Benar Bung Tjaniago,

Gerakan ganti-nama ditahun-tahun 1966 itu yang katanya sebagai pernyataan 
"SETIA" pada RI, sebenarnya hanya usaha Presiden Soeharto untuk menghilangkan 
segala yang berbau Tionghoa saja. Bahkan dilatar belakangi untuk melecehkan 
warga Tionghoa, untuk menekan yang katanya ketika itu Tionghoa merasa superior. 

Sungguh dagelan, Ke-"SETIA"-an seseorang pada RI cukup dinilai dengan ganti 
nama yang berbau Jawa bahkan Arab. Mereka tidak berani melihat kenyataan tidak 
sedikit tokoh-tokoh Tionghoa yang tetap gunakan nama 3 suku itu sudah ikut 
dalam gerakan perjuangan melawan koloni Belanda, termasuk yang diasingkan ke 
Digul. Pada saat Jepang masuk, tidak sedikit TIonghoa terlibat gerakan melawan 
Jepang, juga terlibat dalam gerakan Kemerdekaan, Agresi I-II Belanda, ... tidak 
sedikit Tionghoa yang oleh karenanya dijebloskan dalam penjara bahkan korbankan 
jiwa dan jelas tanpa ada orang yang mempersoalkan nama 3 sukunya apalagi 
mengharuskan ganti nama lebih dahulu. 

Hanya, hanya segelintir pejabat dan jenderal yang berjiwa rasialis saja yang 
dengki dan Selalu berusaha menggeser, ingin gantikan posisi Tionghoa dibidang 
ekonomi. Ganjelan, persulit usaha Tionghoa dapatkan ijin import-eksport, 
persulit dapatkan kredit, pembatasan kuota masuk Universitas negeri, ... 
dilakukan berpuluhtahun. Tapi dalam kenyataan tetap tidak sedikit TIonghoa yang 
survive, salah satunya Dr. Tjioe Tjay Kian ini. Bagus dan salut. Itulah yang 
namanya baja ditempa melalui kekerasan, bukan keluar dari kemudahaan hak 
istimewa dan bersekongkol dengan pejabat.

Salam,
ChanCT


----- Original Message ----- 
  From: Barisan Merahputih 
  To: gelor...@yahoogroups.com 
  Cc: wahana-n...@yahoogroups.com 
  Sent: Monday, March 22, 2010 5:27 PM
  Subject: [GELORA45] Diskriminasi di R.I.
   


        Sangat tragis Dr. Tjioe Tjay Kian alias Eka Julianta Wahjoepramono 
(nama Integrasi paksaan).Di sebuah Republik yang mempunyai Konstitusi1945 yang 
progresiv dalam hubungan Kemanusiaan, yang menjamin Hak sama dalam Bhinneka 
Tunggal Ika, tapi nama asli kelahiran tidakbisa dipakai, dan walaupun sudah di 
JOWOkan, diskriminasi dan malah di Perguruan Tinggi terus dilaksanakan.

        Yeah, Dr. Tjioe Tjay Kian, untuk apa penggantian nama, kalau dikenakan 
juga oleh hubungan diskriminatif?

        Pemerintahan yang tidakpernah menghormati Hak Hak Azasi Manusia, 
tumbuhsubur dalam berbagai bentuk, diskriminasi dalam hubungan masyarakat.

        A.Tjaniago







        Susahnya Jadi Dokter Keturunan Tionghoa
        Posted on March 11 2010 by Sriwidjaja Post 



        Dokter Eka Julianta Wahjoepramono SpBS menorehkan prestasi besar di 
dunia kedokteran. Ia menjadi dokter pertama dan satu-satunya di Indonesia yang 
sukses melakukan bedah batang otak. Berikut ini Eka menuturkan pahit-getir 
pengalamannya dalam buku berjudul Tinta Emas di Kanvas Dunia. Buku ini memuat 
kisah-kisah heroik Dr Eka, termasuk mengoperasi para penderita gangguan pada 
otak yang sulit dioperasi dan melambungkanya ke posisi dokter kaliber 
internasional. Berikut kisah-kisah dokter pada Rumah Sakit Siloam Karawaci ini.

        LAHIR di Klaten, Jawa Tengah, 27 Juli 1958 dengan nama Tjioe Tjay Kian. 
Kakek-neneknya berasal dari Provinsi Fujian, Tiongkok bagian Selatan. Ketika 
pemerintah mewajibkan keturunan Tinghoa bernama Indonesia, tahun 1965, nama ini 
diubah menjadi Eka Julianta Wahjoepramono.

        Tidak mudah bagi Eka mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. Setamat 
SMA, dia mengikuti seleksi di sejumlah perguruan tinggi negeri. Antara lain 
Universitas Gadjahmada Yogyakarta dan Universitas Diponegoro Semarang. Bukan 
karena nilainya rendah, melainkan perlakuan diskriminasi yang membatasai kuota 
keturunan Tionghoa kuliah di universitas besar.

        Eka gagal masuk UGM. Ia lalu mencoba peruntungan ke Undip. Ia 
menyaksikan hasil ujian yang menyatakan lulus. Namun aturannya sama dengan di 
UGM, mahasiswa keturunan Tionghoa dibatasi, serta permintaan uang sumbangan. 
Eka yang berasal dari keluarga tak mampu, sempat keder. Namun Eka tidak kurang 
akal. Ia menemui pakdenya yang akhirnya memberi uang sumbangan Rp 2 juta. Pada 
tahun 1977, uang sejumlah itu sudah dapat membeli mobil baru. Setelah membayar 
uang sumbangan itulah, Eka mendapat tiket menjadi dokter.

        Eka kuliah selama 6 tahun di Undip. Dan selama kuliah, dia aktif dalam 
kegitan kampus. Ia pernah menjabat ketua kelas, jabatan yang strategis 
menunjang kuliah maupun mendekati mahasiswa baru. Dan jabatan itu pula yang 
dimanfaatkan Eka, mendekati seorang mahasiswi baru, Hannah Kiati Damar, putri 
Dr Gan Haoy Kiong, dokter ahli bedah yang sangat terkenal di Semarang.

        Keduanya berjodoh dan berumah tangga, dan sama-sama dokter, jadilah 
rumah tangga dokter; pasangan Dr Eka dengan Hannah. Pasangan dokter yang 
bekerja di RS Siloam, Karawaci, ini dikaruniai tiga anak.  Lulus dari Fakultas 
Kedokteran Undip sebagai dokter umum tahun 1984, Eka ingin melanjutkan ke 
dokter spesialis. Khususnya dokter bedah saraf yang sudah sejak lama 
dicita-citakan.

        Saat itu ada aturan, untuk bisa menjadi dokter spesialis, harus 
terlebih dulu tugas di Puskesmas sebagai dokter pegawai negeri sipil. Agar 
cita-cita cepat terwujud, dia pun mengatur siasat. Ia sengaja mencari tempat 
terpencil yang masih dianggap hutan belantara, Kalimantan Tengah. Ia pun 
ditempatkan di Pendahara, Kecamatan Tewang, Sangalang Garing, Katingan, antara 
Palangkaraya dan Sampit. Tahun 2000-2001, Katingan termasuk daerah rawan 
konflik antara etnis Dayak dan Madura.

        Tidak Lulus.

        Ketika masih tugas di Puskesmas Katingan, dia meminta izin kepada 
Kepala Dinas di Kasongan, Dr Krispranoto untuk pulang ke Semarang guna 
mengikuti tes dokter spesialis. Hasilnya, permainan buruk itu terulang. Kendati 
dia nyata-nyata lulus, dalam pengumuman dicantumkan tidak lulus dan tidak 
dibolehkan tes ulangan.

        Setahun tugas di Kalimantan, atas bantuan Kapolwil yang 
menghubungkannya kepada Sekda Kalteng, dan Eka pun mengantungi surat keterangan 
“lolos butuh” sehingga statusnya dikembalikan ke Depkes dan dibolehkan pulang 
ke Jawa, walaupun belum ada tujuan.

        Tahun 1986, ia mencari pekerjaan sementara, melamar pada rumah sakit 
kecil di Semarang. Di sini, Eka sangat ingin berpraktik operasi, tetapi 
kesempatan tidak banyak.Dr Gan Haoy Kiong, calon mertuanya membujuk koleganya, 
Kepala Bagian Bedah Saraf Universitas Airlangga. Namun sahabat mertuanya juga 
menolak keinginan Eka untuk jadi dokter spesialis, dan justru disarankan agar 
mencari kesempatan di Bandung.

        Gagal berulang-ulang, tidak menumpulkan asa. Eka pergi ke Bandung, 
menemui sahabat calon mertuanya, Prof Iskarno, yang menjabat Kepala bagian 
Bedah Saraf RS Hassan Sadikin. Calon mertua Eka, terus terang bertanya pada 
Prof Iskarno, “Is, apa kami bisa menerima residen keturunan Tionghoa?” Residen 
adalah belajar praktik, semacam magang.

        Prof Iskarno menjawab Dr Gan, “Bagi saya, tidak ada urusan dia 
keturunan Tionghoa atau monyet mana pun. Asal dia mampu, akan saya terima.”   
Jawaban Iskarno inilah yang menghapus semua kenangan buruk Eka selama ini. 
Dalam rangkaian bulan madu dengan Hannah di Ciater dan Bandung, Eka menemui 
Iskarno di RS Hassan Sadikin, ia pun menemui Iskarno. Tahun 1987, Eka mengikuti 
pendidikan dokter spesialis di bagian bedah saraf Universitas Padjadjaran.

        Dalam perjalanannya, relasi Eka dengan Iskarno sangat dekat. Buktinya, 
Eka pernah menjadi asisten pribadi yang selalu menyertai Iskarno. Dalam 
kedekatan itulah, pada tahun kedua residensi mestinya tahun keempat, Eka 
mengajukan permohonan agar diizinkan belajar ke dokter sahabat Iskarno di 
Jerman. Di sana ia residen pada Porf WJ Bock, Kepala Bedah Saraf Heinrich Heine 
Universitaet Klinik, Dusseldorf. (Persda Network/amb)

       




------------------------------------------------------------------------------
  Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat.
  Undang teman dari Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang!

  


------------------------------------------------------------------------------



  No virus found in this incoming message.
  Checked by AVG - www.avg.com 
  Version: 9.0.791 / Virus Database: 271.1.1/2760 - Release Date: 03/21/10 
03:33:00

Kirim email ke