Kalau saya ikuti, Sumamihardja tidak memaksa orang harus ikut 'pergerakan' dan harus punya track-record. Dia melainkan hanya menceritakan tentang track-record 'pergerakan'-nya sendiri (walaudengan rada 'lebay') sebagai sikap korektif terhadap kalimat Tjandra Ghozali yang menuding: "... kagak ngapa2in selain meratap!? ...".
Dan Tjandra Ghozali sendiri, yang patut dihargai juga untuk ajakannya agar kita-kita ikut dalam 'pergerakan' menyumbang TBT, toh juga sudah mengerti koreksi Sumamihardja tsb. Jadi menurut saya sih tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. Diskusi boleh, mengajak 'bergerak' boleh, menagih track-record untuk 'membungkam' jangan... Wasalam. ========================== ----- Original Message ----- From: zho...@yahoo.com To: budaya_tionghua@yahoogroups.com Sent: Sunday, February 07, 2010 12:43 AM Subject: Re: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Ah Bung Suma! Ada dua hal yg perlu anda perhatikan: 1. Dari pengantar sudah terbaca jelas missi milis ini adalah membuka ajang diskusi utk sarana pembelajaran, itu sudah pasti! "untuk menyempurnakan kehidupan kita...." Semua tujuan pembelajaran sdh pasti utk menyempurnakan kehidupan, tak ada yg membantah! " dapat lebih mengenal dan mendalaminya demi terciptanya reformasi dan integrasi wajar dari kebudayaan Tionghoa ....." Ini juga ucapan yg wajar2 saja, karena dng lebih mengenal pasti tdk merasa asing, sehingga dng sendirinya ada integrasi wajar. Dari uraian pengantar diatas jelas sudah, penyempurnaan kehidupan dan integrasi wajar adalah akibat yg diinginkan(pahami kata "semoga"), yg hendak dicapai oleh Milis lewat "memperkenalkan kembali budaya Tionghua dan sejarah Tiongkok serta mendiskusikan segala macam permasalahan- nya", bukan lewat cara2 yg lain! Apa disitu ada terkandung kata2 aksi atau yg mirip dngnya? 2. Memang dalam mencapai missi ini bisa macam2 caranya, itu saya sepakat. Dan selama caranya halal, itu akan saya dukung, itu sudah saya tulis dng kata" syukuri!" Tdk ada secuil katapun dari saya yg menentang class action semacam ini! Namun, semua cara punya tempatnya masing2, jangan memakai tolak ukur class action untuk semua medan! Masing2 medan punya batasan2 sendiri. di sungai telaga ada bun(wen) dan bu(wu), tak lucu menilai kiprah seorang bunsu(kaum cendekia) dari aksinya di medan perang, demikian juga tak pantas menguji kapasitas seorang panglima dari kepintarannya bersyair. Yg saya tentang adalah: setiap diskusi mulai panas, pasti ada yg mempertanyakan apa tindakan nyata kita? Apa track record kita? Jika semua hal dinilai dr tindakan nyata, bila semua diskusi diukur dari track record seorang, saya yakin, akan bubrah medan diskusi kita! Contohnya: ada yg membuka topik diskusi cara promosi musik klasik Tiongkok, jika ditanyai tindakan nyata dan track recordnya. Mungkin yg pantas ngomong di millis ini hanyalah sdr Andre Harmoni, krn dia yg aktif dibidang itu, yg lain lebih baik bungkam saja. Demikian juga, banyak yg tertarik masalah pelestarian bangunan sejarah, jika ditanyai kedua hal diatas, mungkin hanya bung summa yg pantas berkicau sendiri, yg lain hanya boleh menjadi pendengar yg baik. Apakah hal ini yg kita inginkan? Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT ------------------------------------------------------------------------------ From: "sumamihardja" <sumamihar...@yahoo.com> Date: Sat, 06 Feb 2010 16:06:44 -0000 To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com> Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA Komentar saya yang dianggap tidak pantas yang mana? Apa jangan-jangan anda sendiri yang membuat inti pernyataan anda menjadi bias. Coba kita baca lagi deh: "> > > > Ada sesuatu yg salah di millis ini: > > > > Millis ini dibentuk adalah untuk ajang Diskusi masalah2 yg berkaitan dng budaya dan sejarah Tionghoa, bukan ajang menggalang aksi pergerakan/class action!" Anda sendiri bilang bahwa ada sesuatu yang salah ketika ada yang menggalang aksi pergerakan/class action. Tapi coba anda baca sendiri apa pengantar yang dibuat untuk milis BT ini: "Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat, demikian Andreas Eppink berkomentar. Sejarah bisa lain menurut sudut pandang yang berbeda-beda pula, namun kita yakin keluhuran sejarah hanya satu dan adalah tugas kita untuk belajar dari sejarah untuk menyempurnakan kehidupan kita supaya kesalahan yang lalu-lalu tidak terulang kembali. Milis ini dibuat untuk memperkenalkan kembali budaya Tionghua dan sejarah Tiongkok serta mendiskusikan segala macam permasalahan-nya. Semoga dengan diadakannya milis ini, siapa saja dari bangsa dan etnis manapun yang tertarik akan kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok dapat lebih mengenal dan mendalaminya demi terciptanya reformasi dan integrasi wajar dari kebudayaan Tionghoa sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia. ...." Kalau begitu, apa maksud "menyempurnakan kehidupan kita....memperkenalkan kembali budaya Tionghoa....dapat lebih mengenal dan mendalaminya demi terciptanya reformasi dan integrasi wajar dari kebudayaan Tionghgoa sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia"? Bukankah terkandung makna pergerakan di dalamnya dan bukan hanya sekedar berdiskusi? Apa pemahaman anda tentang pergerakan itu hanya sekedar demonstrasi mengganti rezim? Dalam definisi budayawan, aksi pegerakan adalah justru untuk mengawal tindakan budaya di lapangan, dan bentuknya bisa berbeda-beda. Jadi apa yang salah kalau ada yang mencoba menggalang aksi pergerakan/class action selama tujuannya masih berada dalam koridor-koridor milis BT? Ambil contoh, kalau dengan baca BT dia berpengetahuan bahwa "Jangan pake pakaian merah/menyala ketika mengunjungi kalangan Tionghoa yang sedang berkabung", apa itu cukup sekedar hanya dalam diskusi dan wawasan pengetahuan dan tidak untuk diterapkan dalam praktek? Hanya sekdar syukur-sykur dia pake, syukur-syukur dia terapkan. Kalau saya sih, kalau anda tahu bahwa kalangan Tionghoa tidak menyenangi orang datang berkabung pake baju menyala, yaaa, jangan dilakukan (artinya kita mempraktekkan budaya itu, bukan lagi sekedar pengetahuan), apalagi kalau justru ngasihnya Angpao!!! Seperti saya sudah tulis, kalau misalnya anda mau chengbengan, di jalan dan di sekitar makam sudah dicegat ama tukang minta-minta yang maksa minta retribusi, dsb, dan tidak diterapkan untuk TPU lain (jelas ini diskriminasi), bolehkah ada seseorang yang menginisiasi untuk mengirim surat dengan membawakan nama anggota-anggota BT yang kabarnya "menggemari budaya dan sejarah" agar diskriminasi itu diperhatikan oleh negara? Apa itu melanggar tujuan dari milis ini? Jadi, sekali lagi, komentar saya yang salah itu apa??? Saya kan menanggapi tulisan anda sendiri. Lalu "> > > > Jika dari hasil diskusi bisa melahirkan gerakan2 konkrit untuk memperjuangkan pengembangan budaya Tionghoa, syukurlah. Tapi saya kira itu bukan tujuan utama dari millis ini. Maka jangan setiap berdiskusi harus digiring ke pertanyaan "anda bisa berbuat apa?" "Anda sudah berbuat apa?" Atau pernyataan " kalau memang begini, lantas anda mau apa?" "jangan hanya bisa ngomong doang, kalau berani bertindak!" " Apakah setiap diskusi digiring ke pertanyaan itu? Kan tidak!!! Lihat konteksnya dong, ada yang cukup didiskusikan, tapi ada juga yang perlu diterapkan (contohnya banyak lah). Kalau memang harus bergerak sesuatu, tapi pihak yang malas bergerak cuma bilang "enggak usah, kita kan cuma berdiskusi" padahal dia kalau diskusi selalu menggebu-gebu mengkritisi, apa itu namanya bukan menyia-nyiakan ucapan? Milis ini kan isinya bukan cuma para pendiskusi omong-omong doang, baik itu menambah pengetahuan dan wawasan ataukah tidak. Jadi jangan digeneralisasi seperti tulisan anda sendiri. Kemudian "> > > > Saya kira semua yg berdiskusi di sini punya pekerjaan, urusan dan intresan masing2 yg berlainan. Tidak semua orang terjun sbg aktivis di lapangan! Apa dng demikian mereka2 ini hrs bungkam, berhenti berbicara karena tak punya track record? Saya kira itu salah besar! Tujuan millis ini adalah untuk beradu pendapat, bukan untuk beradu track record! Di millis ini, bisa saja seorang yg hebat dalam aksi2 sosial disanggah oleh seorang yg bukan siapa2, selama pendapatnya masuk akal, kita pantas dukung dia!" Lha, yang menyuruh orang bungkam itu siapa? Anda hanya menyimpulkan sendiri, tapi lagi-lagi anda menggeneralisasi. Tidak ada larangan bicara, tapi seperti dibilang juga oleh pepatah, isi pembicaraan itu harus jelas, muatannya harus didukung fakta, dan arah pembicaraannya harus sistematis. Kalau misalnya kita memperdebatkan kebenaran klaim agama-agama, tentu akan ada yang menyemprit. Siapa yang akan didengarkan pendapatnya dalam masalah perdebatan yang berlarut-larut? Tentunya yang sudah teruji pendapatnya dapat dipercaya dan punya wawasan yang luas. Kalau ngikutin pendapat anda sih, seakan memang logika itu setara. Padahal dalam konteks sosiologis, selalu ada yang namanya dominan dan greener. Apa saya menolak pendapat dari greener atau orang yang baru saya kenal? Kan tidak! Tapi pendapatnya itu harus berada dalam kerangka sosial yang baik, tidak bias dan tidak melanggar kaidah (misalnya rasisme, darwinisme, chauvinisme). Jelas kesimpulan anda juga harus diuji kembali, karena tidak ada larangan berpendapat koq. Jangan bikin kesimpulan yang mengada-ada. Terus, "> > > > Hasil dari berdiskusi disini tidak harus menghasilkan tindakan nyata. Tujuan utama adalah membuka wawasan dan menambah pengetahuan, Jika setelah itu ada yg tergerak berbuat sesuatu ya terserah individu masing2. > > > > Sent from my BlackBerry® > > powered by Sinyal Kuat INDOSAT" Lha, yang saya komentari juga pantas koq! Bagi saya, hasil dari diskusi itu tetap bisa dibagi dua, yang memerlukan tindakan, dan yang cukup untuk sekedar tahu (atau setidaknya terbuka peluang tindakan yang berbeda-beda). Kalau memang harus ditindaklanjuti, yaaa, lakukan dong. Lagi-lagi banyak contoh diskusi yang harus ditindaklanjuti kalau tidak mau kehilangan makna budaya (misalnya lagi-lagi soal etika dalam berkabung, boleh tidak pake barongsai hitam di jalanan, pantas tidak barongsai dimainkan dalam perkabungan, boleh tidak memberi pengantin hadiah sapu tangan, boleh tidak memberi orang tua anda hadiah jam dinding, baik atau tidak mengucapkan gong xi fa cai, bagaimana sikap atas larangan pawai liong capgomeh, bagaimana sikap atas perusakan kelenteng, dst yang sangat banyak). Masak hal-hal seperti itu tidak bisa ditindaklanjuti dan bahwa milis ini hanya sekedar ajang diskusi berbusa-busa demi pengetahuan dan wawasan. Bahwa milis adalah untuk diskusi, itu sih jelas, tapi yang penting kan pertanyaan, apakah dengan demikian yang lain-lain itu melenceng dari tujuan milis??? Baca kembali deh halaman muka dari milis BT ini. Lagipula, budaya Tionghjoa kan bukan budaya yang mengawang-awang! Budaya Tionghoa adalah budaya yang nyata, ada, rasional dan logis. Kalau kita mulai dengan aksi gerakan untuk mempopulerkan kembali soja, apakah itu melanggar tujuan milis??? Masih sangat banyak contoh, yang saya sebut hanya sekedar untuk menunjukkan bahwa komentar saya pantas-pantas saja. Bingung saya membaca komentar anda. Bagi seorang budiman, nama/istilah/fakta itu harus sesuai dengan yang diucapkan dan kata-kata itu harus sesuai dengan perbuatannya. Itulah sebabnya seorang budiman tidak gampang mengucapkan kata-kata. Suma Mihardja --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, zho...@... wrote: > > Pak Suma, baca ulang baik2 pernyataan saya, baru anda beri komentar yg pantas! > Jika anda tdk bisa menangkap inti dari tulisan saya, ya repot diskusinya! > > Sent from my BlackBerry® > powered by Sinyal Kuat INDOSAT > > -----Original Message----- > From: "sumamihardja" <sumamihar...@...> > Date: Fri, 05 Feb 2010 20:07:57 > To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com> > Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA > > Apa salahnya? Kalau bung CG mengajak untuk bergerak, itu hak dia. Hanya saja kalau argumennya keliru atau berkonotasi rasis yang keliru, yaaa, dibetulkan saja. > > Dalam kebudayaan, ada komponen-komponen inert seperti sistem kepercayaan, sistem pendidikan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, adat-istiadat dan sistem hukum (untuk mempermudah klasifikasi saja). Semua komponen itu hanya bisa berkaitan kalau disatukan dengan apa yang dinamakan masyarakat. Budaya tanpa masyarakat bagaikan ilmu di ruang hampa. Orang cuma omong-omong doang, tanpa ada yang dikerjakan. Kalau sudah begitu, budaya menjadi kehilangan makna, cuma sekedar foto imajiner, buku novel atau film fiksi. > > Sehubungan dengan itu, saya sih bilang bahwa budaya tanpa gerak adalah budaya dalam ruang tanpa gravitasi. Dalam hal ini, kalau muncul gerakan budaya, saya sih bukan sekedar mensyukuri, tapi malah mengharapkan. Percuma memberi pengetahuan ketika itu hanya sekedar menjadi pengetahuan. Kalau dalam dunia seni, l'art pour l'art. Le cuture pour le cuture. Jelas ini tidak mungkin. Budaya itu ada karena ada manusia pendukungnya, ada masyarakat yang dikenali sebagai pengusung budaya tersebut. Dalam hal ini, meskipun tidak terang-terangan ditulis, milis BT adalah juga milis untuk mempromosikan sikap budaya yang benar. Kalau tidak (dalam arti hanya sekedar pengetahuan), lebih baik buka web saja, tidak perlu ada diskusi kebudayaan (padahal diskusi kebudayaan adalah tawaran sikap atas kebudayaan). Dalam kenyataannya toh banyak Pendeta Kristen Bule di Amerika yang menulis buku soal Budaya Tionghoa. Mereka juga punya pengetahuan soal BT koq, kenapa tidak dengar dari mereka saja. Tentu ada bedanya. Mereka cuma berpengetahuan, tapi kemungkinan sangat besar sekali tidak mempraktekkan dan karenanya juga tidak berinteraksi dengan masalah kebudayaan Tionghoa. Seperti orang Jepang membicarakan apa itu sukiyaki namun hanya tahu rasanya dari cerita orang, lihat rupanya dari foto atau melihat cara masaknya dari film. Apakah hanya sekedar itu fungsi milis? Bagaimana dengan kebudayaan Inca Kuno? Yaa, itulah yang namanya kalau cuma sekedar pengetahuan, salah-salah sama seperti kita membicarakan apakah yang namanya kebudayaan Atlantis yang dibicarakan Plato itu? Ada dalam pengetahuan, tapi tidak terasa ada. Makanya ketika membicarakan bubur La Ba, toh harus dilakukan juga gathering untuk mencicipi apa yang namanya bubur La Ba. Itu juga kan sudah termasuk tindakan nyata. Kalau tidak, yang tahu bubur La Ba benar-benar kan cuma yang menjelaskannya (dengan asumsi dia memang tahu dan benar-benar merasakannya). Kalau tidak maka BT ini seperti Sukiyaki khayalan itu. > > Saya sendiri memahami (meskipun saya tidak kenal satu-satu anggota milis ini, apalagi milis ini juga bisa dibaca oleh mereka yang bukan anggota), bahwa pemerhati milis BT bukan cuma Tionghoa. Mereka yang tidak tertarik untuk menjadi Tionghoa, yaa, silakan saja untuk tahu apa itu BT, tidak ada larangan koq, malah direkomendasikan juga oleh saya untuk mengenal dan memahami sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antar pengusung budaya yang berbeda. Namun demikian, mengingat jejak Orba yang sudah sedemikian kuat bercokol mengacaukan relung sanubari kalangan Tionghoa, saya sih sangat berharap bahwa kalangan Tionghoa (yang kebingungan dengan Ketionghoaannya) mau sadar bahwa mereka punya (dulunya) budaya tersendiri yang khas dan bisa menggunakannya kembali tanpa harus malu, takut apalagi ngeri. Adakah yang salah dengan penghidupan kembali budaya Tionghoa ini? Kan tidak! Kalaupun ada yang perlu disesuaikan dengan jaman, BT sendiri sedari dulu juga selalu menyesuaikan diri dengan jaman. Tapi kalau hanya sekedar jadi bahan pengetahuan saja? Saya bilang sih: sayang kalau cuma sekedar jadi pengetahuan di dalam kepala. > > Saya orang yang percaya bahwa teori/pengetahuan hanya berharga ketika disimbosiskan dalam kehidupan, menjadi aksi/kegiatan berbudaya. Tidak heran apabila dalam sejumlah diskusi saya, Sultan HB X pun menekankan bahwa untuk melawan kemunduran sosial, maka GERAKAN BUDAYA itu perlu. Orang Jawa (yang masih mengaku Jawa) tapi tidak mau tahu apa itu budaya Jawa, sebenarnya sudah kelunturan. Keprihatinan itu yang mendorong SHBX untuk mendorong adanya gerakan budaya, minimal sosialisasi, harap-harap (dan bukan sekedar syukur-syukur) membekas dan berfungsi. > > Dalam konteks BT, tentunya seperti saya singgung di atas, BT tidak hidup di dalam ruang hampa, namun terpengaruh oleh kondisi sosial (paling tidak dalam konteks Indonesia). Bayangkan, misalnya satu ketika terjadi kembali kerusuhan model 98 yang menyudutkan kalangan Tionghoa sebagai kambing hitam, apakah milis ini menjadi terlarang untuk menggalang solidaritas dan menuntut negara untuk menghentikan stigmatisasi terhadap Tionghoa? Bagi saya, ini tetap sangat sah dan dimungkinkan. Koridornya adalah kita bicara dalam konteks Budaya Tionghoa yang memang cukup luas aspeknya itu. Malah, misalnya, ketika ada kasus hipotetis terjadi korban perusakan massal yang terbukti hanya ditujukan kepada kelenteng Tionghoa sebagai bentuk ramifikasi kebencian rasial, bolehkah milis ini menggalang class action untuk mendesak negara melakukan pengusutan kasus tersebut? Saya pikir boleh-boleh saja, selama koridor berfungsinya milis ini tetap dijaga (misalnya adanya press release di MBT ini mengenai keberatan atas politisasi yang dilakukan oleh MetroTV berkenaan dengan adanya sejumlah pengusaha besar Tionghoa yang terkena korupsi, kemudian mengenai ACFTA, apakah itu harus dicegah?). Yang penting, ada alasan rasionalnya, yaitu berkaitan dengan permasalahan Budaya Tionghoa. > > Dari pengalaman saya berinteraksi dengan banyak kelompok termarginalisasi lainnya, masalah laten Tionghoa dan mereka juga sama, doktrin terlalu berhati-hati. Bahwa tidak semua orang adalah aktifis, itu alamiah. Tapi tidak ada larangan untuk bicara, asal jangan terlalu melantur. > > Track record juga penting. Sebagaimana diketahui, kemampuan intelektual tiap orang itu tidak sama. Bayangkan bilamana ada seorang yang tiba-tiba muncul, dengan berbagai teori canggihnya yang dibungkus rumus-rumus intelijen yang "tidak dipahami orang biasa" mengisahkan bahwa dia menyaksikan sendiri terjadinya pergerakan perusuh bermotif rasial di daerah Kramat Jati dan minta para miliser bersiap-siap untuk menyelamatkan nyawanya. Kita mau percaya atau tidak? Bagaimana kalu itu benar? Bagaimana kalau itu salah? Dari mana kepercayaan itu muncul? Kan dari track recordnya, orang itu dikenal baik atau tidak, suka membuual atau tidak, suka berbohong atau tidak (seperti kisah anak penggemabal domba yang suka berteriak-teriak serigala). Saya sih tidak menafikan bahwa orang tidak dikenal juga bisa saja bicaranya benar, tepat dan mengena. Tapi, proses sebagai manusia kan bukan robotik. > > Ambil cerita, kalau anda diajak oleh katakanlah pak X untuk datang ke Mauk pagi-pagi buta pake motor dia untuk merawat sebuah rumah yang di tiang-tiangnya ada puisi-puisi yang dibuat oleh seorang siu cay yang waktu itu kabur ke Selatan (yang anggaplah, menarik minat kita untuk mengetahuinya). Apa yang akan kita nilai mengenai pak X ini, sementara misalnya kita tahu bahwa Mauk itu sepi dan bisa jadi pagi-pagi buta banyak begalnya. Salah satu unsurnya tentu bukan apakah omongan pak X itu logis atau tidak, benar atau tidak. Yang kita nilai kan salah satunya adalah karakter pak X. Misalkan anda kenal lama pak X ini, penilaian juga akan menilai apakah pak X ini suka bohong atau membual atau tidak? Banyak orang yang omongannya manis, meyakinkan, logis dan sekaligus menggugah. Tapi karena anda tahu lama bahwa kelakuannya tidak seperti yang diomongkan, mau tidak mau track record juga akan menjadi perhatian. > > Kalau cuma membuka wawasan dan menambah pengetahuan, seperti pepatah lama (dan tidak bisa diulang), bagaikan pohon yang membesar dan meninggi, menyerap semua bahan untuknya, tapi tidak berbuah atau berbagi (meskipun kiasan ini belum pas). Tentunya akan lebih baik kalau pengetahuan itu bisa disebarkan, dan kalau pengetahuan itu baik dan bisa diterapkan, yaa, tentunya harus diterapkan. Masak cuma disimpan di kepala saja? Saya jadi ingat para kelana di hutan bambu hijau. Meskipun mereka kabarnya cuma berdiskusi di antara mereka, toh mereka membuat puisi juga. Dengan demikian, ajakan untuk bertindak tidaklah salah dengan milis ini. > > >