TTM BT semuah,

Hai, apakabar? Sudah makan?

Setiap kali ada pergantian tahun - kita sebut tahun baru, saya selalu ingat 
akan cerita yang pernah dimuat di majalah yang sudah almarhum. Lupa persis 
judulnya, mungkin Panca Warna atau Star Weekly.

Waktu itu, saya masih awal-awal SD, baru bisa baca. Jadi bacaan apa-apa saja 
saya 'lalap' habis. Majalah anak-anak, Si Kuntjung, koran - Warta Bhakti, Panca 
Warna, Star Weekly, bahkan Liberty yang dari Surabaya, saya suka ikut baca. 
Umumnya jaman itu koran dan majalah selalu terlambat tiba di Cirebon. 
Kebanyakan media terbitan Jakarta dan kota besar lainnya. Pasokan majalah 
Liberty dari Surabaya saya peroleh dari engku (adik misan mamah) saya.

Apa hebatnya baca koran dan majalah?

Kalau anda bersekolah di sekolah berbasa Indonesia, entah swasta atau negeri, 
tentu itu hal biasa saja. Tapi saya sejak TK sampai SD, cuma sampai SD saja - 
belum sempat tamat, bersekolah di sekolah berbasa Tionghua, THHK - Tiong Hua 
Hwee Kwan, jadi basa Indonesia menjadi basa ke-2. Hanya karena papah saya 
menikahi mamah yang 'asli' kelahiran Cirebon (persisnya sih di udik: Walahar, 
Kuningan, Jawa barat), maka di rumah kami bercakap dalam basa Indonesia.

Back to the story.

Jadi pernah pada edisi Imlek majalah tsb., saya baca ttg persiapan orang-orang 
menyambut Imlek. Tahun baru Imlek tentu saja menyambut tahun baru sesuai 
penanggalan Imlek (tahun ini jatuh pada 14 Februari 2010), atau persisnya sih 
tradisi menyambut pergantian musim, dari musim dingin ke musim semi.

Keluarga Tionghua di Indonesia, pada sekitar tahun 1950-an itu, tentu saja 
masih kental tradisinya, budaya-nya. Saat itu pemerintah baru merdeka 5 tahun, 
mungkin para pejabat dan pemimpin kita masih 'demam' idealisme membangun 
bangsa, jadi mereka tidak peduli anda siapa, asal mendukung NKRI, anda boleh 
bebas melaksanakan tradisi anda, jeh!

Jadi, kalau menjelang Imlek - sekitar seminggu sebelumnya, keluarga Tionghua di 
Indonesia, umumnya bebenah. Rumah dibersihkan, dikapur temboknya (jaman itu 
belum ada cat tembok RTU - Ready to use) dengan cara anda beli kapur di toko 
kapur, campur air dan mengecat tembok rumah anda menggunakan 'kuas' berupa 
ikatan jerami yang dikeprek bagian ujungnya.

Selesai rumah dibereskan dan dikapur putih bersih, perabot yang usang 
diperbaiki atau diganti perabot baru, jendela diberi gorden baru jahitan ibu RT 
sendiri (jaman itu, kalau anda seorang perempuan, mesti bisa menjahit, memasak 
dan membuat kue kalau mau mendapat 'sertifikat' siap nikah), ibu-ibu mestilah 
mulai sibuk menggelepung (membuat tepung dari beras ketan) untuk lantas mulai 
membuat dodol aka kue keranjang berramai-ramai, ada yang nguleni, menyiapkan 
citakan berupa daun pisang yang dipanaskan dulu, atau kertas kaca tarok di 
dalam keranjang kecil, memasukkan adonan ke keranjang, menyalakan kayu bakar, 
memasak air di langseng besar, mengukus adonan dalam keranjang bambu itu.

Yang tinggal di 'kota', mungkin akan mulai menabung membuat kukis semisal 
nastar, katetong (lidah kucing), kue jepit, dan lain-lain. Kami anak-anak mesti 
bantu mamah, atau cide - cici paling gede, paling besar, mengipasi arang 
pemanas oven (belum musim oven gas atau oven listrik).

Begitulah, kami sekeluarga mestilah bergotong royong swa sembada dalam hal apa 
saja. Jaman-nya masih sedikit penduduk, belum musim KB, jadi ada benernya 
banyak anak banyak rejeki - khususnya yang perlu banyak tenaga kerja trampil 
dan murah - gratis, bahkan ya?

Boro-boro mau sewa orang melabur tembok, mendingan uangnya dibungkus kertas 
minyak merah (kertas yang sama untuk menghias tutup toples beling) dijadikan 
angpao untuk anak-anak yang minimum per keluarga punya 5 orang, bahkan ada yang 
12, dari satu mamah dan satu papah!

Kue-kue kering? Beli di supermarket ajah? Atau pesan lewat para ibu bakul 
online yang mesti tambah ongkir - ongkos kirim? Halah, in your dream. 
Supermarket-nya belum juga ada blue print-nya, apalagi internet-nya, mungkin 
masih dipakai militer AS untuk melakukan tugas intelijen mereka, memata-matai 
semua negara demi keuntungan mereka sendiri.

Jadi, kalau tahun baru, semuanya serba baru. Anda berhak mendapat baju baru, 
celana baru - seringnya memakai kain dengan corak seragam untuk semua anak, 
laki perempuan. Sepatu baru, tas sekolah baru. Pokokna mah semuanya serba baru.

Di cerita itu, ada satu yongen (anak muda) yang entah mengapa punya pemikiran 
'aneh'.

Dia tidak mau melabur rumahnya, tidak bercukur rambut maupun janggutnya, tidak 
memakai baju baru, celana baru, sepatu baru. Juga tidak menyiapkan kue kering 
apalagi dodol. Bahkan tidak masak-masakan istimewa di rumahnya untuk 
makan-makan bersama seluruh keluarga.

Miskinkah dia? Tidak. Orangtuanya cukup berada. Dia sendiri sudah bekerja dan 
mendapat gaji. Hanya saja, dia merasa, apa sih bedanya hari kemarin (31 
Desember 2009) dengan hari ini, 1 Januari 2010. Atau kalau Imlek nanti, 13 
Februari 2010 dengan 14 Februari 2010. Toh anda tidak mengalami guncangan 
ketika ada pergantian hari, apa bedanya dengan hari-hari lain? Pergantian yang 
terasa nyata cuma menurunkan kalender tahun 2009 dan menggantung kalender tahun 
2010.

Yang lain? Semuanya tetap sama: udara tetap udara yang sama anda hirup kemaren, 
jam juga tetap berputar searah jarum jam (tentu dwong!) yakni ke arah kanan, 
jarumnya masih sama, ada detik dan menit dan jam. Kalau jam digital seperti 
sekarang, malah cuma titik nyala-padam bergantian, lalu angka-angkanya berubah.

Untuk apa semua serba baru?  Berboros uang untuk melabur rumah, beli kain baru, 
beli bahan-bahan kue - sampai mesti antri di TBK - Toko Bahan Kue, mengelepung 
tepung beras ketan, menjahit baju, membuat kue, memasak makanan mewah yang cuma 
setahun sekali itu. 'Membakar uang' membeli kembang api.

Membangun semangat baru? Kenapa tidak setiap hari anda membangun semangat baru? 
Bukankah setiap hari memang anda mesti bersemangat? Kemaren, hari ini dan 
besok. Itu istilah kita untuk pergantian waktu. Mengapa mesti menunggu setahun 
sekali baru semuanya diperbaharui?

Pemikiran orang di dalam cerita pendek di majalah itu, mungkin saja penulis-nya 
sendiri yang mengalami hal itu, pada masa itu saja sudah menjadi semacam 
'terobosan', ketika adat-istiadat tradisionil masih dipegang dan dijalankan 
dengan teguh dan kukuh, kuat.

Dibandingkan sekarang, yang adat-istiadatnya justru sudah kendor, malah 
nampaknya kita mulai mengadopsi adat barat(?) dengan hal-hal serba baru, 
berbagi hadiah (dulu menggunakan angpao, memberi hadiah dalam bentuk 
'mentahan', anda bisa beli apa saja hadiah yang anda suka). Jor-joran membakar 
kembang api. Padahal itu semua cuma pemborosan saja.

Kalau anda memang perlu sepatu baru, baju baru, ingin makan kue-kue, masakan 
enak yang mewah, bukankah semuanya sekarang sudah tersedia di mana-mana? Anda 
bisa pesan apa saja melalui kompi anda dari rumah. Bayarnya juga cukup gesek 
kartu plastik saja. Mau Visa Card, Master Card atau BCA Card?

Anytime, anywhere, anything.... kapan saja, di mana saja, apa saja bisa anda 
beli dan dapatkan. Mengapa mesti sengaja memboroskan diri pas tahun baru?

Selamat tahun baru (Imlek)!

Salam makan enak dan sehat,
Ophoeng
BSD City, Tangerang Selatan

Reply via email to