Sdr erick,

Jujur sbenarnya saya sedari kecil dididik oleh keluarga yg cukup ketat.dan 
pergaulan saya pun dibatasi hny utk kalangan tionghwa.sampai sekarang pun masi 
ada temen2 saya yg sgt menutup diri dr org lain selain tionghwa.maaf kalo saya 
agk blak2an.tp temen2 selalu merasa anti dgn kata huan.ada yg blg kalo sifat 
mereka jelek,org bar bar,gk tau budi dan sbgainya. 

Bila berteman dgn etnis lain pasti ditentang oleh keluarga.sangat dimaklumi 
karena keluarga saya sendiri jg jadi korban pada tahun 1960.

Sewaktu kejadian mei saya juga sudah sgt mengerti akan ketakutan itu.tp pd saat 
itu, apa yg berlangsung di medan tidak separah yg terjadi di jkt. Pada saat itu 
saya yg masi polos sempat berpikir,apakah kejadian mei ini terjadi karena 
kesombongan etnis kita sendiri juga.yg kurang mau bergaul,tidak mau membuka 
diri atau malah karena kita yg terlalu pelit buat berbagi.

Stelah saya masuk dalam dunia bisnis,saya mengelola bbrp toko di medan.saya 
membutuhkan tenaga serta pikiran dr org selain suku tionghwa.saya melihat bahwa 
tidak ada yg salah ya dengan mereka.

Saya bpendapat bahwa setiap manusia pada dasarnya itu baik,tergantung dr cr 
kita memperlakukannya.. 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: "Erik" <rsn...@yahoo.com>
Date: Sun, 11 Apr 2010 08:49:55 
To: <budaya_tionghua@yahoogroups.com>
Subject: [budaya_tionghua] Re: TANYA SOAL NAMA GENERASI/ZIBEI MARGA THE/ZHENG


Zhou Xiong, Bung Akian, Robby, She Giam, Pozzmo dan teman-teman lain
sekalian!

Sejak awal saya ikuti terus perdebatan teman-teman dengan Vera yang seru
ini. Tidak ada yang mau dan juga tidak ada yang sanggup saya bantah dari
semua argumentasi teman-teman, kecuali berucap ¡°Amin¡±! Kalo mau
dicari-cari, mungkin ¡®salah¡¯nya teman-teman tidak tahu usia Vera
(walau sudah berkeluarga) yang ternyata baru 23 tahun.

Pada 1998 yang lalu, saudari Vera kita ini baru berusia 11 tahun bung!!
Sangat boleh jadi, dia tidak alami langsung kejadian di tahun itu, apa
yang dia ungkapkan di sini bisa dari bacaan atau hasil nguping
sana-sini, dengan risiko bias yang amat tinggi.

Saya tidak bermaksud membenarkan dia, tapi ada satu kalimat dari Vera
yang ingin saya garis-bawahi, yaitu ¡°di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung¡±.

Saya setuju sekali dan sekaligus turut menjunjung prinsip Vera ini. Dan
kepada Vera saya ingin katakan, dengan berprinsip seperti itu hendaknya
kita juga menjunjung tinggi semboyan negara kesatuan Republik Indonesia
yang berbunyi ¡°BHINNEKA TUNGGAL IKA¡±!

Pada postingnya yang lalu, Vera mengatakan bahwa ¡°kita tinggal dan
mcari nafkah dr bumi indonesia, sharusnya kita jg harus bisa
beradaptasi¡±. Pertanyaan saya pada Vera, ¡°Beradaptasi dengan apa
dan siapa?¡± Mungkin Vera akan menjawab ¡°Beradaptasi dengan
bangsa Indonesia dan budaya Indonesia¡±.

Mohon maaf Vera, dengan berpendapat seperti itu, sebenarnya anda telah
menarik garis pemisah dan mengambil jarak antara kita dengan bangsa dan
negara Indonesia, seakan kita bukan bagian dari bangsa dan negara
Indonesia. Kita dilahirkan, hidup dan tinggal serta mencari nafkah di
Indonesia, kita adalah bagian integral yang sah dari bangsa dan negara
Indonesia ini. Segala atribut budaya kita, termasuk agama, adat
istiadat, dan juga marga (sne) warisan orang-tua kita adalah juga bagian
dari budaya bangsa dan negara Indonesia. Tidak perlu dirubah-rubah dan
diadaptasi.

Pun pula (mengikuti jalan pikir Vera), andaikan kita bukan bagian dari
bangsa Indonesia, lantas siapa kira-kira yang anda maksud dengan bangsa
Indonesia, sehingga kita perlu beradaptasi dengan mereka? Suku Tapanuli
(batak) di tempat anda berdiamkah? Atau suku Jawa yang konon merupakan
suku mayoritas di Indonesia? Atau suku Minang? Aceh? Atau Mungkin Ambon
or Papua? Terlalu banyak suku yang ada di negara kesatuan Republik
Indonesia ini dengan keunikan budaya masing-masing, termasuk juga kita
etnis Tionghua. Adalah kewajiban kita bersama untuk menjaga dan
melestarikan aneka ragam kekayaan budaya bangsa Indonesia itu, tidak ada
kewajiban yang satu harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan yang
lain, karena semuanya sama-sama adalah budaya bangsa Indonesia.

Di era berkuasanya regim Orde Bau, kita (etnis Tionghua di Indonesia)
mendapat perlakuan yang tidak adil. Lewat kebijakan Marginalisasi
(peminggiran), Stigmatisasi (pelabelan) dan Victimisasi (pengorbanan),
kita diperlakukan seakan bukan bangsa Indonesia, hak sipil kita
dikebiri, sulit menjadi pegawai negeri dan ABRI. Satu-satunya bidang
yang masih terbuka lebar untuk kita geluti hanyalah bidang niaga,
jadilah kita distigmatisasi (dicap) melulu Binatang Ekonomi yang tahunya
cuma cari duit. Sehingga pada tiap kali ada gejolak sosial, kitalah yang
dijadikan kanal pelampiasan amarah massa.

Trauma akibat kebijakan di atas masih tersisa sampai hari ini. Dan oleh
orang-tua diwariskan kepada anak-cucu, termasuk juga (maaf) kepada Vera.
Jadi, sangat wajar dan tidak mengherankan jika keluar pendapat dan
pernyataan dari Vera seperti pada posting-posting yang lampau. Namun
saya yakin, dengan bergabung di milis BT ini, lewat interaksi dialog dan
diskusi bersama rekan-rekan yang lebih senior, niscaya suatu waktu Vera
akan merubah pandangannya.

Adapun mengenai nama Tionghua yang menurut Vera terasa asing dan sulit
diucapkan lidah orang Indonesia, saya akan coba share pendapat saya di
posting berikut.

Demikian dari saya. Terima kasih pada Vera atas perhatiannya. Dan mohon
maaf kalau ada kata-kata yang menyinggung.



Salam,



Erik

------------------------------------------------------------------------\
-------------

In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Dada <wrw....@...> wrote:
Ini pembahasan yang tidak berujung pangkal.
Pada dasarnya secara naluriah manusia akan bersikap pragmatis,
setidaknya lebih baik daripada ngotot menuruti emosi dan hawa nafsu.
Saya berusaha mengingatkan agar dalam budaya juga jangan bersikap
radikal. Hanya akan melahirkan kebodohan, bukan pencerahan.
Salah satu sikap radikal adalah mempermasalahkan hal-hal "tidak
penting".
Memangnya disini ada yang tau nama marga thaksin sinawatra ? cory
aquino? masih mending , albert fujimori masih mencantumkan nama klan
nya, walau depan menggunakan nama barat. Nama marga , apa itu hal paling
krusial ? siapakah matsudaira ? matsudaira atau tokugawa yang benar?
Joseph Needham apa *Li Yuese* æ�Žçº¦ç`?? Matheo Ricci apa Li Ma
Dou ? KongHucu apa Confucius?
Masalah marga dan nama ini sebenernya masalah dan juga bukan masalah.
Masalahnya bisa dari memberi , adaptasi , sampai memanggil bisa saja di
cari cari kesalahannya atau sebaliknya bisa mencari-cari kesalahan.
Menurut saya pribadi sih , yang terpenting , yang paling mendasar adalah
jangan melupakan asal usul , sebagai chinese , tionghoa , whatsoever.
Budaya juga bukan semata2 soal detail , ritual dan bla bla bla.
Interaksinya juga sering luput dari perhatian . Sifat mendasar adalah
interaksi dengan lokal sebagai mayoritas dan interaksi dengan penguasa
dunia saat ini.
Contoh baju barat dan bahasa inggris. Karena penguasa dunia terakhir ini
barat dan berbahasa inggris , maka menjadi standar dunia , semacam
konsensus,yang kalau berusaha ngotot akan rugi sendiri.
Berbusana pun akhirnya seluruh dunia sepakat dari fashion dasar barat.
Apakah dalam aktiivitas sehari-hari , kita menggunakan baju tradisional
? ke kantor? presiden pake baju keraton? pake jas khan? jepang masih
ngotot pake baju ala "samurai" , rambut bergaya samurai? Nama barat juga
menjadi contoh bagaimana kekuatan akan mempengaruhi budaya global .
Jadi tidak usah terlalu paranoid berlebihan , pada gilirannya , kalau
kekuatan dunia bergeser , budaya yang di sandangpun akan menguat seperti
nilai saham. Tidak perlu disuruh juga yang lain akan menjadi follower.
Misalkan Tiongkok menjadi penguasa dunia tunggal di kemudian hari.
Seluruh dunia akan menjadikan bahasa mandarin sebagai standard. Fashion
oriental akan menjadi trend dunia . Termasuk ke budaya populernya juga
akan di anut seluruh dunia . Sama seperti Amerika sekarang dengan MTV ,
dengan MacDonald, dengan Disney , dengan dunia internetnya .
Penguasa dunia berarti menjadi pemegang kebenaran. Sumber berita
Tiongkok akan menjadi standar berita global , fashion Italia akan manut
dengan fashion Tiongkok , gak mau manut rugi sendiri , pangsa pasar yang
besar,  dan untuk memasukinya harus tau banyak budayanya , bahasanya ,
dan apapun yang berkaitan. Pengobatan ala Tiongkok juga akan menjadi
standar dunia .
Mungkin kita pernah melihat nama berbau Jepang , padahal tidak ada
hubungannya sekali dengan darah jepang , nah itu pengaruh kekuatan
budaya Jepang.
Lihat saja pengaruh ekonomi tionghoa yang kuat , tradisi pedagang yang
kuat , tukang becak lebih sering pake istilah goban , gopek, goceng ,
jigo, atau pake istilah lokal ? salawe (25) , seket (25) , saya juga
sering menerima perkataan kamsia , padahal bukan orang chinese.
Jadi cobalah lihat Jepang , sebagai contoh , pragmatis sekaligus
memiliki ciri Jepang.
Juga jangan terlalu berlebihan . Terlalu sok beradaptasi juga kesannya
tidak punya prinsip , terlalu kolot sok mempertahankan tradisi juga
tidak membawa pencerahan. Yang normal2 saja. Yang penting ingat satu hal
, sekali tionghoa yah tetap tionghoa, biar pake nama obama kek , nama
maria mercedez kek, cory aquino kek , thaksin sinawatra kek , kardinal
james sin kek ,
>



Reply via email to