* BPK Dukung Pengambilalihan Aset Yayasan Soeharto Koran Tempo - Kamis, 05 April 2007
JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendukung rencana pemerintah mengambil alih aset tujuh yayasan yang didirikan oleh mantan presiden Soeharto. "Sudah jelas (aset yayasan Soeharto) itu bagian dari kekayaan negara," kata Ketua BPK Anwar Nasution kepada Tempo di Jakarta kemarin. Yayasan-yayasan yang didirikan oleh presiden kedua Indonesia ini, menurut dia, milik negara karena pembentukannya memakai fasilitas pemerintah. "Yayasan Soeharto hidup dari berbagai potongan-potongan pemerintah," ujarnya. Anwar memberikan contoh aset di Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. "Itu kan semua dari gaji pegawai negeri, nggak peduli dia Kristen, Yahudi, atau Buddha. Semua dipotong gajinya dimasukkan ke sana. Kan nggak lucu," Anwar menambahkan. Karena itu, dia melanjutkan, pengambilalihan aset yayasan-yayasan Soeharto harus segera dilakukan untuk mencegah kerugian negara. Direktur Akuntansi Departemen Keuangan Hekinus Manao pada Selasa lalu menyatakan pengambilalihan aset tujuh yayasan itu harus dilakukan karena saat pendiriannya menggunakan fasilitas negara (Koran Tempo 4 April). Hekinus kemarin menjelaskan, Departemen Keuangan saat ini baru menginventarisasi aset-aset yayasan Soeharto untuk dimasukkan ke Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2006. Departemen Keuangan, katanya, tidak berfokus pada upaya sistematis pengambilalihan aset yayasan tersebut menjadi aset negara. "Tugas kami hanya menginventarisasi asetnya dan melaporkan. Urusan legalnya ada di pihak lain (Kejaksaan Agung)," katanya. Departemen Keuangan sudah berkomunikasi aktif dengan para pengelola yayasan-yayasan Soeharto tersebut. Namun, dia mengakui status kepemilikan aset berbagai yayasan Soeharto memang masih diperdebatkan oleh pemerintah dan pengelola yayasan. "Kami mendebatkan apakah itu uang pemerintah, setengah pemerintah, atau memang milik pribadi itu," kata Hekinus. Soebijakto Tjakrawerdaya, Sekretaris Yayasan Dana Mandiri, salah satu pengelola yayasan yang didirikan Soeharto, mengakui Departemen Keuangan secara resmi telah meminta pengelola memberikan laporan keuangan Yayasan Dana Mandiri. "Mereka (pemerintah) bilang itu untuk melengkapi laporan keuangan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat," katanya kepada Tempo di Jakarta, Selasa lalu. Namun, kata dia, permintaan tersebut aneh karena Yayasan Dana Mandiri bukan milik pemerintah. "Kenapa harus melapor ke pemerintah. Kalau dilaporkan, itu artinya yayasan itu milik siapa?" Pengacara keluarga Soeharto, O.C. Kaligis, menilai rencana pengambilalihan aset yayasan Soeharto oleh pemerintah tidak memiliki dasar hukum. "Tak bisa diambil alih begitu saja," ujarnya kemarin. Jika hendak mengambil alih aset yayasan Soeharto, seharusnya pemerintah menggugat sehingga bisa melakukan penyitaan. Namun, pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, kata dia, juga tidak dapat menyita karena sudah menghentikan penuntutan perkara dengan alasan Soeharto sakit.AGUS SUPRIYANTO | FANNY FEBIANA Sumber: Koran Tempo - Kamis, 05 April 2007 ===================== HARIAN SUARA MERDEKA, Kamis, 05 April 2007 NASIONAL Ambil Alih Aset Yayasan Soeharto Depkeu Dinilai Tidak Punya Dasar Hukum JAKARTA- Rencana Departemen Keuangan (Depkeu) mengambil alih yayasan milik mantan Presiden Soeharto yang diduga hasil korupsi, dinilai tidak punya dasar hukum. Kuasa hukum keluarga Cendana Otto Cornelis (OC) Kaligis, kemarin, menegaskan, "Apa yang dikatakan Depkeu, kalau saya pikir, tidak ada dasar hukumnya, karena kalau mau disita tidak mengenal pengambilalihan." Saat di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, dia mengatakan, bila Depkeu akan mengambil alih, harus menggugat terlebih dahulu. Bila gugatannya adalah gugatan perdata, akan sulit apalagi bila tidak ada unsur laporan pidana. "Bila ingin melaporkan gugatan harus didasarkan pada Pasal 38 KUHP (tentang pencabutan hak)," katanya. Dia juga mempertanyakan mengapa saat yayasan yang dipimpin HM Soeharto menyumbang ribuan masjid dan gereja, serta beasiswa, Depkeu sama sekali tidak mempermasalahkan. Menurutnya, apakah ini menunjukkan bahwa Depkeu tidak objektif melihat masalah yayasan-yayasan tersebut. (F4-46) ======================== * Negara Ambil Alih Aset Yayasan Soeharto Koran Tempo - Rabu, 04 April 2007 JAKARTA -- Pemerintah akan segera mengambil alih aset-aset tujuh yayasan yang didirikan oleh mantan presiden Soeharto. Pengambilalihan tersebut, menurut Direktur Akuntansi Departemen Keuangan Hekinus Manao, harus dilakukan karena saat pendiriannya menggunakan fasilitas negara. "Kami tahu (yayasan) itu dulu dananya berasal dari penyisihan sebagian untung perusahaan negara," ujarnya kepada wartawan di Jakarta kemarin. Namun, Hekinus belum bersedia memerinci ketujuh yayasan tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, definisi kekayaan negara adalah kekayaan yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas pemerintah. Undang-undang tersebut, kata dia, menjadi dasar hukum pemerintah meminta haknya ke yayasan yang didirikan oleh Presiden Indonesia kedua tersebut. Dia mengungkapkan, meski sudah berkomunikasi aktif dengan para pengelola yayasan, pemerintah belum berhasil meyakinkan mereka bahwa aset-aset itu milik negara. Dia menegaskan pemerintah tak akan menyerah dan tetap akan mengambil alih aset-aset tersebut. Saat ditanyakan nilai aset ketujuh yayasan tersebut, dia mengaku belum tahu. Pemerintah baru berhasil menginventarisasi nilai aset Taman Mini Indonesia Indah, tempat wisata yang didirikan Yayasan Harapan Kita, Rp 31,28 miliar. Angka tersebut sudah tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat pada 2006. Soebijakto Tjokrowardoyo, Sekretaris Yayasan Dana Mandiri, salah satu yayasan yang didirikan Soeharto, mengakui ada komunikasi intensif antara yayasan dan pemerintah. Dia mengatakan belum ada pembicaraan soal pengalihan aset yayasan ke negara. Sebab, proses perdata yayasan-yayasan tersebut sedang berjalan. "Proses perdatanya kan masih di Kejaksaan Agung. Kalau tiba-tiba bicara soal pengalihan aset, kan kami bingung juga," ujarnya kepada Tempo kemarin. Upaya mendapatkan aset-aset yayasan Soeharto pernah dilakukan pemerintah. Saat mantan orang terkuat itu disangka melakukan korupsi pada 1998, Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan tersebut. Kejaksaan baru berhasil menyita dokumen-dokumen yayasan. Adapun aset fisik yayasan-yayasan tersebut belum dapat disita karena sampai sekarang Soeharto belum bisa disidangkan. Kuasa hukum Keluarga Cendana, Elza Syarif, mengaku tidak tahu-menahu soal pengalihan aset yayasan Soeharto. "Saya hanya menangani kasus hukum Tommy Soeharto," ucapnya. Ahli hukum M. Assegaf, yang pernah menjadi pengacara Soeharto, mengungkapkan aset yayasan-yayasan tersebut bukanlah milik pribadi Soeharto, melainkan atas nama yayasan. AGUS SUPRIYANTO | RINI KUSTIANI Sumber: Koran Tempo - Rabu, 04 April 2007 ===================== * Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa Kompas - Rabu, 04 April 2007 Seorang ahli hukum pidana, Prof Andi Hamzah SH, berpendapat, korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Korupsi merupakan kejahatan biasa yang ada pada semua negara. Korupsi itu sama dengan pencuri dan kasus semacam itu ada pada semua zaman. Pandangan Andi Hamzah yang juga Ketua Tim Penyusun RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu disampaikannya saat menjadi saksi ahli dalam kasus dugaan korupsi dalam perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton, Selasa (3/4) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan terdakwa Pontjo Sutowo dan Ali Mazi. Menurut Andi, korupsi adalah kejahatan biasa yang terjadi di semua negara. Hanya saja, ada negara yang korupsinya banyak, tetapi ada yang sedikit seperti Singapura dan Swedia. �Jadi, bukan extraordinary crime. Korupsi itu ordinary crime, hanya saja di antara kasus itu ada yang tergolong extraordinary. Di antaranya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang nilainya mencapai Rp 170 triliun. Jadi, kita harus berpikir sistematis,� ujar Andi. Menurut catatan Kompas, dalam UU No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No 31/1999 dalam bagian konsiderans menimbang disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Berkaitan dengan draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Andi mengatakan, timnya belum menghasilkan draf RUU final. Pertemuan terakhir dilakukan pada 31 Januari 2007 dan masa kerja tim tersebut telah habis. Ia belum mendapat informasi tentang kelanjutan tim tersebut. Di tengah terjadinya pergeseran paradigma mengenai korupsi di kalangan elite pemerintah; sejumlah tokoh agama, masyarakat, dan akademisi membuat Pernyataan Bersama Tegakkan Hukum dan Berantas Korupsi di Jakarta, Selasa. Hadir dalam pernyataan bersama itu Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Franz Magnis-Suseno, Faisal Basri, Patra M Zen, dan Ismeth Hasan Putro. Mereka mendesak pemerintah lebih serius, tegas, dan konsisten dalam memberantas korupsi yang dilakukan pejabat negara maupun konglomerat hitam. Perlindungan terhadap sejumlah koruptor hanya akan menyengsarakan rakyat. Para koruptor harus dijatuhi sanksi seberat-beratnya dan secepatanya. Magnis mengatakan, korupsi berpotensi mengorupsi moralitas bangsa. Korupsi telah mengorupsi segala usaha bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa bermutu, bertanggung jawab, dan penuh idealisme. Korupsi telah menggerogoti rasa nasionalisme dan mematikan solidaritas nasional karena membuat orang hanya memikirkan diri sendiri. �Saya menyesal pemerintah belum betul-betul jelas dalam hal ini,� kata Magnis. (ana/mzw) Sumber: Kompas - Rabu, 04 April 2007 ================