http://batampos.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=21166&Itemid=75
Senin, 14 Mei 2007 



Korupsi, Kemiskinan dan Kebodohan    
Oleh: Naskar Wandi*)


Sejak masih dikuasai penjajah Belanda hingga hari ini, Kemiskinan dan Kebodohan 
merupakan masalah yang tak pernah selesai menerpa sebagian besar rakyat di 
kepulauan Nusantara maupun Kepulauan Riau yang dibentuk berdasarkan UU No 25 
Tahun 2002. Kemiskinan pula yang menjadi salah satu faktor ketidakpuasan rakyat 
Nusantara yang akhirnya mengantarkan mereka pada upaya membebaskan diri dari 
pemerintahan Kolonial Belanda. Alasannya sederhana: "Pemerintah Kolonial 
Belanda tidak mampu menyejahterakan rakyat Nusantara." Sementara itu Kepulauan 
Riau membebaskan diri dari Provinsi Riau juga dengan alasan yang sederhana 
"Pemerintah Daerah Riau tidak mampu menyejahterakan masya rakat Kepri".  
Selanjutnya apakah kita juga harus membuat alasan yang sederhana bahwa " 
Pemerintah Provinsi Kepri tidak mampu mennyejahterakan masyarakat kepri 
sendiri?", Mudah - mudahan tidak, Insya Allah ! 

Korupsi, Kemiskinan dan Kebodohan adalah fenomena klasik yang menarik untuk 
dibicarakan apalagi dengan kondisi kepercayaan terhadap pentingnya kerja keras, 
kejujuran, dan kepandaian semakin memudar karena kenyataan dalam kehidupan 
masyarakat menunjukkan yang sebaliknya, banyak mereka yang kerja keras, jujur 
dan pandai, tetapi ternyata bernasib buruk hanya karena mereka datang dari 
kelompok yang tak beruntung, seperti para petani, kaum buruh, dan guru. 
Sementara itu, banyak yang dengan mudahnya mendapatkan kekayaan hanya karena 
mereka datang dari kelompok elite atau berhubungan dekat dengan para pejabat, 
penguasa, dan para tokoh masyarakat.

Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap rasionalitas intelektual menurun karena 
hanya dipakai para elite untuk membodohi kehidupan mereka saja. Sebaliknya, 
mereka lebih percaya adanya peruntungan yang digerakkan oleh nasib sehingga 
perdukunan dan perjudian dalam berbagai bentuknya semakin marak di mana-mana. 
Mereka memuja dan selalu mencari jalan pintas untuk mendapatkan segala sesuatu 
dengan mudah dan cepat, baik kekuasaan maupun kekayaan. Korupsi lalu menjadi 
budaya jalan pintas dan masyarakat pun menganggap wajar memperoleh keka yaan 
dengan mudah dan cepat.

Budaya korupsi seakan memperoleh lahan yang subur karena sifat masyarakat kita 
sendiri yang lunak sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam 
kehidupan masyarakat. Karena itu, korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang 
wajar terjadi dalam kehidupan para penguasa dan pengelola kekuasaan yang ada. 
Sejak dahulu kala, para penguasa dan pengelola kekuasaan selalu cenderung korup 
karena bisnisnya ya kekuasaan itu sendiri. Penguasa bukanlah pekerja 
profesional, yang harus pintar, cerdas, dan rajin, tidak digaji pun mereka mau 
asal mendapatkan kekuasaan karena kekuasaan akan mendatangkan kekayaan dengan 
sendirinya.

Disisi yang berbeda, upaya untuk mengentaskan kemiskinan telah digagas baik 
oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pihak pemerintah kerap 
mendengung-dengungkan investasi asing untuk meningkatkan laju pertumbuhan 
ekonomi sebagai solusi pengentasan kemiskinan yang paling ampuh. Sementara dari 
sisi LSM, konsep pemberdayaan masyarakat (Civil Society) menjadi andalan mereka.

Kedua konsep yaitu investasi asing dan pemberdayaan masyarakat, sampai hari ini 
belum menampakkan tanda-tanda keberhasilan mengangkat mayoritas rakyat 
Indonesia dari bawah garis kemiskinan. Sebaliknya, pintu investasi asing yang 
dibuka lebar justru semakin menguatkan hegemoni asing dalam perekenomian dalam 
negeri. Sebagian besar sumber daya alam negeri justru dinikmati oleh 
perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas rakyat Indonesia.

Sementara itu, pemberdayaan masya rakat berusaha melatih individu-individu 
dalam masyarakat memanfaatkan potensi ekonomi yang ada di sekitar mereka. 
Misalnya, masyarakat nelayan dilatih mengolah ikan yang mereka tangkap dari 
laut agar memiliki nilai tambah sebelum dijual kepada distributor atau konsumen 
akhir.

Walaupun telah beberapa tahun kedua konsep dijalankan, nyatanya kemiskinan 
belum juga terhapus dari negeri ini. Artinya, permasalahan kemiskinan bukan 
disebabkan oleh kurangnya investasi asing, atau peran masyarakat dalam mengolah 
potensi ekonomi di sekitar mereka.

Pertanyaan pertama yang harus dijawab oleh pemerintah dan masyarakat adalah: 
"Mengapa kita miskin padahal negeri kita kaya akan sumber daya alam?" Ada 
beberapa jawaban untuk pertanyaan di atas, salah satunya adalah: "Kemiskinan 
disebabkan ketidakmampuan negara dalam mengelola sumberdaya alam."

Jika memang kemiskinan disebabkan ketidak mampuan negara dalam mengelola sumber 
daya alam, tentu masalah tersebut telah lama dapat diselesaikan dengan masuknya 
investor asing. Investor asing datang membawa modal dan teknologi untuk 
mengelola sumber daya alam Indonesia dengan "baik". Hasilnya, kemiskinan tetap 
menjadi sahabat bagi mayoritas penduduk Indonesia.

Jawaban lain atas pertanyaan di atas adalah: "Kemiskinan disebabkan kesalahan 
dalam distribusi sumber daya alam, sehingga kekayaan (yang diperoleh dari 
sumber daya alam) tidak dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat 
Indonesia, melainkan hanya beredar atau dikuasai oleh segelintir orang."
Jawaban di atas lebih masuk akal dan dapat dibuktikan. Sumber daya alam 
Indonesia yang melimpah ruah termasuk Kepulauan Riau, saat ini dikuasai oleh 
beberapa gelintir orang saja. Mereka adalah para konglomerat dan pemilik modal. 
Pemerintah, dalam hal ini, gagal menjaga, mengelola, serta mendistribusikan 
sumber daya alam tersebut secara merata kepada seluruh rakyat.

Pertanyaan selanjutnya adalah, "Mengapa sumber daya alam tersebut dikuasai oleh 
segelintir orang (para pemilik modal) saja?" Jawabannya adalah karena 
pemerintah tidak lagi menguasai sumber daya alam setelah menyerahkannya kepada 
para investor asing. Hal ini terjadi karena Indonesia menganut sistem ekonomi 
kapitalisme yang memberikan wewenang sepenuhnya kepada para pemilik modal untuk 
menguasai sumber daya alam serta menjalankan roda perekenomian. Alasan 
penyerahan sumber daya alam kepada para pemilik modal ini lahir dari pemikiran 
pragmatis bahwa Indonesia (rakyat dan pemerintah) tidak mampu mengelola sendiri 
sumber daya alamnya.

Jika sumber daya alam telah dikuasai oleh para pemilik modal, maka 
pendistribusiannya pun akan dikendalikan oleh mereka. Hasilnya, harta kekayaan 
hanya berputar di antara pemilik modal. Kalaupun ada yang menetes ke 
masyarakat, jumlahnya tidaklah signifikan untuk mengangkat mereka dari bawah 
garis kemiskinan.

Kepulauan Riau dengan jumlah penduduk 1,2 juta jiwa dengan sektor ekonomi 66,47 
persen pada industri dan sisanya pada bidangnya lainnya, harus mampu belajar 
dari pengalaman yang telah ada. Penulis dengan tak henti- hentinya mengingatkan 
bahwa Korupsi, Korupsi, Korupsi harus diberantas, Kemiskinan, Kemiskinan, 
Kemiskinan dan Kebodohan, Kebodohan, Kebodohan harus diperangi. Karena 
Kemiskinan tidak menyebabkan kita korupsi tapi Korupsi lah yang menyebabkan 
Kemiskinan. Mari Reinventing Kepri dengan potensi yang ada menuju pemerintahan 
yang bersih, kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat tercapai. ***

*)Naskar Wandi, Ketua Umum ICMI Muda Provinsi Kepri, Wakil Bendahara Partai 
Golkar Kepri

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to