Unicode: UTF-8 Telah terbit buku karya Xu You Nian "Kajian Perbandingan Pantun Melayu Dengan Nyanyian Rakyat Tiongkok" dalam bahasa Tionghoa, lihat cover buku lihat terlampir. Dengan Kata Pengantar dari bung Mudiro dibawah:
SEPATAH KATA Mudiro Pantun dikenal umum sebagai ragam sajak atau jenis puisi lama yang diwariskan secara turun-temurun kepada angkatan masa kini oleh nenek moyang dari zaman dahulu. Tak dikenal penciptanya, tak diketahui kapan tepatnya dilahirkan, tapi hasil sastra yang amat istimewa ini sangat populer hingga saat ini. Pantun dalam sastra Melayu terdapat juga dalam berbagai sastra Nusantara lainnya seperti Aceh, Ambon, Banjar, Batak, Jawa, Minangkabau, Sunda. Tak boleh dilupakan bahwa pantun juga terkenal di dunia. Banyak pakar, sarjana dan ilmuwan dari berbagai negeri sangat tertarik dan membaca, mempelajari, mengkaji dan meneliti pantun. Ciri khas pantun yang menonjol ialah bahasanya halus dan indah. Susunan kata-katanya padat dan bernas, kiasan dan pencitraannya beraneka ragam dan canggih, mengagumkan. Biasanya pantun tiap bait terdiri atas empat larik, tiap larik berisi empat kata, dengan pola rima a-b-a-b. Bagian pertama, yaitu larik kesatu dan kedua, dinamakan sampiran, dan bagian kedua, yaitu larik ketiga dan keempat, disebut isi pantun. Sering kali, atau pada umumnya, antara sampiran dan isi pantun tidak ada hubungan makna, kadang-kadang hubungan itu agak jelas, ada kalanya hanya samar saja. Yang pasti dan jelas, selalu ada hubungan rima dan irama. Kalau ada pantun enam larik atau delapan larik, maka pola rimanya a-b-c-a-b-c atau a-b-c-d-a-b-c-d. Pantun yang dinamakan pantun kilat hanya terdiri dari dua larik, berima a-a, masing-masing merupakan sampiran dan isi pantun. Di “kawasan budaya pantun,” di mana saja, sering terjadi bila ada orang hendak berpisah mengucapkan selarik pantun, “Kalau ada sumur di ladang.” Tentu ini mengacu pada isi pantun pada larik ketiga dan keempat, “Kalau ada umur panjang, boleh kita berjumpa lagi.” Untuk memberi semangat supaya tidak putus asa, diutarakan larik pertama pantun yang lain lagi, “Berakit-rakit ke hulu,” yang sama saja dengan mengatakan “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Begitulah pantun sudah mendarahdaging, menjiwai orang, dan menjadi bagian tak terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari, Pantun diberi juga makna umpama, andai-andai, sindiran, dan disamakan dengan peribahasa. Yang tersebut akhir ini menjadi paribasan bila dibahasajawakan, dan pari dalam bahasa Jawa bila dialihkan ke ragam ‘krama’ menjadi pantun. Kata sepantun bermakna seumpama, seperti, laksana. Peribahasa pun bentuk sastra yang bersejarah lama dan tetap digemari masyarakat, sejajar dengan pantun. Hanya satu kalimat, tapi sarat dengan nilai filsafat. Pantun dan peribahasa adalah saudara kandung, dwitunggal. Sastra tak bisa lahir tanpa bahasa, dan bahasa ada penciptanya, penuturnya, penggunanya. Selama 3.000 tahun bahasa Melayu berkembang dari bahasa kecil menjadi bahasa yang luas sekali daerah penggunanya. Bahasa Austronesia Purba (3000-2000 SM), yang dilatarbelakangi mi- grasi gelombang manusia ke selatan dari bagian tenggara daratan Asia, melahirkan bahasa Melayu Purba, yang kemudian memunculkan Melayu Kuno (600-1300 M), dan seterusnya berturut-turut dan turun-temurun Melayu Klasik (abad ke-16), Melayu Modern (abad ke-19), Bahasa Indonesia, Bahasa Malaysia, Bahasa Melayu Brunei-Singapura. Bahasa Austronesia Purba bisa direkonstruksi kata-katanya dari berbagai bahasa Austronesia sekarang menurut ilmu bahasa perbandingan. Sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi terjadi pula migrasi manusia dari anak benua Asia Selatan (India) ke Indonesia, yang kemudian disusul lagi oleh migrasi manusia dari India tenggara pada awal tarikh Masehi sampai abad ketujuh. Mengenai perpindahan manusia dari daratan benua Asia ke selatan, dalam Kajian Perbandingan Mengenai Pantun Melayu dengan Nyanyian Rakyat Tiongkok ini Xu Younian menyebut adanya migrasi manusia Tiongkok, yaitu suku Yue purba, dari Fujian, Guangdong, Yunnan, lebih dari 6.000 tahun yang lalu. Dikatakan bahwa, menururt penggalian arkeologis dan penelitian ilmiah, terjalin hubungan erat antara suku Melayu purba dengan suku Yue purba itu. Kajian Perbandingan menguraikan seluk-beluk pantun Melayu dan membandingkannya dengan berbagai nyanyian rakyat dari banyak daerah dan suku bangsa di Tiongkok selatan. Dan penelitian serta pengkajian ini dilengkapi dengan penelusuran atau pelacakan sampai jauh ke masa lampau. Kita diperkenalkan dengan kumpulan (antologi) sajak yang paling awal di Tiongkok, yaitu Kitab Syair (Shijing), yang menghimpun 305 buah karya berasal dari kurun abad ke-11 SM hingga abad ke-7 SM, berarti lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Ditekankan pula bahwa untuk memahami pantun, perlu belajar dulu memahami Kitab Syair itu. Kajian perbandingan ini secara mendalam dan luas, menarik dan ilmiah, menunjukkan dan menguraikan banyak persamaan dan kemiripan antara pantun Melayu dan nyanyian rakyat Tiongkok dari segi wujud dan semangat, struktur, pola rima, tema dan topik seperti cinta asmara dan budi pekerti, cara pengungkapan artistik, penggunaan kata kiasan (metafora), dan lain-lain. Dari ini semua terungkap bahwa sejak masa lampau yang jauh sekali sudah ada hubungan persahabatan dan pertukaran kebudayaan antara Asia Tenggara, khususnya Indonersia dan Malaysia, dengan Tiongkok. Kebiasaan makan sirih, atau makan pinang, terdapat juga di Tiongkok selatan, dari Hainan sampai Hunan. Tidak sedikit kata bahasa daerah Tiongkok dari Fujian dan Guangdong terserap ke dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Begitu juga sebaliknya, meski- pun tidak seimbang proporsinya. Di Indonesia pernah tumbuh subur sastra peranakan Tionghoa Indonesia (sastra Indonesia Tionghoa). Pantun Melayu banyak mencerminkan keadaan negeri dan kehidupan orang Tiongkok beserta adat kebiasaannya. Berdasarkan penelitian yang sudah sejak lama dilakukannya, dan telah menghasilkan sejumlah karya tulis ilmiah yang penting di bidang bahasa, sastra dan kebudayaan Tiongkok, Indonesia dan Malaysia, Xu Younian telah berhasil menyusun Kajian Perbandingan ini, yang bobot keilmiahannya tak dapat diragukan. Dengan menelaah sejumlah besar bahan yang bersangkutan, karangan banyak pakar dan ilmuwan dari Tiongkok dan luar negeri,terutama yang membahas seni persajakan, Xu Younian menulis karyanya ini menurut pola pikirannya yang mementingkan keobjektifan, bertumpu pada kegiatan risetnya yang sudah berlangsung puluhan tahun, tak kenal lelah dan tak gentar dimakan usia dalam mengejar tujuannya. Yaitu, mengabdikan ilmu kepada usaha mulia memajukan persahabatan dan pengertian antarnegeri dan antar-rakyat, dalam hal ini Tiongkok dengan Asia Tenggara, yang pada gilirannya akan membangkitkan tekad untuk membela pedamaian dunia. Yang menambah arti penting karya ini ialah karena sebagai bagian dari studi pertukaran kebudayaan antarnegeri dan antar-rakyat, kajian perbandingan seperti ini masih langka, atau terlalu sedikit jumlahnya. Pada era kejayaan imperialisme dan kolonialisme, banyak ilmuwan Barat dari negeri-negeri kolonialis mengadakan penelitian dan pengkajian mengenai sastra, adat istiadat, kebudayaan dan sejarah tanah jajahannya. Mereka ditunjang dan didanai pemerintah kolonial karena usaha dan hasil penelitian itu diabdikan kepada tujuan politiknya untuk“mengamankan”sistem dan kekuasaan kolonial. Biarpun demikian, pada kenyataannya memang di antara hasil usaha para pakar itu ada yang cukup mengesankan dan bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan usaha penelitian seterusnya sampai zaman sekarang. Sesudah surutnya sistem penjajahan masih banyak juga pakar Barat yang meneliti hasil sastra berupa seni persajakan negeri-negeri bekas jajahan seperti Indonesia dan Malaysia. Dan di antara hasilnya ada yang cukup berbobot. Tapi kita masih perlu mewaspadai keobyektifannya dan kekurangan lainnya yang ditimbulkan oleh sudut pandangnya yang bertentangan dengan semangat pihak yang mencipta dan memiliki hasil sastra yang dijadikan obyek penelitian. Pantun dengan struktur empat barisnya yang sederhana itu me- ngandung pengetahuan yang sangat dalam. Di situ terekam aneka ragam hubungan dan pertalian antara Tiongkok dengan negeri-negeri Asia Tenggara. Apa lagi bila dikaitkan dengan migrasi suku Yue purba ke selatan, hubungan suku Melayu purba dengan suku Yue purba, kemudian masalah rumpun besar bahasa Austronesia, ini semua merupakan masalah sulit dan pelik yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Maka itu kita bisa mengerti akan himbauan Xu Younian supaya ada kerja sama internasional di kalangan para sarjana untuk melakukan penelitian dengan sudut pandang dan metode yang tepat guna menemukan pemecahannya. Mudiro Penasihat bahasa Indonesia pada Pustaka Bahasa Asing (Foreign Languages Press) Beijing sejak 1964 Beijing, 8 April 2009 (这是穆迪罗先生为再版本撰写的序言,题为《片言只语》,但言简意赅,寓意深长,远胜千言万语所能表述的内容。穆迪罗先生是北京外文出版社的印度尼西亚语顾问,精通双语甚至多语的资深老专家,四十年来,他为增进中国同印度尼西亚两国人民的友谊和文化交流做出了卓越的贡献。) 段宝林对《马来班顿同中国民歌之比价研究》(第一版)的评价 段宝林是北大中文系教授中国民俗学会副理事长,曾获国际人类学研究奖,是我国杰出的民间文艺学家,民俗学家,他在2009 年7月7日给我的亲笔信中对拙著提出如下四点评价: (1) 我以为先生对班顿研究能长期坚持,十分令人钦佩。我有你1983年在福建人民出版社出版的《论马来民歌》,我以为很好,在讲“歌谣学”一课时,也重点介绍过。你又再2001年出版了《马来民歌研究》,此书我还没有,如能寄我一本,将十分感激。我阅后将捐赠给北大图书馆,我去年已捐了一万多册,您的书也在其中。 (2) 我对你的书印象很好,它是从事实出发的,符合科学性要求的,而不是教条主义的空头大作。书中的许多事实,作品资料非常有用,有参考价值。 (3) 你努力参考了几乎一切能找到的有关著作,所以内容非常丰富。而且有自己的见解,是有说服力的,基本结论是可以成立的。 (4) 你把民歌与民俗、历史结合研究,是一种立体研究比单纯的文学研究又前进了一大步,很值得学习。