----- 原始郵件----- 
寄件者: Harsutejo Sutedjo 
收件者: sastra-pembeba...@yahoogroups.com ; wahana-n...@yahoogroups.com 
傳送日期: 2010年6月8日 19:28
主旨: Generasi Yang Hilang


GENERASI YANG HILANG

(Harsutejo)

 

Ketika terjadi tragedi 1965 pasca pembunuhan enam orang jenderal oleh 
gerombolan militer G30S, maka diikuti tsunami politik ciptaan manusia berupa 
pembantaian terhadap 3 juta orang, 1,7 juta orang dijebloskan ke dalam penjara 
dan tahanan sebagai tapol yang meringkuk bertahun-tahun. Jutaan orang dipecat 
dari pekerjaan, dirampas harta kekayaannya, jutaan orang menjadi paria dan 
dipariakan dalam tempo pendek untuk jangka tak terbatas. Sekitar 13.000 orang 
dibuang ke Pulau Buru, kira-kira 500 perempuan ke Plantungan. Banyak di antara 
mereka terdiri dari kaum intelektual, kaum seniman, para pekerja trampil, para 
pemimpin pemuda dan perempuan, para pemikir bangsa. Mereka yang masih hidup 
telah disia-siakan bertahun-tahun, bahkan sampai mereka dibebaskan pun. Kaum 
cerdik pandai yang ada di luar negeri tak dapat memberikan sumbagannya ke 
tanahair. Jutaan anak-anak ikut menderita tanpa tumpuan kuat, tanpa rasa aman, 
tanpa pendidikan memadai, pindah dari satu keluarga ke keluarga yang lain, 
bahkan sebagian menggelandang menjadi anak jalanan. Terhadap kaum paria ini 
bukan saja belum pernah dipulihkan hak-haknya, bahkan belum pernah diakui 
proses yang membuatnya paria yang dilakukan oleh rezim berkuasa.

Di antara mereka itu terdapat ribuan guru dan calon guru, ribuan kaum 
intelektual dan calon intelektual, ribuan kaum cerdik pandai dan calon cerdik 
pandai, pendeknya ribuan pemimpin dan calon pemimpin. Ada generasi yang hilang. 
Apa akibatnya? Sampai saat ini kita tidak punya pemimpin berkualitas, apalagi 
pemimpin sekaliber Bung Karno. Kita tidak punya pujangga sekaliber Pramoedya 
Ananta Toer meskipun ia tak juga diakui oleh negara yang ikut dia dirikan 
dengan perjuangan dan prestasinya. Itulah salah satu dosa rezim militer Orba 
tak terampuni, menciptakan hilangnya generasi. Rezim militer Orba Suharto sudah 
terguling, tetapi rezim lama tetaplah berkuasa.

Dalam survei nasional pada 2003, di antara 18,6 juta anak balita (di bawah umur 
5 tahun) terdapat 3,57 juta mengalami kurang gizi dengan 1,54 juta bergizi 
buruk. Pada tahun 2005 angka tersebut menjadi 5 juta dengan 1,8 juta bergizi 
buruk, meningkat menjadi 2,3 juta pada 2006. Angka-angka yang disiarkan 
pemerintah biasanya angka bikinan, kenyataan di lapangan biasanya lebih besar 
daripada angka-angka tersebut. Mereka ini juga menderita busung lapar, 
kekurangan kalori dan protein. Mereka tersebar di banyak tempat di NTT, NTB dan 
Papua, tetapi juga terdapat di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Banten, 
juga di daerah lumbung padi Jawa Barat.

Bayi kekurangan gizi meliputi 28 %. Dari sekitar 4 juta ibu hamil, 50 % 
mengalami anemia gizi, satu juta lainnya kekurangan energi kronis. Dalam 
kondisi tersebut 350.000 bayi lahir dengan kekurangan berat badan. Di antara 31 
juta anak, ada 11 juta bertubuh pendek karena kurang gizi. Terdapat 10 juta 
kelompok remaja putri (usia 15-19 tahun) 3,5 juta mengalami anemia gizi, 11,5 
juta perempuan usia subur dalam keadaan yang sama, 30 juta kelompok usia 
produktif mengalami kekurangan energi kronis.Tentu saja ini semua erat sekali 
hubungannya dengan kemiskinan, lebih dari 100 juta orang miskin. Angka balita 
gizi kurang dan gizi buruk di Provinsi Riau yang kaya minyak itu meningkat dari 
tahun ke tahun, dari 12,4 % pada 2004, 14,2 % pada 2005 dan 19,27 % pada 2007.

Mantan Presiden BJ Habibie yang ahli pesawat terbang dan pendiri IPTN yang 
kemudian bangkrut itu menyatakan produktivitas rakyat Indonesia yang rendah 
merupakan pangkal kemiskinan. Dia tidak menganalisis kondisi kemiskinan membuat 
rakyat tidak memiliki sarana apa pun atau tak cukup memiliki sarana, termasuk 
akses pendidikan dan informasi minimum untuk meningkatkan produktivitasnya. 
Dikatakan olehnya di depan forum ICMI pada 7 Juni 2006, kemajuan suatu bangsa 
terletak pada sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Dia tak 
menjelaskan apa saja yang telah diperbuatnya selama ikut berkuasa sekian puluh 
tahun terhadap pendidikan rakyat umum. Betapa potensi triliunan rupiah dan 
miliar dollar yang dikeluarkan untuk IPTN yang kemudian menghasilkan 
penyia-nyiaan tenaga kaum cerdik pandai dan para ahli bidang teknologi. 

Tahun-tahun 2009 dan 2010 keadaan tidak membaik bagi kaum miskin. Hilangnya 
generasi merupakan persoalan gawat. Sekali lagi kita terancam kehilangan 
sebagian dari satu generasi karena jutaan balita kekurangan gizi yang 
dilahirkan oleh para ibu yang kurang gizi pula. Mereka akan menjadi generasi 
orang dewasa yang kecerdasannya terdistorsi alias kurang cerdas atau bahkan 
“kosong” otaknya alias generasi yang hilang. Apa kita yang masih mendapatkan 
cukup kecerdasan dan hati nurani akan diam saja? (Dipetik dari naskah belum 
terbit, Harsutejo, “Kamus [anti]-Orba:Cinta Tanahair dan bangsa”].

 

Kirim email ke