*Kartu Lebaran bukan hanya sarana mengucapkan “Selamat Idul Fitri” tapi juga
bermuatan politis.
*

KARTU ucapan di hari Lebaran tampaknya tinggal sejarah. Kartu elektronik via
internet dan pesan singkat sudah menggantikannya dengan cara yang lebih
cepat dan murah. Berkirim kartu lebaran kini menjadi kebiasaan yang
dilakukan segelintir orang.

Kebiasaan mengirim kartu ucapan sudah dikenal sekira 4.000 tahun lalu.
Bangsa Mesir mengenal “scarabs”, batu-batuan berharga berbentuk kumbang.
Bangsa Romawi saling bertukar simbol “kesehatan” maupun “kemauan baik”,
dalam bentuk buah-buahan kering dan madu, maupun lempung bakar.

Kartu ucapan dipelopori oleh John Calcott Horsley, seniman London, yang pada
1843 membuat kartu Natal pertama. Di dalam kartunya tertulis ucapan yang
terkenal hingga kini: “A Merry Christmas and A Happy New Year to You”. Tapi,
baru sejak 1880, kartu Natal menjadi bisnis besar, yang memberi peluang bagi
seniman, penulis, pelukis, dan pemotret. Berkirim kartu ucapan kemudian
menjadi kebiasaan yang menyebar ke seluruh dunia. Kebiasaan ini tak bisa
dilepaskan dari perkembangan kartu pos, yang merupakan ide Dr Heinrich von
Stephan di Jerman pada 1865 –meski akhirnya Dr Emmanuel Hermann dari Akademi
Militer Wiener-Neustadt yang diakui sebagai pencetusnya.

Belanda mulai mengadopsi *briefkaart *(kartu pos) tanpa gambar pada 1871
yang segera disusul negeri jajahannya, Hindia Belanda. Pada 1893 muncul
kartu pos bergambar pertama di Batavia. Pemerintah tak mengizinkan swasta
mencetak kartu pos bergambar, namun akhirnya larangan itu dicabut. Beberapa
percetakan besar dan pengusaha di beberapa kota pun kemudian memproduksi
kartu pos; umumnya bergambar keeksotisan alam Hindia Belanda. Kartu-kartu
pos ini biasanya dipakai untuk menyampaikan pesan singkat, juga ucapan
selamat.

Pada 1898, misalnya, firma H. Bunning mengeluarkan seri kartu pos
Yogyakarta, Prambanan dan Borobudur. Salah satu kartu pos bergambar patung
Buddha di Borobudur. Leo Haks dan Steven Wachlin dalam *Indonesia: 500 Early
Postcards* mengisahkan, ada yang mengirim kartu itu ke Belanda sebagai kartu
ucapan tahun baru. Ketika tiba di sana, petugas pos Rotterdam menganggap
gambar Buddha yang telanjang “kurang sopan” untuk disampaikan kepada si
penerima. Maka sang Buddha diberikan “pakaian” dahulu, kartu pos itu lalu
dimasukkan dalam amplop. Si penerima terpaksa harus membayar biaya ekstra
7,5 sen.

Bagaimana dengan kartu Lebaran? Sulit menentukan kapan umat Islam mulai
menggunakan kartu Lebaran. Sebagian umat Islam menganggap kartu Lebaran
bukan tradisi Islam, apalagi jika kartu itu dikirim oleh non-Muslim,
sehingga dilarang. Yang membolehkan menganggap bahwa tujuan kartu lebaran
adalah untuk silaturahmi dengan sesama Muslim yang tak bisa dikunjungi. Di
sisi lain, tradisi di sejumlah daerah di Indonesia tak mendukung popularitas
kartu Lebaran. Lebaran adalah saat yang lebih mudah mengunjungi dan meminta
maaf kepada yang lebih tua; yang lebih rendah pangkatnya mengunjungi yang
lebih tinggi.

Meski hanya populer di kalangan terbatas, penggunaan kartu Lebaran juga
dikenal di Hindia Belanda. Pada 1918, sebuah kartu Lebaran dibuat oleh
Singer Sewing Machine Co. Isinya, selain ucapan selamat Lebaran, juga
peringatan kepada para peminjam mesin jahit agar menyimpan uang untuk
membayar sewa mesin jahit bulan Juli dan Agustus 1918.

Sementara itu, menurut sejarawan JJ Rizal dalam “Menemukan Makna Tradisi
Lebaran”, *Tempo*, 5 November 2006, kartu Lebaran kali pertama beredar pada
1927. Dua tahun kemudian, ketika krisis melanda dunia, Idul Fitri dijadikan
momentum politis. “Sebagai simbolisasi harapan-harapan itu, rakyat mengganti
kartu Lebaran yang beredar pertama kali tahun 1927 dengan gambar orang
berperahu sambil mengibarkan bendera Belanda dengan desain baru yang lebih
sesuai dengan semangat zaman,” tulis pengelola Penerbit Komunitas Bambu itu.

Di masa pendudukan Jepang, kartu Lebaran juga dipakai penguasa militer untuk
kepentingan politis, yakni merangkul umat Islam demi tujuan perangnya. Tak
heran jika penguasa –meski awalnya melakukan pembatasan karena adanya
pembenahan administrasi di masa transisi– memberikan kebebasan kepada
mayarakat untuk saling mengirim karcis –sebutan untuk kartu saat itu–
Lebaran.

“Mulai sekarang telah diperkenankan oleh Djawatan Pos untuk mengirimkan
kartu Lebaran dengan tak memakan batas. Pengiriman dengan menerangkan alamat
yang lengkap di dalam amplop. Adapun ongkos pengiriman seperti biasa, dua
sen,” tulis *Tjahaja*, 18 September 1943.

Bahkan, melalui media, penguasa militer mengumumkan tatacara pengiriman
kartu lebaran. Disebutkan: agar mudah dikenal, pada sampul karcis harus
diberi tanda dua garis yang merupakan palangan, ditarik dari tiap sudut
sampulnya dengan tinta atau potlot; Djawatan Pos akan berusaha sedapat
mungkin menyerahkan karcis-karcis tersebut ke alamat yang dituju pada malam
atau hari Lebaran; Untuk karcis-karcis yang dikirim menjelang Ramadan
berakhir, kantor pos tak menanggung penyerahan karcis-karcis itu tepat
waktu.

“Akhirnya diperingatkan kepada umum bahwa pada sampul-sampul karcis-karcis
Lebaran pun harus ditulis juga nama dan alamat si pengirim dengan lengkap
dan terang,” tulis *Soeara Asia*, 23 September 1943.

Setahun kemudian, kembali penguasa militer memanfaatkan momen Idul Fitri
untuk mendapat dukungan dari umat Islam di tanah air. Pada 7 September 1944,
dalam Sidang Istimewa ke-85 *Teikoku Ginkai *(Parlemen Jepang), Perdana
Menteri Koiso mengumumkan bahwa Hindia Timur (Indonesia) akan merdeka di
kemudian hari. Janji itu juga tercermin dalam kartu Lebaran. Selain berisi
ucapan “Selamat Idul Fitri”, karcis lebaran rata-rata disertai salam
“Indonesia Merdeka”.

“Slogan ‘Indonesia Merdeka’ itu ibarat obat mujarab bagi bangsa Indonesia
yang menderita selama dijajah Belanda. Kita harus memakainya dengan
baik-baik sesuai dengan petunjuk dan resep dokternya, yaitu Dai Nippon. Yang
tidak dapat ditawar lagi ialah kita harus berani dan ikhlas berkorban untuk
mencapai Indonesia merdeka itu dengan berjuang mati-matian bersama Dai
Nippon dalam perang Asia Timur Raya ini. Dai Nippon menang, Indonesia pasti
merdeka!” tulis *Tjahaja*, 22 September 1944.

Politisasi kartu Lebaran juga terjadi pada masa Orde Baru. Pada 1997, Ketua
Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) Sri-Bintang Pamungkas membuat
kartu Lebaran berisi agenda politik PUDI yang menentang rezim Soeharto.
Penguasa menganggap Bintang melakukan makar. Bintang pun menghuni LP
Cipinang.

Hingga pengujung 1990-an, kartu Lebaran masih diminati hingga posisinya
mulai tergantikan oleh internet dan ponsel. Kantor Pos pun mesti
tertatih-tatih mempertahankan keberadaan kartu Lebaran, termasuk dengan
membagikannya secara gratis.*[HENDRI F. ISNAENI]
*

*Sumber:
http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-306-merdeka-kartu-lebaran.html#cn
*

*Tulisan-tulisan sejarah lainnya klik saja **
http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/home*

*Salam, Redaksi Majalah Historia Online
*

Reply via email to