Yth Pak Sumamihardja y.b.,
Terima kasih untuk infonya yang padat dan singkat, perjuangan bertahun –tahun diceritakan dalam satu pesan email saja. Agaknya Anda seorang arsitek pemerhati bangunan bersejarah juga . Sekiranya Bapak kurang setuju untuk mencoba memasukan 2 objek tsb, apa usul konkrit Pak Sumamihardja ? Bangunan mana yang rasanya menurut Bapak memenuhi criteria untuk diajukan ?? mengingat waktu persiapan yang sangat SINGKATtttt harus masuk 31 Maret 2010. Sebaiknya yang data pendukungnya sudah ada saja. Tidak ada biaya dan waktu untuk survey lagi …. J) Ditunggu Pak ideanya yang cocok… Terima kasih untuk perhatiannya. Salam erat, Sugiri. From: budaya_tionghua@yahoogroups.com [mailto:budaya_tiong...@yahoogroups.com] On Behalf Of sumamihardja Sent: Saturday, February 06, 2010 3:08 AM To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Subject: [budaya_tionghua] Re: W: 2010 UNESCO Asia-Pacific Heritage . SOWN BENG KONG, KLENTENG TALANG ??? Pak Tjiong (Wastu Pragantha Zhong) tidak terlibat dalam pekerjaan pelestarian kelenteng Talang. Dia sendiri memang asal Cirebon dan punya kepedulian tinggi mengenai kelenteng Talang. Dalam hal ini, yang dilakukannya lebih kepada mendorong murid-murid arsitektur Untar untuk mendatangi dan mempresentasikan studi lapangan itu. Meski demikian, jasa pak Tjiong yang cukup besar adalah membuka kontak dengan pengurus lama kelenteng Talang (OKH; namanya saya simpan dulu) dan mengajak yang bersangkutan untuk memperkenankan kelenteng Talang digunakan bagi kebaktian MAKIN Cirebon di tahun 1990-an. Mengenai yang anda tanyakan mengenai kelenteng Talang, ini beberapa data lapangannya (saya belum detailkan terlalu dalam karena saya sedang diburu waktu karena sedang ada pekerjaan penulisan desain riset lapangan, sehingga tidak bisa menulis panjang dulu): 1. Kelenteng Talang semula adalah rumah dari seorang Tionghoa yang menjadi Tumenggung dari Kesultanan Cirebon (Tan Sam Tjaij ...-1739; Tumenggung Aria Wiratjoela; tanggal lahirnya tidak ketemu karena sincinya hilang). Lokasinya tentu di dekat Keraton (dekat dengan kelenteng Tiao Kak Sie yang didedikasikan kepada Ngma Kuan Im, dekat pelabuhan), yang sekarang dikenal sebagai jalan Talang. Salah satu keturunannya adalah Tan Tjin Kie yang dikuburkan secara mewah-mewahan. 2. TST ini semula masuk Islam (sesuai syarat Tumenggung saat itu; kemudian mengambil nama Muhammad Syafi'i), namun kemudian ia di masa tuanya kembali ke keyakinan Tionghoanya, meskipun tidak melepaskan jabatannya sebagai Tumenggung karena diperlukan Sultan. 3. Rumahnya kemudian dijadikan semacam kelenteng leluhur, di mana kemudian dipasangnya sinci-sinci dari keluarga besarnya. Pada titik itu, fungsi rumah diubah total, meskipun kabarnya TST kemudian menghuni rumah sayap dari kelenteng tersebut. 4. Semula arsitektur kelentengnya adalah bangunan utama dengan dua sayap. Begitulah seterusnya hingga jaman abad ke-20 di mana oleh keturunannya diserahkan pengurusannya kepada Kong Djoe Kwan. Gara-gara orba, KJK ini "ditutup" dan sebagai gantinya, "kepemilikan" seakan diserahkan kepada Yayasan Buddha Metta sehingga menimbulkan sejumlah konflik kepengurusan. 5. Sekitar tahun 1970-1990, kelenteng ini ditelantarkan (dicuekin), suatu hal yang menunjukkan ketakutan luar biasa kalangan Tionghoa di Cirebon (salah satunya adalah pemasangan motif Bali pada gapura besar di depan Tiao Kak Sie untuk "menutup" Ketionghoaan kelenteng itu). Terjadi juga sejumlah keributan mengenai pemakaman Tionghoa (Ku Tiong dan Sin Tiong yang pernah saya ceritakan dalam thread yang lain), yang berakibat telantarnya tanah pemakaman tersebut dan penyerobotan besar-besaran dengan modus penggal, tidak usah gali, langsung jadi bangunan; sim salabim, taaadddaaaaa. Kondisi-kondisi ini menyebabkan pemikiran sejumlah orang yang saya belum sebutkan nama-namanya untuk menjual sayap kiri kelenteng itu (kiri-kanannya sesuai dengan budaya Tionghoa, dilihat dari tuan rumah) dan kemudian dijadikan rumah duka tiga tingkat. 6. Mendahului pembongkaran sayap kiri tersebut, mungkin untuk kamuflase, sengaja dibikin pagar terusan yang mengesankan seolah-olah sayap kiri dan sayap kanannya memang terpisah dari bangunan utama. Bagaimanapun, sayap itu dihancurkan total sekitar tahun 1995 dan selesai dibangun rumah duka modern sekitar tahun 1997. 7. Saya sendiri terlibat semenjak tahun 2002, dimulai dengan kasus tanah makam, yaitu di saat konflik antar Tionghoa Cirebon juga memanas, khususnya karena keterlibatan konglomerat yang hendak membangun ruko. Maklum, karena saya dianggap bukan orang Cirebon, suara saya tidak dianggap, padahal saya sengaja membagi-bagikan tulisan saya mengenai hak atas perlindungan budaya dalam sebuah seminar besar yang diadakan tahun itu. Untungnya, karena tulisan itu, saya diterima baik oleh OKH tadi dengan perantaraan pak Tjiong. 8. Saya sempat mengurusi soal kelenteng Talang ke depbudpar, dinas purbakala, dan dapat lampu hijau bahwa kelenteng Talang termasuk ke dalam ordonansi cagar budaya. Masalahnya ternyata tidak berhenti di situ. Konflik pun terjadi antara MATAKIN dengan MAKIN Cirebon, dimana saya tidak bisa berbuat banyak karena bukan lingkup perhatian saya. Ternyata diketahui bahwa ada sejumlah dana liar dalam proses pembongkaran tanah makam dan sayap kiri kelenteng lewat yayasan yang didirikan OKH. 9. Posisi saya pribadi adalah saya selalu mencoba memahami sikap seseorang. OKH saya paham kesal melihat bahwa "jasanya" menjaga kelenteng Talang selama puluhan tahun seakan tidak dihargai oleh MATAKIN. Di sisi lain, saya pun menyadari bahwa OKH tidak ingin ada orang lain yang bisa menjadi regenerasi kepengurusan, padahal hal itu menyebabkan tidak ada ide segar dan bahkan orang-orang pun akhirnya segan datang ke kelenteng Talang karena tidak kerasan dengan sikap OKH yang meskipun sudah sepuh, watak premannya sering keluar. 10. Melihat konflik itu, saya mencoba mengajak OKH untuk berdamai dalam artian dia didudukkan dalam tugas kehormatan, sementara keseharian diurus oleh tenaga baru, namun dia tidak setuju. Anaknya kelihatannya juga menjadi bernafsu dan mulai bertindak preman di lingkuungan kelenteng. Sampai di sini saya potong lika-likunya, langsung ke peristiwa setahun kemudian. OKH ternyata bertindak sendiri, merobohkan sayap kanan dari kelenteng Talang (yang saya bilang sudah dibatasi pagar buatan belakangan itu). Saya segera berkoordinasi dengan dinas budpar Cirebon, namun ada kendala dana operasional mereka dan tidak adanya dukungan dari walikota sebagai pemilik kewenangan. 11. Melihat situasi tidak menentu, seorang dari Bandung (CKG, saya simpan dulu namanya) tergerak untuk menjadi pengurus di sana. Saya berkoordinasi dengan orang-orang Cirebon, termasuk OKH (namun dia sudah tidak mamu dihubungi) untuk mendapatkan surat-surat dan berbagai dokumen. Saya dibantu oleh sejumlah pengurus YBM dan eks KJK. Dari analisis tersebut, saya menegaskan bahwa kelenteng Talang harus diselamatkan, karena data penunjangnya cukup jelas. Sayangnya, pengurus MATAKIN menolak untuk bertemu dengan pemilik rumah duka (saya tidak paham alasannya). Padahal, strategi saya adalah bahwa sayap kiri dan kanan harus diselamatkan secara bersamaan. Kalau tidak, seperti beli kepiting dengan satu capit saja dan nunggu capit satunya dipegangi orang lain. 12. Di tahun 2005, kepengurusan CKG resmi dilantik. Saya masih sekitar empat kali lagi datang ke Cirebon dan selalu mendapat jaminan bahwa sayap kanan akan diperbaiki. Terus terang, saya sendiri agak pesimis dengan teknik perbaikannya, apalagi dari pembicaraan saya dengan pak Tjiong, ternyata dia lebih memilih untuk membangun dengan bahan yang ada (baru) ketimbang merestorasinya. Di sini saya berbeda pendapat dengan keras, belum lagi karena sebelumnya saya sudah kesal dengan pak Tjiong yang saya ketahui sebagai ketua tim Untar untuk pembongkaran gedung Chandra Naya dengan dalih fungsionalisasi komposit. Masalahnya, saya saat itu tidak punya dana yang cukup untuk pulang balik ke Cirebon, sehingga saya tidak bisa mengawasi pembangunannya lebih jauh. Yang pasti, sayap kanan itu kabarnya sudah dipugar dan diresmikan bulan November 2009 yang lalu (jadi baru tiga bulan). Saya sebenarnya diundang oleh CKG untuk datang, namun karena pak Tjiong lupa (atau entah kenapa tidak jadi, padahal sudah janji) membelikan tiket kereta untuk saya, saya pun urung berangkat padahal sudah siap nunggu di Gambir. 13. Secara teknis: bangunan sayap kanan itu mempergunakan bata lama yang tebal (temboknya saya ukur adalah tembok 30 cm) dengan lapisan semen kapur yang cukup tebal dan keras dan berornamen. Kayunya masih kayu balok besar, meskipun sebagian sudah diganti dengan kaso-kaso ringan karena kelapukan. Ada sejumlah kamar berukuran besar, satu digunakan sebagai dapur. Kelihatannya ada bekas sumur (kelenteng hadap utara) karena sesuai hong sui itu lokasi yang ideal, namun nampaknya sudah ditutup lama. Sebagai akibat penelantaran yang lama, ada bangunan WC di depan bangunan induk (menghadap ke dalam, ada di tembok luar), sehingga tentunya bisa diperkirakan dibuat belakangan untuk mengantisipasi pembuatan pagar yang belakangan itu. 14. Alhasil, dari sisi konservasi, saya meragukan telah dilakukan konservasi yang sesuai (karena saya juga tidak mendengar adanya rekan-rekan saya yang menceritakan soal itu), meskipun CKG berulang kali menegaskan kepada saya bahwa urusan itu percayakan saja kepadanya. Keraguan saya semakin kuat karena pembicaraan-pembicaraan saya dengan pak Tjiong setelah peresmian itu pun, seperti biasanya, selalu diwarnai ngeles dan hanya bilang "yang penting sudah dibangun". Kasihan saja pak Tjiong sudah tua (sekarang sudah 75) dan pembuluhnya sudah dibalon beberapa tahun yang lalu, kalau tidak mungkin sudah saya kejar dengan desakan untuk tidak lepas tangan. 15. bagaimanapun, saya juga tetap tidak puas karena belum ada kejelasan sikap mengenai sayap kiri yang sampai kini masih terus dijadikan rumah duka. 16. Secara keseluruhan, saya tidak berani merekomendasikan kelenteng talang bagi UNESCO Award, karena belum jelasnya status renovasi sayap kanan dan rencana renovasi sayap kiri (yang masih harus melalui upaya hukum dan pembongkaran lebih dahulu). Akan lebih baik kalau diadakan pembicaraan tripartit lebih dahulu dengan pihak pengurus MAKIN Cirebon di satu sisi, Dinas Buudpar (mewakili pemerintahan pada umumnya, syukur-syukur walikota yang baru, dan jangan yang lama karena kalau yang waktu saya tangani itu, orangnya kurang peduli cagar budaya dan mementingkan bisnis) dan budayawan (termasuk ahli bangunan kuno Tionghoa). Saya masih dipandang di sana (maklum, masih dianggap orang yang berhasil menyelesaikan status kepengurusan kelenteng Talang, meskipun tujuan besarnya belum berhasil, hehehehe), sehingga saya masih bisa menjadi jembatan dan bahkan pemberi masukan. Kalau kesepakatan sudah tercipta, bisa juga UNESCO diminta untuk memberi bantuan dana, atau bisa juga donatur lain, karena sebagaimana saya sudah ingatkan, dana renovasi Gedung Arsip Nasional (yang dapat penghargaan UNESCO saja) bisa makan 25 milyar. Jadi untuk ukuran Talang, setidaknya 15 milyar harus disiapkan (termasuk riset khusus mengenai bahan asal kedua sayap tadi). Begitu dulu info mengenai kelenteng Talang. Kalau mengenai makam SBK, pak Tjiong lumayan terlibat, namun motornya kelihatannya pak Kamil Setiadi dan Teddy Jusuf (meskipun kabarnya yang banyak bergerak kemudian adalah yayasan keturunan Souw Beng Kong/marga Souw). Meskipun sudah dibersihkan dari rumah penduduk dengan biaya yang tidak sedikit, saya juga tidak berani merekomendasikannya untuk UNESCO Award karena beberapa pertimbangan: 1. kuburannya sudah direnovasi beberapa kali, terakhir oleh Khouw Kim An sekitar tahun 1929. Menilik bangunan aslinya, kelihatan ada beberapa perubahan besar, belum lagi karena sebelumnya ada sekitar lima buah rumah semi permanen yang didirikan persis di bagian atas makam tersebut. 2. Ketika saya berkunjung ke sana pada saat peresmian upaya pemugaran (dua rumah sudah dibongkar), terlihat bahwa tanah dasarnya sudah tertutup jalan, sehingga kuburannya "melesak". Setelah itu, sekitar dua tahun lalu saya ke sana, tutupan atas lokasi jenasah juga dibuka secara gunungan agak melandai dan kemudian ditanami rumput. Setahu saya, gunungan asalnya tinggi dan kemungkinan besar disemen, mirip dengan model kubah tanah. 3. Atas dasar itu, perlu riset yang lebih detail mengenai makna konservasi makam SBK tersebut dilihat dari ketaatasasannya, bukan sekedar kosmetik. Btw, patokan mengenai cultural heritage yang dimintakan UNESCO kan juga cukup jelas dan detail. Dari pembacaan tersebut, saya sih bilang bahwa SBK dan kelenteng Talang belum memenuhi syarat. Masih perlu sejumlah langkah penyesuaian agar memenuhi kriteria minimal UNESCO. Dari perjalanan saya keliling-keliling, saya pribadi lebih merekomendasikan kelenteng Maco Lasem dan Maco Rembang serta Tek hai Kiong Tegal, ketimbang sejumlah kelenteng lainnya di pulau Jawa karena sejumlah pertimbangan "garis histroris". Dari sisi konservasi, mereka masih cocok dengan kriteria UNESCO. Ada beberapa kelenteng lain yang bisa dipertimbangkan, tapi menghadapi kondisi sosial yang rumit misalnya Boen Bio yang kepotong jalan, kelenteng pasar Ketandan Solo yang lukisan dindingnya kemakan air rembesan, Kong Tek Su Semarang, kelenteng Tan dan kelenteng Lim di Sebandaran Semarang, dsb. Masih ada beberapa kota yang belum saya kunjungi, kalau ada info lainnya, saya akan kabari. Yaa, begitu dulu. kerjaan lain sedang menunggu saya. Suka belajar itu mendekatkan kita kepada kebijaksanaan; dengan sekuat tenaga melaksanakan tugas mendekatkan kita kepada cinta kasih dan tahu malu mendekatkan kita kepada berani. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com <mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com> , "ibcindon" <ibcin...@...> wrote: > > Yth : Pak Freddy, Pak Sumamihardja, rekan milis lainnya, > > > > Terima kasih untuk keterangannya. > > > > Saya sedang mencoba menghubungi Pak Ir Tjiong dari UNTAR , fakultas > arsitektur. > > > > Mengajak beliau untuk mencoba memasukan, nominasikan pekerjaan pelestarian > yang pernah Pak Tjiong terlibat ke program UNESCO BANGKOK ini.. > > > > Setahu saya dia terlibat dalam pemugaran makam SOW BENG KONG kapiten Chineese > Batavia pertama, yang telah dihuni menjadi rumah-rumah liar penduduk ( > kayanya ada boss yang yang bukan akademisi atau pun budayawan, sumbang dana > juga tuh untuk pemugaran ini !!!! ). Canggih mungkin cara pendekatan dan > pemaparannya hingga didukung. > > > > Pak Tjiong juga terlibat dalam mempertahankan , memperjuangkan, merenovasi > klenteng TALANG CIREBON yang akan dikapling dan diperjual belikan oleh oknum > yang mengaku pengurus !!!!!! Sudah mulai diacak-acak saat itu…….( masih > ketinggalan sebelah lagi yang sudah dipakai ruang duka/ kematian ) > > > > Semoga saja Pak Tjiong mau berperan serta. > > > > Kalau ada rekan milis yang kebetulan kenal dekat pada beliau ( Pak Tjiong ) > mohon bantuannya untuk membicarakan, mendorong agar Pak Tjiong bersemangat > berpartisipasi. > > > > Kalau saja sampai dapat pengakuan UNESCO, masukan dalam mass media nasional, > situs ini akan lebih terjaga kelestariannya di masa depan . Siapa > tahu…………………………….. J) > > > > Salam pelestarian budaya, > > > > Sugiri. > > > > > > > > From: budaya_tionghua@yahoogroups.com > <mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com> > [mailto:budaya_tionghua@yahoogroups.com > <mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com> ] On Behalf Of Freddy H. Istanto > Sent: Thursday, February 04, 2010 6:50 AM > To: budaya_tionghua@yahoogroups.com > <mailto:budaya_tionghua%40yahoogroups.com> > Subject: Re: [budaya_tionghua] FW: 2010 UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards > for Culture Heritage Conservation. SILAHKAN BERPERAN SERTA . SOWN BENG KONG, > KLENTG TALANG ??? > > > > > > > P.Sugiri yth., > > HoS (House of Sampoerna) adalah museum yang dbangun oleh Keluarga > Sampoerna. isinya berupa artefak, catatan2, buku, produk rokok, alat > cetak, tembakau, korek api, dll serta perjalanan sejarah keluarga ini di > bisnis rokoknya. merupakan bagian dari Pabrik lamanya. kemudian ada cafe > di sbelahnya dan rumah pribadi dalam bentuk asli, di sisi yang lain. > ada juga galery seni dan tempat diskusi seni (terbanyak topik ini) > > dibuka pada tahun 2003, beberapa bulan sebelum Kya-kya Kembang jepun > diresmikan. Saat itu kami ber-partner menghidupkan Wilayah utara surabaya > yang penuh dengan heritage. > > tata cara u ajukan Unesco award, bisa diunduh (download) di > http://www.unescobkk.org/culture/our-projects/empowerment-of-the-culture-profession/asia-pacific-heritage-awards-for-culture-heritage-conservation/2010-heritage-awards/ > disitu komplit, plit.......... :D > > tahun 2007, saya diundang pemerintah Hongkong lewat AMO (Antiquities and > Monuments Org) u mempresentasikan Paper saya ttg ShopHouses di Surabaya. > saat itu saya bertemu dg salah satu juri unesco award, tentang kegagalan > HoS untuk mendapatkan Award tersebut. > > Banyak tabik, > Fred > > Saya bergabung di Surabaya Heritage, > Anggota juga dar BPPI (Badan Pelestarian Pusaka Ind). > > > Yth Pak Freddy, > > Barangkali bisa cerita sedikit tentang objeknya ?? > > di Bandung ada organisasi Bandung Heritage Society dan ICOMOS > > (International Council on Monuments and Sites , Conseil International des > > Monuments et des Sites) Indonesia. Organisasi dibawah naungan UNESCO > , Barangkali saja bisa dibantu penyusunan bahan-bahan nya. > > Siapa yang tahu bangunan HERITAGE TIONG HOA yang telah berhasil dipugar > > di tempat lain ?? Bolehkan berbagi cerita disini ?? klenteng tua > > mungkin , kong kwan > > building mungkin, adakah hwei kwan building di Indonesia . bekas rumah > > letnan, kapten Tionghoa setempat ??? > > Makam SOW BENG KONG mungkin ?? yang berhasil setelah perjuangan panjang. > > Ini sebenarnya prestasi hebat, ada yang minat kita coba menyusun > > penjelasan untuk diajukan ?? > > Bpk Ir Tjiong dari UNTAR fakultas Arsitektur agaknya sangat berjasa > > dalam hal ini. Adakah rekan di Jakarta yang kenal beliau dan bersedia > > berbicara untuk mengumpulkan data dan cerita prosesnya.?? Mari kita > coba bersama….. > > > > > > > > Jadi teringat klenteng Kong Hu Cu TALANG Cirebon , juga Ir Tjiong ini > > agaknya cukup terlibat sangat intense ………….. bisa > > sekalian > > sekali mendayung 2 obyek tercapai…….. > > > > > > > > Buktinya perorangan pun dapat sukses berjuang tanpa rame-rame > > …………………………………….. > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > Salam, > > > > > > > > Sugiri. > > > > >