Sebutan Cina vs Tiongkok/Tionghoa sudah lama dan berulangkali diperdebatkan, 
... bahkan terkadang sampai bikin tegang karena saling ngotot pertahankan 
pendapat masing-masing. Padahal, masalah sebutan terhadap rakyat, bangsa dan 
negara sepenuhnya adalah hak rakyat, bangsa dan negara bersangkutan maunya 
disebut apa, kita sebagai manusia yang waras dan bangsa besar sudah seharusnya 
menuruti kehendaknya. Adalah satu sikap yang tidak bersahabat terhadap rakyat, 
bangsa dan negara tersebut, kalau kita tetap gunakan sebutan yang mereka tidak 
sukai. Bukankah begitu?!

Sebutan TIongkok/TIonghoa jelas sudah sejak 1900 dibentuknya Tiong Hua Hwe Kwan 
sudah digunakan di Indonesia. Dan ingat, pejuang-pejuang kemerdekaan RI, dari 
Tjipto Mangunkusuno, Kihajar Dewantoro, ... sampai Soekarno-Hatta untuk 
menghormati kemenangan Revolusi Nasionalis TIongkok 1911 dengan membentuk Zhong 
Hua Min Guo, juga sudah gunakan sebutan Tiongkok/TIonghoa, tidak lagi gunakan 
sebutan CINA. Dengan sendirinya, ketika hubungan diplomatik secara resmi dibuka 
dengan RRT tahun 50, Pemerintah RI ketika itu juga gunakan sebutan Republik 
Rakyat TIongkok. Tidak gunakan CINA.

Sebutan Tiongkok/Tionghoa dirubah menjadi CINA adalah hasil keputusan Presidium 
Kabinet, 25 Juli 1967, yang mensahkan keputusan Seminar Angkatan Darat. Satu 
keputusan yang sangata tidak bersahabat dan jelas Pemerintah RI ketika itu 
setelah Jenderal Soeharto berkuasa, menjalankan politik yang sejalan dengan AS, 
yang anti-komunis dan anti-Tiongkok. Sengaja mengganti sebutan 
Tiongkok/Tionghoa menjadi Cina yang berkonotasi melecehkan dan menghina rakyat 
Tiongkok. Saat itu, aksi anti-Tiongkok ditingkatkan dengan demo-demo yang 
mengobrak-abrik, merusak Kedutaan Besar RRT dan lebih lanjut bulan Agustus 1967 
membekukan hubungan diplomatik kedua negara, RI-RRT.

Perubahan penggunaan istilah "Tiongkok", "Tionghoa" menjadi "Cina" terjadi 
reaksi cukup keras, seperti yang dilakukan Mochtar Lubis, seorang wartawan dan 
penulis kawakan memuat tulisan di Harian "Kompas" 28 April 1967, menandaskan 
bahwa penggunaan istilah "Cina" setidaknya telah melukai perasaan peranakan 
Tionghoa di Indonesia. Juga di Surat kabar "Sinar Harapan" tertanggal 3 Mei 
1967 telah memuat surat seorang pembaca, Alexsander yang menyatakan: "Kami 
bangsa Indonesia yang berjiwa besar, tidak seharusnya melukai perasaan suku 
bangsa lain, jadi sudah seharusnya menghentikan penggunaan istilah 'Cina'".

Pemerintah Orba pada saat pemulihan hubungan diplomatik tahun 1990, tetap saja 
ngotot menggunakan istilah "Cina", sedang pemerintah RRT yang mengutamakan dan 
memperhatikan kepentingan persahabatan kedua rakyat dan dipulihkannya hubungan 
diplomatik, akhirnya terpaksa menerima untuk menggunakan "CHINA" sebagaimana 
sebutan dalam bahasa Inggris. Dengan ketegasan tidak bisa menerima penggunaan 
istilah “CINA” yang berkonotasi menghina itu.

Sebutan nama bagi satu negara sepenuhnya adalah hak rakyat dan pemerintah 
negara bersangkutan yang harus diterima dan dihormati oleh setiap bangsa dan 
negara bersahabat, tapi ternyata pemerintah RI pada saat Soeharto berkuasa, 
menampakkan diri tidak bersabat, yang ngotot mempertahankan sebutan "Cina". 
Kesalahan sikap yang tidak bersahabat dan tidak menghormati negara bersahabat 
hendaknya bisa segera dikoreksi dengan ketegasan dan kedewasaan Pemerintah 
sekarang. 
Sementara itu bisa kita ikuti bersama, kenyataan sejak Gus Dur menjabat 
Presiden, kemudian pada saat Megaswati menjabat Presiden dan bahkan juga 
presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini, pada saat pertemuan-pertemuan 
resmi dengan pemerintah RRT, sudah kembali menggunakan istilah "Tiongkok" dan 
"Tionghoa", tidak lagi ngotot bertahan menggunakan "Cina". Sikap dari ketiga 
Presiden RI demikian itulah sikap yang tepat, sikap bersahabat dan berjiwa 
besar. Hanya saja hendaknya bisa dilanjutkan maju selangkah lagi, berani 
mengakui kesalahan Pemerintah sebelumnya dengan pencabutan Keputusan Presidium 
Kabinet 25 Juli 1967 dan kembali secara resmi menggunakan istilah "Tiongkok", 
"Tionghoa" sesuai dengan kehendak rakyat dan pemerintah Tiongkok. 

Sama halnya dengan sebutan “Inlander” pada bangsa dan Rakyat Indonesia dimasa 
penjajahan Belanda, pejuang-pejuang Kemerdekaan tidak suka dan merasa di-"hina" 
dengan sebutan itu dan ingin disebut “Indonesia”, bagaimana jadinya kalau ada 
Negara “sahabat” bertahan tetap saja menyebutkan “Inlander” pada Rakyat dan 
Bangsa Indonesia, hanya karena terbiasa sudah digunakan ratusan tahun dan 
sekalipun “Inlander” berarti “Pribumi” yang tidak ada konotasi menghina?

Pada tanggal 13 Agustus 1939, HH. Thamrin mengajukan penggantian istilah 
“Inlander” dengan “Indonesier”, dan Ned. Indie dengan “Indonesia”. Mosi ini 
oleh pemerintah kolonial Belanda ditolak, dengan alasan penggantian istilah 
memerlukan perubahan UUD dan bisa menimbulkan kesan Indonesia mau lepas dari 
kerajaan Belanda.

Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa yang besar dan beradab didunia ini, 
hendaknya bisa menerima dan menghormati permintaan bangsa lain dalam 
menyebutkan nama Negara dan bangsanya. Berani mengakui kesalahan pemerintah 
terdahulu, mencabut keputusan Presidium Kabinet 25 Juli 1967 itu, dan kembali 
secara resmi menggunakan istilah “Tiongkok” untuk sebutan Negara, Republik 
Rakyat Tiongkok, dan menggunakan istilah “Tionghoa” untuk sebutan bangsa dan 
bahasa. Tidak lagi menggunakan sebutan “Cina” yang jelas mengandung konotasi 
menghina yang Tionghoa itu.

Dahlan Iskan sebagai CEO Jawa Pos Group, berani melawan arus, Jawa Pos menjadi 
surat kabar pertama di Indonesia yang tidak gunakan sebutan CINA, lebih dari 7 
tahun sudah gunakan “TIONGKOK” dan TIONGHOA”. Mengikuti jejak Mochtar Lubis, di 
harian Kompas 22 April 1967, tegas mengatakan, sebutan Cina merupakan 
penghinaan Tiongkok juga pada WNI keturunan Tionghoa. Juga Harian Merdeka 
dimasa BM. Diah dalam waktu cukup lama mempertahankan penggunaan sebutan 
“TIONGKOK”, “TIONGHOA”.


Tentu dengan perubahan sebutan begitu, “Jawa Pos” dicela, dicibir banyak orang, 
yang dianggap tidak ilmiah dan melawan kebiasaan sebutan CINA yang sudah 
digunakan lebih 32 tahun, ... Mengapa harus diubah-ubah? Sulit bisa dimengerti. 
Bapak Dahlan Iskan lebih lanjut menyatakan: “saya harus mengucapkan terima 
kasih kepada pemimpin INTI, Eddy Lembong yang sangat cerdas itu. Eddy Lembong 
bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang kalau 
diterjemahkan artinya begini: ''Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang 
mereka sendiri senang mendengarnya'' .


Benar! Bahwa masalah sebutan pada seseorang apalagi sebutan pada satu Negara 
dan Bangsa, sepenuhnya adalah hak orang dan bangsa bersangkutan hendak disebut 
apa baiknya. Untuk menyatakan rasa sahabat dan hormat, siapapun harus menuruti 
kehendak orang dan bangsa itu ingin disebut apa.

 Demikian pula Majalah Indonesia Media dan Indonesia Media Online, Sinergi, dan 
Suara Baru telah melakukan hal yang sama selama 8 tahun terakhir ini. Itulah 
arah perkembangan menunjukkan lebih dewasanya bangsa Indodnesia.

Salam,

ChanCT
  ----- Original Message ----- 
  From: David Kwa 
  To: budaya_tionghua@yahoogroups.com 
  Sent: Saturday, August 22, 2009 3:01 PM
  Subject: Re: Bls: [budaya_tionghua] Nama Cina dalam Cin(T)a!




        RRS,

         

        Menurut pengamatan owe pribadi, istilah Cina (Melayu), Cina (Sunda), 
Cino (Jawa Ngoko) dan Cinten (Jawa Kromo) dalam bahasa Melayu, Sunda dan Jawa 
awalnya adalah bernada netral dan malah bermakna sesuatu yang eksotis, yang 
sulit didapatkan, yang aneh. Sesuatu yang baru cenderung dinamai dengan 
attributive cina. Buktinya, di bidang flora dan peralatan, dan pemukiman kita 
mengenal pacar cina, bidara cina, petai cina, kayu manis cina, kenanga cina, 
luku (bajak) cina, pecinan, dan sederetan cina-cina yang lain, seperti kini 
kita menamai apa-apa yang eksotik dengan istilah “bangkok”. Selain itu, bahkan 
ada pula putri cina Ong Tin Nio―salah seorang istri Sunan Gunung Jati yang 
makamnya masih ada di Cirebon―dan salendro cina―sebutan untuk laras salendro 
musik khas Peranakan dan Betawi Gambang Kromong, dan Cina Benteng (orang Cina 
alias Tionghoa dari Benteng alias Tangerang), semuanya bermakna “biasa-biasa 
saja”, tanpa ada yang merasa melakukan penghinaan atau terhina. Di Jatinegara, 
Jakarta Timur, Bidara Cina (nama tumbuhan) adalah nama salah satu jalan utama 
sebelum diganti menjadi Otto Iskandar Di Nata oleh rezim orba. Sementara nama 
desa Pondok Cina di jalur kereta api Jakarta-Bogor sudah ada sejak zaman 
Belanda.

         

        Dengan demikian, istilah cina awalnya bermakna (denotatif) netral, 
sebelum dilekati makna konotatif negatif, mungkin sejak abad-19 hingga mencapai 
puncaknya pada zaman Suharto dengan “kebijakan”-nya yang bikin heboh itu. Dalam 
Carey, Peter, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, dijelaskan tentang 
sikap anti Cina yang berpangkal pada penempatan orang Tionghoa oleh Belanda 
pada posisi pachter tol, pachter candu dan kaitannya dengan Perang Diponegoro. 
Istilah Cina lama-kelamaan dirasakan sebagai suatu istilah yang bergeser makna 
ke arah derogative, hingga Tiong Hoa Hwee Koan (berdiri 17 Maret 1900 di 
Batavia) memopulerkan pemakaian istilah Tionghoa untuk menggantikan istilah 
Cina yang sudah ada sebelumnya.

         

        Mengenai argumentasi pemakaian istilah Tionghoa oleh salah seorang 
penulis muda Tiong Hoa Hwee Koan, baca kutipan berikut ini, yang owe kutip 
sesuai aslinya dalam bahasa Melayu Tionghoa, dengan penjelasan di dalam kurung 
dari owe sendiri:

         

        “Dari termashoernja keradjaän Tjin (Qin 秦朝―DK) sebagai satoe pamerenta 
jang besar dan tegoe antara negri-negri laen, soeda timboel perkataän „Tjina” 
(Tjin 秦 = keradjaän Tjin, dan „a 仔” ada soeara tambahan diboentoet soeatoe 
omongan). Kerna orang melaenken taoe jang keradjaän Tjin ada doedoek memerenta 
di Tiongkok, maka pada rahajat dari binoewa itoe marika soeda gelarken „Orang 
Tjina”. Sabaliknja anak rahajat dari itoe binoewa poen ada soeka aken gelarken 
dirinja sendiri „Orang Tjina”. Gelaran „Tjina” ini sebetoelnja sekali-kali tida 
bermaksoed djelek, tapi lantaran keradjaän Tjin soeda lama moesna dan sekarang 
ini diganti dengen „Tiong Hoa Bin Kok 中華民國” (Zhonghua Minguo, Republic of 
China―DK) maka gelaran „Tjina” nanti mendjadi lebi satoedjoe djika diganti 
dengen gelaran „Tiong Hoa”. [Dikutip dari Song Chong Sin, Hikajat Ringkes dari 
Binoewa Tiong-Kok dari Djeman Sam Hong-Ngo Tee (San Huang Wu Di 三皇五帝, Tiga 
Penguasa dan Lima Kaisar―DK), ja-itoe tatkala kira-kira 5000 taon jang telah 
laloe hingga djatonja keradjaän Tjeng 清朝 (Qing, 1644-1911―DK) pada baroe-baroe 
ini (1911―DK), Batavia: Kho Tjeng Bie 高正美 & Co, 1914, hlm 75, catatan kaki 4].

         

        Pemakaian istilah Tionghoa ini secara berangsur diikuti seluruh pers 
Melayu Tionghoa dan juga oleh pers Melayu non Tionghoa, sehingga istilah 
Tionghoa menjadi istilah yang tak asing lagi di seluruh Indonesia, bahkan 
hingga Indonesia merdeka selama pemerintahan Presiden Soekarno. Istilah 
Tionghoa hidup rukun dan damai dengan istilah Cina yang sudah ada jauh 
sebelumnya. Republik Rakyat Tiongkok tetap Republik Rakyat Tiongkok, orang 
Tionghoa ya tetap orang Tionghoa, hingga diganti secara paksa oleh rezim 
Suharto. Tiongkok dan Tionghoa tidak ada lagi, yang ada hanya Cina. Republik 
Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Tjina (RRT, sebelum Ejaan Yang 
Disempurnakan, 1972) dan kemudian Republik Rakyat Cina (RRC, setelah 1972). 
Semua surat kabar mengganti istilah Tiongkok-Tionghoa menjadi Cina, hanya satu 
koran yang yang tetap keukeuh pada penggunaan istilah Tiongkok-Tionghoa 
(Merdeka, kalau tidak salah).

         

        Akibat “kebijakan” yang tidak bijak ini―mengapa pula harus diganti? 
Sengaja ingin menyakiti?―banyak orang Tionghoa merasa terzalimi. Mereka tidak 
boleh bebas lagi memilih istilah Tiongkok dan Tionghoa sesuai keinginan mereka, 
harus Cina. Bahkan yang lebih menyakitkan hati, mereka rasakan istilah Cina 
lebih sering dipakai untuk mengumpat dari pada untuk memuji: “Dasar Cina ga tau 
diri luh!”; “Cina loleng ...”; “Eh, Cina, bagi gua duit!”; “Lu kan Cina, masa 
ga punya duit?!” dll umpatan-umpatan lain yang sangat memerahkan telinga. Media 
massa tak jarang menayangkan pemberitaan negatif tentang Cina: manipulasi, 
penyelundupan, penimbunan, pemalsuan, penggelapan, entah tindak kriminal apa 
lagi yang mungkin dilakukan oleh Cina, lengkap dengan nama si pelaku yang sudah 
ganti nama berbau non Cina, ditambah alias Cina aslinya, yang tidak boleh 
ketinggalan dicantumkan demi pengukuhan stigmatisasi Cina. Belum lagi 
tayangan-tayangan bernada pejoratif seperti Babah Ho Liang (yang diperankan 
Suryana Fatah) yang sering muncul di TV dan menambah citra negatif tentang 
Cina. Lengkap sudah penderitaan Cina selama orde baru, yang mencapai titik 
zenithnya pada 1998.

         

        Di lain pihak, sebagian dari mereka, yang lahir setelah istilah 
Tiongkok-Tionghoa diganti paksa menjadi Cina, tidak pernah bisa mengerti 
mengapa generasi yang lebih tua begitu “alergi” terhadap istilah yang mereka 
rasakan begitu melecehkan tersebut. Sejak lahir, istilah Cina juga sudah 
“akrab” di telinga mereka, mereka juga sudah biasa mendengar orang mengucapkan 
“Cina”. Buat mereka, apa bedanya Cina atau Tionghoa? Sama saja... Paling 
banter, kalau takut orang lain―umumnya mereka yang lebih tua―tersinggung 
dicina-cinakan, pakai saja istilah Chinese dan China dari bahasa Inggris yang 
dianggap lebih netral. Beres kan? Jadi, orang Cina menjadi orang Chinese. Lihat 
saja, di tenda masakan Tionghoa pinggir jalan jangan harap menemukan Masakan 
Tionghoa, yang ada Chinese Food, atau kadang Chinnese, Chinesse Food! 

         

        Opsi ini pulalah rupanya yang dipilih pemerintah RRC tatkala hubungan 
diplomatik dipulihkan pada 8 Agustus 1988. Pemerintah sana ngotot ingin memakai 
istilah Tiongkok-Tionghoa seperti masa sebelum hubungan diplomatik dibekukan, 
namun pemerintah kita keukeuh-peuteukeuh pada istilah Cina, sebab waktu itu 
(1988) masih zaman Suharto. Akhirnya diambil jalan tengah, “China” yang bukan 
“Cina”, juga bukan “Tiongkok-Tionghoa”. Seandainya kejadiannya setelah 
Reformasi, mungkin hasilnya akan berbeda... Tidak harus ada istilah Cina dengan 
“h” di tengah dalam kosa kata Indonesia, yang diambil dari bahasa Inggris... 
Kalau istilah Tiongkok yang dipakai, apa salahnya? Tak ada yang merasa 
dirugikan, toch?

         

        Kiongchiu,

        DK

         

        --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "tanaya.geo" 
<tanaya....@...wrote:

         

        Lho lho bung Zhou,

         

        kata anda (dalam email yg lain), istilah cina itu nista. Jadi ayuk kita 
rubah semua entri yang mengandung kata 'cina' menjadi 'tionghoa', termasuk 
pacar tionghoa, kenanga tionghoa, petionghoan (dari pecinan). Sudahlah kita 
stop disini saja ngobrol gak ada ujungnya.

         

        Btw, ini nanya serius, kenapa ya kata cina digunakan dalam "pacar cina" 
maupun "kenanga cina"?

         

        salam,

        jimmy

         

        --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zhoufy@ wrote:

        Memang seharusnya begitu, apa anehnya kalau sebagian besar yg disebut 
cina diganti dng Tionghoa? Maka sah2 saja istilah ini: tionghoa benteng, 
masakan tionghoa, kampung tionghoa, sastra melayu tionghoa dll ini sdh 
dilakukan masyarakat sebelum zaman suharto! Kecuali utk istilah2 tanaman dll yg 
tak ada sangkut pautnya dng manusia spt pacar cina, kenanga cina dsb, tak ada 
perlunya diubah.

       




  


------------------------------------------------------------------------------



  Internal Virus Database is out of date.
  Checked by AVG - www.avg.com 
  Version: 8.5.375 / Virus Database: 270.13.41/2277 - Release Date: 08/02/09 
05:56:00

Kirim email ke