http://www.indomedia.com/bpost/052007/7/opini/opini1.htm
Bersama (Reshuffle) Kita Bisa Padahal bicara soal hukum, memang diidealkan untuk tidak pandang bulu. Oleh: Pribakti B Dokter RSUD Ulin Banjarmasin Rasa kecewa pasti pernah Anda alami. Kadarnya berbeda-beda. Cinta dikhianati, misalnya. Rasa sedih, kecewa dan sakit hati pasti bisa berbulan-bulan. Bahkan mungkin berakibat depresi berat. Tak jadi dilantik sebagai pejabat padahal sudah menyetor upeti, misalnya, juga mengecewakan. Hasil kerja dicuekin bos, juga bikin sesak dada. Terlebih sebagai staf yang pontang-panting tapi hanya dihargai thank you, atau punggung ditepuk. Padahal, jauh hari mengangankan dapat fulus. Dengan uang itu, paling tidak mulut istri yang acap mencerocos bisa berujung puas. Simak berita TV yang mengecewakan publik adalah ramainya penggusuran di banyak kota besar. Rumah atau tempat usahanya (kaki lima) ludes dirobohkan aparat pemda, karena berdiri di atas trotoar atau tanah negara itu. Kelompok marjinal kota besar seperti di Jakarta, Makassar, Surabaya dan sebagainya, sering atau malah jadi langganan sebagai korban. Apakah mereka tidak bisa menawar agar buldoser tidak menggilas genteng dan dinding rumah mereka, sehingga ada solusi yang tidak mengenaskan seperti yang sering terjadi saat ini? Tentu saja, itu pertanyaan bodoh. Sebab, semua komponen yang bisa berdaya untuk menawar bekerjanya hukum tidak satu pun yang mereka miliki. Sumberdaya politik, mereka juga tidak punya. Entah pada pemilu legislatif atau pemilu presiden lalu, mereka mencoblos partai apa dan foto calon presiden siapa. Yang jelas, mereka kebanyakan bukan terhimpun dalam keanggotaan suatu organisasi yang kuat dan besar. Seandainya mayoritas mereka merupakan anggota organisasi massa besar, mungkin akan terjadi proses tawar menawar. Akan ada kekuatan yang memiliki sumberdaya politik kuat, yang akan ikut memperjuangkan nasib mereka. Sayangnya, mereka tidak mempunyai sumberdaya politik itu. Demikian juga dari sudut sumberdaya ekonomi. Tidak ada yang bisa mereka andalkan untuk 'menawar', agar hukum tidak memperlakukan mereka seperti yang sudah dialami itu. Apalagi menawar dengan cara yang tidak legal, menyuap misalnya. Bahkan menawar secara legal pun mereka tidak akan sanggup. Kalaupun mereka sanggup untuk itu, barangkali peluangnya yang tidak ada. Ini karena yang menginginkan tanah itu merupakan investor kuat yang akan membangun perumahan, pertokoan, mal atau apa saja yang menguntungkan mereka. Sosok yang modalnya bila dibandingkan dengan modal yang dimiliki kelompok marjinal itu, tidak sebanding dengan ukuran apa pun. Pertanyaannya, bagaimana mungkin penegakan hukum yang dilakukan untuk merealisasi semua kepentingan yang kaya dan kuasa seperti itu, akan bisa ditawar oleh mereka? Padahal bicara soal hukum, memang diidealkan untuk tidak pandang bulu. Karena, sejak kelahirannya hukum ditujukan untuk keadilan dan ketertiban bagi semuanya. Mestinya, siapa yang salah harus ditindak, siapa pun ia adanya. Tidak peduli langit akan runtuh, hukum tetap harus ditegakkan. Sederet kalimat tersebut, tentu akan mengundang sinis bagi mereka yang rajin menyimak kenyataan. Siapa bilang hukum tidak pandang bulu? Hukum ternyata memandang bulu juga. Sejarah penegakan hukum memiliki banyak cerita yang tidak terhitung jumlah dan macamnya. Alhasil, sederet kalimat secara praktis memang sering terdegradasi untuk menjadi sekadar jargon. 'Bulu-bulu' yang sering mendegradasi jargon-jargon di atas, bisa berupa kekuasaan politik maupun ekonomi dan koneksi yang dimiliki seseorang. Secara sinis ada yang mengatakan, hubungan antara kekuasaan ekonomi, politik dan tingkat koneksi seseorang dengan penegakan hukum terhadapnya, merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Semakin kuat sumberdaya politik dan atau ekonomi yang dimiliki seseorang, akan semakin lemah hukum bisa menjamahnya. Semakin luas koneksi seseorang, apalagi kalau ia berada di kawasan pusat kekuasaan sosial, hukum semakin lunglai untuk bisa menggapainya. Maka, marilah kita berpikir sebaliknya. Yakni, semakin lemah sumberdaya ekonomi dan atau politik yang dimiliki seseorang, serta semakin rendah tingkat koneksi sosialnya hingga jauh dari pusar pusat kekuasaan sosial, akan semakin kuat dan keras hukum mengarah kepadanya. Jadi, tidak usah heran bila di republik ini, mafia peradilan adalah cerita usang. Perkara diobjekan mulai dari tingkat polisi, jaksa sampai hakim yang melibatkan pengacara itu klise. Maka, kapan lagi pemerintah yang dipersepsikan tidak buta dan tuli itu mengobral kebusukan moral aparat dan birokrat? Membicarakan birokrat yang antikritik itu makin bobrok untuk menggelembungkan proyek, korupsi dan menerima suap? Jangan-jangan, semua itu yang membuat cobaan pada bangsa ini tak kunjung usai? Ataukah dalam menentukan pimpinan, kita tak pernah memakai paradigma keilahian. Pepatah melayu mengatakan: "Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah." Raja adalah pemegang dua amanah: dari Tuhan dan rakyat. Artinya, ia harus lurus dan bertanggung jawab. Ia harus punya prediksi dan visi ke depan. Ia harus paham secara detil keadaan masyarakat serta potensinya. Bukan sekadar ganteng atau berkharisma. Kita tak mungkin terus menerus bersembunyi di balik slogan, pidato dan retorika. Jadi? Daripada berharap sesuatu yang tidak jelas, teman saya memberi tips kiat menghadapi cobaan hidup. Yaitu, sering shalat sunnah terutama Tahajud dan Duha. Sejarah membuktikan, kita bukan bangsa lembek. Kita pernah mengalami krisis hebat pada 1965 dan mampu mengatasinya, Saat devaluasi dulu pada 1986, juga mampu diselesaikan. Badai (kebohongan hukum) pasti berlalu! Apalagi kini, sang pemimpin punya greget menyikat tikus perusak moral dan etika. Bersama (reshuffle) kita bisa: Kalau punya nyali, kawan! e-mail: [EMAIL PROTECTED] [Non-text portions of this message have been removed]