http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/16/04472395/dari.cina.benteng.ke.mbah.priuk
Dari Cina Benteng ke Mbah Priuk
Jumat, 16 April 2010 | 04:47 WIB

Sarlito Wirawan Sarwono 
Saat tulisan ini dibuat (pukul 07.00, 15 April 2010), kerusuhan di Tanjung 
Priok masih berlangsung. Sudah 24 jam sejak dimulai pada Rabu (14/4) selepas 
subuh. Korban di pihak Satpol PP bertambah terus. Dari satu kemarin pagi 
kemudian menjadi tiga siang harinya dan tadi, saya monitor di TV, katanya sudah 
bertambah dua lagi. Plus puluhan yang terluka. Plus tujuh (atau lebih) 
kendaraan petugas dibakar massa. Korban lebih banyak di pihak petugas.

Semua itu demi memperebutkan sebuah makam keramat Mbah Priuk yang di mata 
masyarakat adalah makam Habib Hasan bin Muhamad al Hadad, seorang suci, penyiar 
Islam pertama di Betawi, yang sudah dimakamkan di sana sejak tahun 1756. Jadi, 
sudah sejak 244 tahun yang lalu. Namun, di mata pemerintah, kawasan kuburan itu 
hanyalah sebidang tanah yang masuk hak milik PT Pelindo dan berdasarkan 
undang-undang serta perda tertentu sah-sah saja untuk sewaktu-waktu digusur 
demi pembangunan. Maka, terjadilah tawuran yang tragis itu.

Namun, tak kalah tragisnya, sehari sebelumnya, di Tangerang, permukiman Cina 
Benteng juga digusur paksa oleh Satpol PP. Alasan pemerintah daerah (pemda) 
memang masuk akal. Permukiman mereka liar dan menghalangi program pelebaran 
Sungai Cisadane yang penting guna mengurangi banjir. Sebetulnya para penghuni 
juga memahami alasan pemda dan mengakui bahwa mereka menghuni secara liar 
karena itu mereka mau saja pindah asalkan diatur pindahnya ke mana atau diberi 
ganti rugi yang layak.

Akan tetapi, wali kota bersikukuh bahwa berdasarkan perda nomor sekian-sekian 
dan instruksi gubernur nomor sekian-sekian permukiman harus digusur. Tidak ada 
ganti rugi karena tidak tersedia dana dalam APBD. Maka, demi hukum, Cina 
Benteng harus pergi; kalau perlu, dengan paksa.
Museum hidup

Tentu saja dengan mudah komunitas Cina Benteng bisa diusir begitu saja oleh 
pemda dan tidak akan jatuh korban di pihak Satpol PP karena mereka minoritas 
baik dalam pengertian jumlah maupun dalam pengertian ras, agama, dan 
kepercayaan.

Namun, dengan terusirnya mereka, akan punahlah satu cagar budaya yang sudah ada 
di tepi Sungai Cisadane sejak tahun 1700-an. Mereka adalah cikal bakal kota 
Tangerang yang membangun permukimannya di sepanjang Benteng VOC yang ketika itu 
berada di sepanjang Sungai Cisadane (karena itulah mereka dinamakan Cina 
Benteng). Karena imigran-imigran Tionghoa ketika itu semuanya laki-laki, maka 
mereka kawin dengan perempuan-perempuan lokal sehingga menghasilkan keturunan 
Tionghoa yang berkulit gelap, tidak berbahasa Tionghoa, tetapi masih sangat 
memuja kepercayaan tradisional mereka (hio, tepekong, capgomeh) walaupun busana 
dan seni musik mereka bukan Tionghoa, tetapi juga bukan pribumi. Karena mereka 
bernenek moyang buruh-buruh kasar, sampai hari ini pun profesi mereka tidak 
jauh-jauh dari buruh lepas, tukang ojek, atau tukang cuci.

Dengan demikian, dari kacamata budaya, komunitas Cina Benteng ini adalah museum 
hidup, yang melestarikan dirinya sendiri tanpa dana serupiah pun dari 
pemerintah. Bahkan, sering kali mereka justru jadi korban penindasan penguasa, 
termasuk dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740. 
Maka, kalau dikehendaki, dengan sedikit investasi saja, dinas pariwisata daerah 
bisa memanfaatkan museum hidup Cina Benteng ini menjadi daerah tujuan wisata 
yang hasilnya pasti akan meningkatkan pendapatan asli daerah Tengerang. Inilah 
yang dalam ilmu resolusi konflik disebut win-win solution.

Ketakpekaan sosial pemda
 Namun, ada satu hal yang sangat memprihatinkan saya setelah menyimak kasus 
Cina Benteng dan Mbah Priuk serta kasus-kasus sebelumnya tentang bagaimana 
caranya pemda-pemda menggusur penghuni dan lapak liar. Hal itu adalah 
ketidakpekaan sosial para pejabat pemda (wali kota/bupati dan DPRD). Mereka 
pikir, karena Indonesia adalah negara hukum, kalau sudah ada hukumnya, semuanya 
bisa dibereskan dengan hukum itu.

Pandangan seperti ini sangat keliru. Hukum tidak datang dari langit, melainkan 
bersumber dan bermuara pada masyarakat. Ketika hukum dipraktikkan di masyarakat 
dia akan langsung berhadapan dengan nilai-nilai, adat, kebiasaan, agama, 
kepercayaan, keyakinan, dan etika masyarakat setempat. Ini tidak bisa dipandang 
enteng dan harus dipertimbangkan baik-baik kalau kita ingin semuanya 
berlangsung dengan baik. Untuk melaksanakan gusur-menggusur dengan baik tanpa 
kekerasan, terlebih lagi tanpa korban, bukannya tidak mungkin. Kota Solo adalah 
salah satu yang telah mempraktikkannya.

Sejak Jokowi-Rudy menjadi wali kota dan wakil, di Solo tidak pernah ada lagi 
kekerasan dalam rangka penggusuran, tetapi pembangunan jalan terus. Pedagang 
liar kaki lima dan pasar dipindahkan dengan kirab pasukan pengawal keraton 
lengkap dengan pusaka-pusakanya. Pak Wali dan Pak Wakil, dengan berpakaian 
adat, berkuda di barisan paling depan dan diliput oleh media massa nasional dan 
internasional. Di tempat baru pun sudah tersedia prasarana baru dengan 
fasilitas sangat baik, uang sewa sangat ringan, bebas pajak-pajak tertentu, dan 
trayek kendaraan umum sudah disalurkan ke lokasi baru itu.

Win-win solution lagi. Rahasianya sederhana saja, yaitu pertimbangkan faktor 
sosial budaya dulu, baru praktik hukumnya disesuaikan, bukan sebaliknya. Memang 
hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Namun, jangan lupa, pada manusia 
selalu ada bulu-bulu yang tidak boleh dipandang.

Sarlito W Sarwono Guru Besar Psikologi, Ketua Program Studi Ilmu Kepolisian 
Universitas Indonesia

Kirim email ke