----- 原始郵件----- 
寄件者: Harsutejo Sutedjo 
收件者:  
傳送日期: 2010年5月31日 21:47
主旨: PANCASILA


Menyambut Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni. 

PANCASILA

(Harsutejo)

 

Pancasila merupakan sebuah dokumen politik, suatu kontrak sosial yang 
mengandung persetujuan atau kompromi antar sesama warganegara Indonesia tentang 
asas-asas negara. Pancasila dapat disejajarkan dengan Magna Carta di Inggris, 
Bill of Rights di AS, Droit de l’home di Prancis. Demikian Onghokham (Desember 
2001). Republik Indonesia yang baru lahir telah berhasil merumuskan UUD 1945 
dengan dasar-dasar negara berupa Pancasila yang mengakomodasi segala macam 
perbedaan dan keberagaman di antara seluruh rakyat Indonesia dalam motto 
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu jua yang telah tercantum dalam 
Sumpah Pemuda 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia!

Perbedaan-perbedaan tersebut berupa suku-suku dan ras, kepercayaan dan agama, 
adat istiadat, bahasa, kebiasaan, cara berpikir, keyakinan dan pandangan 
politik, ideologi, latar belakang sejarah dsb, semua mendapatkan tempat secara 
layak di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar 
Pancasila. Pancasila merupakan dasar bernegara dan berbangsa, suatu persetujuan 
bersama untuk hidup bersama dalam aneka perbedaan. Pendeknya menurut 
penggagasnya, Bung Karno, Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Betapa 
bijaknya para founding fathers kita yang telah berhasil merumuskan landasan dan 
persetujuan bersama dalam kedaaan aneka perbedaan dan telah dapat menghimpun 
kesatuan dalam menghadapi ancaman kembalinya penjajahan. Mereka telah berhasil 
gemilang dalam melakukan kompromi sejarah untuk menyatukan seluruh potensi 
bangsa. Kompromi sejarah ini antara lain telah dilakukan oleh para pemimpin 
golongan Islam yang juga setuju menerima Pancasila sebagai dasar bernegara dan 
berbangsa dan merupakan bagian penting dalam pembukaan UUD 1945.

Rezim militer Orba Suharto memperlakukan Pancasila sebagai barang suci, azimat 
yang dipuja-puji dengan kata-kata mempesona ‘asas tunggal Pancasila’, seolah 
hendak mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dalam membangun negara. Puja-puji 
itu hakekatnya terhadap kekuasaan Orba, yang hendak dilanggengkan dengan 
membangun institusi negara P4 dan BP7 dengan mengerahkan kaum intel dan 
intelektual sekaligus dengan terus-menerus melakukan pelanggaran hak asasi 
manusia yang sarat dengan kekerasan. Rezim Orba melalui sejarawan Nugroho 
Notosusanto pun mencoba berupaya meniadakan nama Bung Karno sebagai penggali 
Pancasila dari catatan sejarah. Di tangan rezim penindas ini Pancasila justru 
dijadikan alat pecah-belah dengan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” serta 
manusia dengan KTP “ET” yang membuat berjuta warga negara didiskriminasikan, 
dikutuk dan dikuyo-kuyo atas nama “mempancasilakan” mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari yang bak berada di samudra korupsi itu P4 dan BP7 
menjadi dagelan yang sarat dengan pemborosan dana, waktu dan sumber daya 
manusia serta sarat dengan lagak kemunafikan yang mendapat sindiran amat tajam 
seorang kiai yang penyair KHA Mustofa Bisri yang ditulisnya di masa kejayaan 
rezim Orba dalam kumpulan puisi “Gelap Berlapis-Lapis,” dengan sajak 
‘Kembalikan Makna Pancasila’ dengan amat tajamnya, sekaligus mencerminkan 
kenyataan sebenarnya, a.l.:

“kesetanan yang maha perkasa

kebinatangan yang degil dan biadab

perseteruan indonesia

kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan dalam perkerabatan/perkawanan

kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia”

Sejak masa yang disebut reformasi, seiring dengan pelecehan tersembunyi dari 
rezim Orba, sekelompok orang tidak lagi melongok Pancasila sebagai dasar 
berbangsa dan bernegara. Artinya tidak lagi menghormati kebinekaan bangsa ini 
yang disatukan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka 
memaksakan kehendaknya, sering dengan kelewang dan pentungan, melakukan 
perusakan tempat ibadah orang lain, kantor dan tempat usaha orang lain dengan 
semena-mena seperti masyarakat tanpa aturan hukum. Mereka memaksakan 
aturan-aturannya sendiri menjadi aturan umum, memaksakan tafsirannya sendiri 
menjadi tafsir umum. Meskipun mereka itu merupakan sekelompok kecil di 
masyarakat, tetapi suara mereka sering begitu besar dengan tindakan yang 
berimplikasi luas terhadap tatanan masyarakat yang beradab karena tindakan itu 
sudah memasuki wilayah teror. Keadaan demikian sering tidak ditindak oleh 
aparat negara dan dibiarkan berkembang, mengesankan mereka menjadi alat 
kekuasaan tertentu yang dimainkan pada saat tertentu pula. Keadaan itu kadang 
mendapatkan apologi dari wakil-wakil terhormat yang mengarah pada legitimasi, 
bahwa perbuatan yang memaksakan kehendak itu dikatakan sebagai terpaksa 
dilakukan untuk membela kebenaran [menurut tafsir mereka sendiri].

Dalam kemelut demikian maka Prof Dr Syafii Ma’arif menyatakan Pancasila sekedar 
dijadikan retorika politik, nilai luhur Pancasila telah dikhianati. Perilaku 
pemimpin sering tak dapat diteladani, sering berperilaku yang sulit dibedakan 
dengan penjahat. Sementara itu Prof Dr Azyumardi Azra menyatakan Pancasila 
sebagai dasar negara dan falsafah bangsa perlu revitalisasi dan aktualisasi. Ia 
tidak melihat ada ide dasar lain selain Pancasila yang cocok untuk Indonesia, 
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu ada pendekatan integratif agar 
antara nilai luhur Pancasila dan praksis aktualisasinya sehari-hari tidak 
berbeda.

Pancasila di bidang ekonomi utamanya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 (naskah 
asli): (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas 
kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang 
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan 
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan 
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jelas sekali penguasaan dan monopoli asing dan swasta nasional yang kini subur 
berkembang dengan segala dukungan hukum dan kekuasaan dalam bingkai kapitalisme 
liberal, dengan menjual obral hutan, tambang, sumber air dan laut, menggusur 
kaum tani dan nelayan serta pedagang kecil dan pasar tradisional, memecat buruh 
dengan semena-mena, sama sekali tidak sesuai dengan pasal ini, bahkan 
menginjak-injaknya! Betapa berat tugas kaum muda ke depan. <cakmo9...@yahoo.com>

Kirim email ke