Bahasan Topik yang menarik, artikelnya sangat menarik, mohon ijin kopasnya. 
Saya mau koment saja 
"menurut Pandangan saya tentang Baju koko, sebenarnya tidak lah aneh bagi 
Masyarakat Tionghoa, Bahkan baju koko Tidak harus motif Islami, mungkin ditulis 
oleh bung Helmi, Menjadi batu acuan sebernarnya beraneka ragam Budaya Indonesia 
itu, memang sangat disayangkan kalau ada orang Tionghoa anti memakai Baju koko, 
saya sendiri memiliki 2 baju koko, tapi bukan versi islami, polos dengan motif 
cukup menarik".

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Ophoeng" <opho...@...> wrote:
>
> Bund David Kwa dan Ttm semuah,
> 
> Hai, apakabar? Sudah makan?
> 
> Hehehe...... maksud hati sih diam ajah dan senyum baca komentar anda, tapi 
> apalah daya tangan ni gatal tak kuasa menahan gejolak hati untuk 
> mengetuk-ketuk-kannya di atas keyboard.
> 
> Nama Remy Sylado konon benar adanya diambil dari nada lagu, karena dia 
> penggemar musik di samping menjadi novelis. Tapi, sorry, Re = 2 mi = 3, bener 
> adanya. Cuma Sy = 4? Kayaknya anda salah terpeleset jari di atas keyboard. Sy 
> atau si dalam nada lagu adalah 7, jadi yang bener - sorry, agak betrele-trele 
> nih: 23 761.
> 
> Lalu, kalau soal 'engkoh' untuk merujuk 'ko', kayaknya sih sah ajah, lha 
> bukankah (anda sendiri yang ngepost?) pernah dibahas di milis kita, bahwa 
> 'enso' itu dari 'sousou', engkong dari 'kungkung', encim, encek, engkim, jadi 
> kayaknya emang bener sih 'engkoh' itu untuk koko.
> 
> Kalau anda bilang gaya dia bertutur itu mengada-ada, lebai, rasanya sih ya 
> boleh-boleh saja dan sah-sah saja, sebab dia sedang bertutur di novel 
> tulisannya: "Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah".
> 
> Dan, kalau ditanya, kenapa harus “pake ribet” sebab dihubungkan dulu 
> dengan “engkoh-engkoh” segala rupa (pake tambahan “eng” di depannya)? 
> Kenapa bahasa Indonesia (apakah pasti bahasa Indonesia dan bukan bahasa lain, 
> Melayu, Sunda, atau Jawa, misalnya?) harus mengejanya DARI kata 
> “engkoh-engkoh”, seperti kata dia, bukan LANGSUNG dari kata “koko” 
> saja? -- Jawabnya: karena dia namanya Remy Sylado, bukan David Kwa, sih, jeh!
> 
> Hehehe..... kalem ajah-lah, sesama bus kota kabarnya dilarang saling 
> menyalip, tiap individu katanya memang unik, gak ada yang sama persis, bahkan 
> sepasang anak kembar sekalipun!
> 
> Salam makan enak dan sehat,
> Ophoeng
> 
> 
> 
> 
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David" <dkhkwa@> wrote:
> 
> Owe rasa Remy Sylado (23 461) terlalu “maksa” di sini. Bila baju koko mau 
> dihubungkan dengan “baju kakak laki-laki”, itu sah-sah saja; toh tidak 
> ada yang melarang, sebab “koko �"��"�” kan artinya “kakak 
> laki-laki” dalam bahasa Indonesia; “abang” dalam bahasa Melayu; 
> “lae” dalam bahasa Batak; “akang atau a’a” dalam bahasa Sunda; 
> “mas” dalam bahasa Jawa; dan “belih” dalam bahasa Bali. Tapi 
> “Koko” ya MBOK cukup “koko” saja, karena kata ini cukup populer dan 
> singkat pula, kenapa harus “pake ribet” sebab dihubungkan dulu dengan 
> “engkoh-engkoh” segala rupa (pake tambahan “eng” di depannya)? Kenapa 
> bahasa Indonesia (apakah pasti bahasa Indonesia dan bukan bahasa lain, 
> Melayu, Sunda, atau Jawa, misalnya?) harus mengejanya DARI kata 
> “engkoh-engkoh”, seperti kata dia, bukan LANGSUNG dari kata “koko” 
> saja? Koq rasanya dia terlalu mengada-ada alias Lebay ya…
> 
> 
> 
> --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, hendri f isnaeni <hendrifisnaeni@> 
> wrote:
>  
> Bagaimana ceritanya tui-khim menjadi baju koko? Menurut Remy Sylado, karena 
> yang memakai tui-khim itu engkoh-engkoh sebutan umum bagi lelaki Cina maka 
> baju ini pun disebut baju engkoh-engkoh. Dieja bahasa Indonesia sekarang 
> menjadi baju koko, kata Remy dalam novelnya Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok 
> Khalifah.
>


Kirim email ke