, Sebelah timur altar dewa Ong Siu Lie, bagian barat altar Kwan Tek Kun; ruang altar utama adalah altar tunggal untuk Dewi Kwan Im. Naik ke menara terdapat altar Thian Lo Ong. Di ruang samping kamar-kamar tidur terdapat 3 meja abu, yg paling selatan meja abu Nyonya Besar Teng Oen Giok, di tengah meja abu Ma Suhu dan paling utara meja abu dari mama dari Ma Suhu. Terdapat alatar besar di bangunan paviliun sebelah barat untuk Amithaba Buddha dengan latar belakang sulaman sutra kuning bergambar matahari terbit diatas laut bergelombang memenuhi dinding ukuran paling tidak 3 x 2 meter sangat indah. Di sebelahnya terdapat altar dengan papan kaca untuk menghormati Sam Kau Seng Jin dari Kuang Si dengan patung Khong Cu kecil. Pada tahun 1980-an altar Amitabha Buddha dan pernak-perniknya sudah tidak ada. Altar Sam Kauw Seng Jin dipindah untuk menutupi pintu depan kamar Ma Suhu bersebelahan altar Dewi Kwan Im. Patung Amithaba Buddha disatukan di altar Sam Kauw bersama dengan patung Khong Cu dan patung Khouw Te Thian. Di bawahnya di buatkan altar To Te Kong. Di bangunan paviliun utara dibuatkan altar Tao Sam Cheng (3 guru besar Tao - Thay Siang Lo Kun, Li Lo Kun, Mo San Co Su). Pada tahun 2008, meja Thian Kong tidak ada lagi dan diganti oleh sebua hiolo besar kaki tiga yang diletakkan di paseban muka. Semua hio lo kecuali di menara juga tidak ada lagi. Altar To Te Kong di pindah ke paviliun belakang berdampingan dengan altar Tao Sam Cheng. Yang menyedihkan, semua meja abu di satukan di meja abu Ma Suhu termasuk diletakkan foto salah satu murid Ma Suhu yang buta matanya yg di kenal dengan sebutan Mpe Pece. Meja abu soanci yang indah di singkirkan, hanya mempergunakan meja abu Ma Suhu yang sangat sederhana. Barang-barang pernak-pernik altar antik dan bernilai seni tinggi tertumpuk dan berserakan tak menentu di dalam kamar Ma Suhu tidak terawat. Memang sangat dibutuhkan sebuah lembaga independen atau semacam perkumpulan orang-orang yang mengerti dan menghargai nilai-nilai dari bangunan yang bernilai budaya tinggi untuk memberikan pengarakan kepada siapapun yang mengurus tempat-tempat budaya dan bersejarah. Mungkin ada yg tergugah - karena sangat banyak tempat-tempat serupa yang bernasib sama atau bahkan lebih parah lagi. Semoga saja - (menghela napas panjang mengurut dada) (Masih Belajar Budi Pekerti)