daripada vaitcan memberi gelar santo pada penjahat2 perang di boxer era

mending angkat gus dur jadi santo

santo subito gus dur

2009/12/31 <jackson_ya...@yahoo.com>

>
>
> Selamat jalan Gus Dur
> Surga telah menanti mu
> Saya orang CINA indonesia berterima kasih atas kebaikan mu melawan arus
> sehingga kebudayaan CINA bisa dilakukan lagi setelah 32th terkubur.
>
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
> Teruuusss...!
> ------------------------------
> *From: * "east_road" <east_r...@yahoo.com>
> *Date: *Thu, 31 Dec 2009 03:15:33 -0000
> *To: *<budaya_tionghua@yahoogroups.com>
> *Subject: *[budaya_tionghua] Kenangan pemikiran Gus Dur : BERI JALAN ORANG
> CINA
>
>
>
> oleh: Abdurrahman Wahid
>
> Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah.
> Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan 'nama asli'nya kalau
> mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena
> memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama
> "Nagaria". Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si
> naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? "Hartadinata", terasa lucu, karena
> tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.
>
> Ternyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di
> telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang
> Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam
> bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa?
>
> Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan
> meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka! terkenal dalam hal
> kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain
> yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain
> dalam waktu singkat.Secara terasa, "kesepakatan" meluas itu akhirnya
> mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara?
> Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima
> kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi
> dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi
> kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan
> menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah,
> jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri.
>
> Sialnya lagi, jalan buntu itu ternyata tidak membawakan alternatif yang
> memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai
> pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena dimasa
> kolonial pun mereka hanya boleh cari uang!. Usaha berhasil, uang masuk
> berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah. Celakanya, justru karena itu
> mereka disalahkan pula: "penyebab kesenjangan sosial".
>
> Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan ternyata tidak membawa
> keberuntungan. Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab
> kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal
> permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui
> pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian
> banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi
> kebanyakan hal yang dirasakan tidak benar dalam kehidupan kita.
>
> Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya kemampuan bertahan.
> Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan
> potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan
> satu-satunya 'jalur kolektif' yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala
> tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah
> sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi,
> politisi dan sebagainya.
>
> Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah
> 'sasaran kolektif' mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa
> pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha.
> Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan
> kepada sifat serakah,atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan
> sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu,
> tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis
> dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama.
>
> Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa
> dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur
> umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan
> perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu
> ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh "posisi kolektif" mereka
> dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang
> ternyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.
>
> Keperkasaan orang putih ternyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang
> hitam di Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan kemampuan
> sama maju dengan orang Cina, seperti semakin banyak terbukti saat ini.
> Begitu pula bangsa-bangsa lain, baik yang menjadi minoritas maupun
> mayoritas. Tesis pokoknya di sini adalah: dapatkah kelebihan kekayaan orang
> Cina dimanfaatkan bagi usaha lebih memeratakan lagi tingkat pendapatan
> segala lapisan masyarakat bangsa kita di masa depan?
>
> Jawabnya, menurut penulis, adalah positif. Orang Cina, sebagaimana
> orang-orang lain juga, dapat diappeal untuk berkorban bagi kepentingan masa
> depan bangsa dan negara. Tentu dengan tetap menghormati hal-hal mendasar
> yang mereka yakini, seperti kesucian hak-milik dari campur-tangan orang
> lain.
> Pemindahan kekayaan secara masif bukanlah barang baru bagi orang Cina,
> karena mereka pun baru saja melakukan hal itu, dalam bentuk merampungkan
> upaya akumulasi modal yang bukan main besarnya.
>
> Salah satu instink untuk tetap bertahan hidup bagi orang Cina adalah
> realisme sangat besar yang mereka miliki. Akal mereka akan mendiktekan
> keputusan pemindahan kekayaan secara masif kepada mereka yang lebih lemah,
> dalam upaya mendukung pihak lemah itu agar juga menjadi kuat. Tetapi itu
> semua h arus dilakukan dengan menghormati kesucian hak-milik mereka, bukan
> dengan cara paksaan atau keroyokan.
>
> Kalau begitu duduk perkaranya, jelas akses orang Cina kepada semua bidang
> kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan apa pun. Kalau sekarang ada tiga
> orang Arab menjadi menteri, tanpa ada pertanyaan atau kaitan apa pun dengan
> asal-usul etnis atau rasial mereka, hal yang sama juga harus diberlakukan
> bagi orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan
> apa pun. Kalau prestasi para dokter orang Cina sama baiknya dengan yang
> lain-lain, mereka pun berhak menjadi kepala rumah sakit umum. Begitu juga
> menjadi jenderal, dan demikian seterusnya.
>
> Cerita gurau yang luas beredar menyebutkan perbedaan orang Jawa dari orang
> Cina. Orang Jawa, kata cerita itu, akan senantiasa menanyakan kesehatan kita
> kalau bertemu: "sampean waras?" Bagi orang Jawa yang mudah masuk ang in dan
> sebagainya, kesehatan adalah perhatian utama. Ini berbeda dengan orang Cina.
> Kalau berjumpa dengan orang lain, pertanyaan yang diajukan: "sampean apa
> sudah cia?" alias apakah sudah makan atau belum. Mengapa? Karena mereka
> dahulu datang kemari akibat bahaya kelaparan di daratan Cina, negeri asal
> mereka.
>
> "Keanehan" seperti itu adalah karakteristik etnis, yang tidak boleh
> mengganggu keserasiah hidup sebuah bangsa. Apalagi bagi bangsa yang pada
> dasarnya sudah sangat heterogen, seperti bangsa kita. Kita sudah harus dapat
> melihat karakteristik khusus orang Cina seperti juga 'keanehan' suku-suku
> bangsa kita yang lain.
>
> Ini berarti kita harus mengubah cara pandang kita kepada orang Cina. Mereka
> harus dipandang sebagai unit etnis. Bukan unit rasial !.
>
> Kalau kita bisa menerima kehadiran orang Flores, Maluku dan Irian sebagai
> satuan etnis - padahal mereka bukan dari stok Melayu (karena stok mereka
> adalah Astromelanesia), maka secara jujur kita harus melakukan hal yang sama
> kepada stok Cina. Juga stok Arab. Mereka bukan orang luar, melainkan
> kita-kita juga. Mudah dikatakan tapi sulit dilakukan. Itulah reaksi pertama
> pada ajakan "menyatukan dengan orang Cina". Akan banyak alasan dikemukakan
> dan argumentasi diaju kan. Karena, memang, dalam diri kita telah ada
> keengganan mendasar untuk menerima kehadiran orang Cina sebagai "orang
> sendiri". Kita sudah terbiasa mau menerima uang mereka tanpa merasakan
> kehadiran mereka.
>
> Boleh saja keengganan bahkan ketakutan sepert! i itu kita beri sofistikasi
> sangat canggih. Tetapi, ia tetap saja merupakan keengganan dan ketakutan.
> Sesuatu yang irasional.
>
> Justru itulah yang harus kita perangi, kita jauhi sejauh mungkin.Mengapakah
> hal itu menjadi keharusan? Karena hanya dengan perlakuan wajar,jujur dan
> fair dari kita sebagai bangsa kepada orang Cina sajalah yang dapat mendorong
> timbulnya rasa berkewajiban berbagi kekayaan dan nasib antara mereka dan
> pengusaha kecil kita.
>
> Ini kalau kita benar-benar jujur, lain halnya kalau tidak...
>
> Penulis adalah Ketua Dewan Syura PKB
>
>   
>

Kirim email ke