Dokter Lo Siaw Ging, Tak Sudi Berdagang
<http://www.kompas.com/data/photo/2009/07/16/0939138p.jpg>
KOMPAS/HERU SRI
KUMORO<http://www.kompas.com/read/xml/2009/07/16/09405225/Dokter.Lo.Siaw.Ging..Tak.Sudi.Berdagang#>
Dokter Lo Siaw Ging
/<http://www.kompas.com/read/xml/2009/07/16/09405225/Dokter.Lo.Siaw.Ging..Tak.Sudi.Berdagang>


KAMIS, 16 JULI 2009 | 09:40 WIB
*Laporan wartawan KOMPAS Sonya Helen Sinombor*

*Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi,
tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo,
Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif,
bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran*.

Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo,
tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten,
Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat
pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.

Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang
datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27,
Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu
secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus
resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.

Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat
memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena
terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak
hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.

Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu
sudah punya uang banyak?”

Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga
tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada
Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.

Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para
tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah
diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar
ruang periksa,” katanya.

Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan
dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak
terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk
menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si
pasien tak membawa cukup uang.

Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep
untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat
ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya
cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan
memberikan obat yang diperlukan.

Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut
kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp
10 juta per bulan.”

Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim
Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo,
pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya
perawatan kepada Lo.

*Kerusuhan 1998
*
Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu,
relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka
pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.

”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.

Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak
mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa
dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.

Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal
sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak
heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter
keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.

Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak
membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama
bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap
menerima pasien yang datang.

”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh,
saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik,
kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut
Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari
rumah Lo.

Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat
yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di
rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.

”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.

*Anugerah*

Menjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita,
seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan
sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah
tiada.

Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran.
”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan
dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang
datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang
tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.

Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau
belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus
memenuhi peraturan pemerintah.

Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15
tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan.
”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya
sederhana,” ujarnya.

Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat
kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima
bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa
dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang
dari desa suka membawakan pisang untuknya.

Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih
dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang
istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak
memiliki anak.

”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak
sih makannya?” ujar Lo.

Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55),
ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi
pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya
datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami
memerlukan.”

*DATA DIRI*

• Nama: Lo Siaw Ging • Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 • Istri: Maria Gan
May Kwee (62) • Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 • Profesi: - Dokter RS Panti
Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur
Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo

Reply via email to