NIPPONG
Cerita Hujan

Setelah Tambolaka dibuka untuk penerbangan komersil, remaja di kampung kami 
jadi kehilangan tempat bermain. Padahal lapangan luas yang sempat ditumbuhi 
pepohonan liar dan alang-alang itu adalah tempat yang mengasyikkan untuk 
berlari-larian, sekadar memerebutkan si kulit bundar atau menjaring angin dan 
menaikkan layang-layang. Atau juga membiarkan sapi-sapi milik kami makan dengan 
kenyang di sana.

Saban sore biasanya lapangan luas itu didatangi remaja-remaja dari berbagai 
desa di sekitarnya. Lapangan luas itu akan selalu ramai, hingga pada akhirnya, 
matahari merambat ke arah barat dan tenggelam di balik gundukan bukit kapur. 

Sepi merayap dan malam membungkus lapangan yang pernah menjadi markas tentara 
Jepang pada revolusi fisik berkecamuk.

Tibalah pada sebuah pagi, dimana Dominik harus pergi ke hutan. 

Seperti biasa, lelaki yang tak lagi muda itu pergi mencari rotan di tengah 
hutan. Dengan langkah sigap, Dominik menelusuri bukit kapur dan membelah 
ilalang yang tumbuh di lapangan tempat biasa remaja menghabiskan sore harinya.

Lapangan luas itu disusurinya, menanjak sedikit, melewati gundukan tanah bekas 
gua Jepang, lalu turun melewati celah-celah lubang yang ada di balik gundukan 
tanah itu. Sambil terus memercepat langkahnya, lelaki itu meraba dinding gua 
untuk memotong jalan pintas ke tengah hutan. 

Semakin dalam Dominik berjalan, semakin bias sinar mentari meredup dan 
mengganggu penglihatan. Dominik mulai meraba-raba menyusuri dinding gua yang 
gelap dan lembab.

Dua puluh tahun sebelumnya, sebuah bom meledak. Dengan kekuatan yang dahsyat, 
bom-bom berjatuhan dari langit. Seperti hujan. Sementara, di langit terdengar 
raungan  Mustang P-51 membuncah langit malam.

“Selamatkan diri masing-masing. Kita bertemu lagi nanti,” ujar seseorang dari 
balik malam yang dihiasi pijar api.
“Kapten, bagaimana dengan yang terluka?” tanya seseorang yang wajahnya diterpa 
cahaya pijar api, gelap terang, silih berganti.
“Tinggalkan dengan sebilah samurai,”
“Tapi Kapten,”
“Ini perintah. Besok, setelah aman kita kembali lagi, dan menjemput mereka,”

Sementara itu, di langit, Mustang P-51 terus mengamuk. Meneror dan menghujani 
lapangan terbang dengan bom-bom yang didatangkan dari Pearl Harbour. Sepanjang 
malam, bom dijatuhkan. Hancur, luluh lantak semua menjadi cerukan-cerukan. 

Kini tak ada lagi gudang amunisi, sebab NICA pun berhasil diusir dari tanah 
kami.

Dominik terus meraba mencari secercah cerah cahaya yang menembus pengap dinding 
gua. Dengan hati-hati, sepasang kakinya terus diseret di atas tanah yang 
mengeras, yang telah bertahun-tahun dijadikan sebagai jalan memotong menuju 
hutan. Dominik melangkah dengan harapan mendapat banyak rotan.

Tak seberapa jauh, cahaya pun terlihat menembus pori-pori kulit gua. Dominik 
memercepat langkahnya. Lelaki itu semakin mantap bisa segera keluar dari jalan 
tikus yang pengap itu.
Gua itu bukan satu-satunya jalan pintas yang menghubungkan lapangan terbang 
dengan bibir hutan. Gua itu hanyalah salah satu dari ratusan kamar yang saling 
berhubungan di dalam tanah. Saling menghubungkan dari satu cerita ke cerita 
lainnya, dari satu kisah dan rindu ke kisah pedih dan rasa malu. Begitu 
seterusnya. .

Lorong-lorong gua itu seperti sungai yang tak bermuara. Begitu saja mengalir di 
bawah tanah. Sembunyi dari hiruk pikuk dunia atas. Larut dalam kisah mistis dan 
dongeng yang dibacakan orang-orang tua. Memejal bersama legenda heroik 
pejuang-pejuang pembebasan tanah kami dari tangan penjajah.

Gua itu saksi bisu, yang akan mengisahkan ribuan misteri. Yang akan dikisahkan 
terus kepada penerus generasi kami nanti. 
***

Sesuatu yang berkilauan berkelebat tak jauh dari tangan kiri Dominik yang 
tengah menggapai sebuah dahan pohon. Dominik kaget. Diurungkannya niatnya untuk 
keluar dari mulut gua.

“Bakero!” ujar seseorang dari luar sambil terus menyabetkan pedangnya. Takut, 
Dominik kembali masuk ke dalam gua dan berlari ke arah celah tempat dia masuk.

“Penyamun, penyamun, penyamun!” teriak Dominik sambil terus berupaya keluar 
dari gua.

Alkisah, siangnya, kabar tentang keberadaan penyamun di kampung kami menjadi 
besar. Apalagi, telah terjadi penambahan dalam kisah yang dibawa Dominik.

“Penyamunnya, banyak. Lebih dari sepuluh. Panjang pedangnya sampai dua meter.” 
“Mata kirinya ditutup, seperti bajak laut,”
“Tangannya bertato. Gambar tengkorak,”
“Biadab. Penyamunnya biadab,”
“Penyamunnya, orang Brazil!”
“Portugis!”
“Bukan, penyamunnya dari desa sebelah!”
“Mereka maling sapi!”
“Bukan mereka penadah kayu cendana!”

Dan sebagainya.

Sore hari itu. Tak ada remaja yang berani main di lapangan itu. Pasalnya, 
dongeng tentang keberadaan penyamun semakin menakutkan. Dikisahkan, penyamun 
bukan saja tega membunuh orang. Tetapi mereka juga berasal dari suku kanibal.

“Benar, penyamunnya lebih dari sepuluh orang?” tanya ketua kampung kami. 
Dominik menunduk. 

Malam itu seluruh warga telah siap siaga dengan peralatan tempur. Mereka 
berdesakan di halaman rumah ketua kampung. 

“Sa, saya tidak melihat jelas Pak,” jawab Dominik.
“bagaimana dengan pedangnya?” 
“Saya melihatnya Pak, pedangnya panjang dan meliuk-liuk di hadapan saya,”
“Dua meter?”
“Tidak jelas Pak,”
“Kenapa?”
“Mata saya silau kena sinar matahari Pak,”

Kepala kampung diam sejenak. Di pikirannya, penyamun dalam kisah ini tentulah 
berbahaya. Brutal, dan bisa jadi mereka juga kanibal. Maka tanpa ambil waktu 
lama, kepala kampung kami segera mengeluarkan maklumat.

“Diwajibkan bagi lelaki, yang muda dan sehat, malam ini juga berangkat untuk 
memburu para penyamun. Meringkus mereka, hidup atau mati,” tegas kepala 
kampung. 

Maka malam itu juga ratusan lelaki di kampung kami pergi menyusuri gua tempat 
Dominik mengisahkan pertemuan dirinya dengan penyamun.

Dengan alat berburu babi dan dibantu sinar obor, ratusan lelaki kampung kami 
menyusuri celah-celah dan sungai misteri di dalam perut bumi kami. 
“Di sini tidak ada,”
“Di sini juga,”
“Tidak di sini,”
“Sama!”

Perburuan terus berlanjut hingga pagi hari. Dan, petunjuk keberadaan para 
penyamun pun berhasil ditemukan. 
“Mereka sembunyi di sini,” ujar seorang warga. 
“Betul, tak salah lagi!”
“Ini sampah makanannya, dan ini bekas tungku apinya,” ujar seseorang.
“Siap-sedia!” perintah kepala kampung.

Belum selesai, dia memerintahkan warganya, seseorang dengan cepat menyabetkan 
pedangnya ke arah kepala kampung.

“Bakero!” teriak penyamun sambil terus menyabetkan pedangnya. Warga panik. Sang 
penyamun dilempari dengan obor dan batu.

“Tahan, tahan. Tangkap dia hidup-hidup!”

Berpuluh-puluh tinju dilesakkan ke arah rusuk sang penyamun. Dia roboh dan 
lumpuh dalam sekejap.

Siangnya, si Bakero (kami kemudian memanggilnya dengan sebutan itu), sudah 
dibawa ke tengah lapangan terbang. Tangannya diikat. Dia setengah telanjang 
dengan janggut yang tumbuh panjang hampir menutupi bidang dadanya. Sementara 
tulang rusuk kelihatan menonjol dari kulit perutnya.

“Mengaku, dimana yang lainnya!” ujar kepala kampung kami dengan gelagapan. 
Meski si Bagero sudah diikat, namun dia kelihatan gelisah sekali.
“Se, sekali lagi, di mana penyamun lainnya?”

Pertanyaan kepala kampung dijawab dengan bahasa aneh. Bukan bahasa Portugis. 
Tapi bahasa asing yang kami tak pernah dengar sebelumnya.

“Bakero!” teriak sang Penyamun. Dia terus berteriak teriak dengan bahasa aneh. 
Lelaki yang diikat itu hanya bisa meronta-ronta sambil terduduk menyilangkan 
kakinya. Sementara anak-anak di kampung kami terus menarik rambutnya yang 
panjang dan telah memutih.

“Berhenti,” ujar kepala adat. Lelaki yang sudah sepuh itu muncul ke 
tengah-tengah orang yang bergerombol.

Sejenak dia berdiri mematung kemudian berkata, “Nippong. Dia Nippong! Jepang!” 

Si Bakero terkesiap dan memandang lama ke arah ketua adat. “Nippong, Nippong” 
ulangnya mengikuti ketua adat.

Seorang warga lari menghampiri si Bakero dengan cepat warga itu melayangkan 
sebuah pukulan ke arah si Bakero. 

“Biar kubunuh dia. Aku bunuh dia!” teriak warga itu sambil berupaya meraih si 
Bakero.
***

Sore itu, Fransiskus, warga kampung kami yang pernah sekolah di pulau Jawa 
didatangkan ke lapangan. Lelaki yang pernah bekerja di restauran Jepang itu 
kemudian menjadi alih bahasa untuk si Bakero.

Dengan bahasa seadanya, Fransiskus mencoba berdialog dengan si Bakero. Awalnya 
si Bakero tampak tak bersahabat. Namun begitu dia tahu, Fransiskus, 
satu-satunya pemuda yang mengharumkan nama kampung kami karena sekolah di pulau 
Jawa itu bisa berbahasa Jepang, Si Bakaro pun sedikit tenang. Sehingga, 
belenggu tangannya dilepaskan. 

“Dalam penanggalan, saya sudah menunggu selama 20 tahun tiga minggu lebih dua 
hari. Tapi mereka tidak datang. Kalianlah yang justru datang dan menangkap 
saya. Sekarang saya tak bisa lagi sembunyi,”

“Jepang sudah pergi Pak, Indonesia sudah merdeka.”
“Merdeka? Jepang kalah? Hah, tidak mungkin,” ujar si Bakero sambil 
menggelengkan kepalanya.

“Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Amerika. Dan sejak September 1945 Jepang 
sudah kalah. Tak ada lagi Asia Timur Raya. Tak ada lagi, Pak,” kata Fransiskus.

“Hah,” geram si Bakero. “20 tahun aku hidup demi melihat kemuliaan Asia Timur 
Raya dan Hinomaru berkibar di seluruh pantai Asia Pasifik. Tapi ternyata, 
perjuanganku untuk hidup sudah sia-sia. Mereka tak mungkin menjemputku. Aku 
sudah dianggap mati. Seharusnya aku sudah sadar dari dulu. Seharusnya dari dulu 
aku sudah melakukan seppuku. Aku tak bisa hidup menahan malu anak muda. Tolong 
bunuh aku, bunuh aku,” ujar si Bakero sambil bangkit dan mengejar orang-orang.

Warga yang tak tahu apa yang sedang dibicarakan langsung berhamburan. Sementara 
si Bakero terus berupaya merebut senjata dari tangan warga.
***

Sejak Tambolaka dibuka untuk penerbangan komersil, maka remaja di kampung kami 
tak lagi menghabiskan waktu di atas tanah lapang yang ditumbuhi ilalang 
setinggi lutut. 

Kampung kami terus merayap, membuka diri bagi dunia luar. Pemuda-pemuda yang 
dulu biasa berlari mengejar bola atau sekadar menjaring angin di lapangan 
Tambolaka kini sudah pergi meninggalkan kampung, berlari mengejar 
mimpi-mimpinya masing-masing. Ada yang pulang dan berhasil dan ada yang tak 
pernah kembali lagi. 

Sebagian dari mereka yang pulang ikut memberikan sumbangsih kepada kampung 
kami; memupuk mimpi dan merawat janji. Seperti yang selalu dikisahkan guru 
kami, Fransiskus, tentang kesetiaan si Bakero kepada negerinya. Kepada mimpi 
Asia Timur Raya.


Palmerah: Kamis, 10 Oktober 2008

(Dimuat pertama kali di Rakyat Merdeka Online, Jumat 6/3)
=========================  
  
  --Hidup adalah sekotak cokelat, Kau tak akan pernah tahu akan mendapat yang 
mana,--  
  
  ========================= 


      

Kirim email ke