http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2007051602033616

      Rabu, 16 Mei 2007 
     
      BURAS 
     
     
     
Konflik Gunung Sari! 

       
      H.Bambang Eka WIjaya:



      "KAKEK, Gunung Sari itu apa?" tanya cucu.

      "Kalau tak salah, sejenis irama gamelan Jawa, seperti sinom, pangkur!" 
jawab kakek.

      "Kayaknya bukan itu!" potong cucu. "Sebab, di angkot tadi kudengar soal 
Gunung Sari berkaitan dengan cap jempol darah rakyat!"

      "Kalau itu, mungkin yang dimaksud Gunung Sari nama tempat di seberang 
jalan Kantor Pos Tanjungkarang menuju stasiun kereta api!" tebak kakek. "Warga 
di situ menolak untuk digusur atau direlokasi oleh developer yang akan 
membangun hotel dan pertokoan modern di lokasi permukiman mereka!"

      "Kok pakai darah, ngeri ya Kek?" timpal cucu.

      "Itu simbol siap berkorban apa saja dalam perjuangannya!" jelas kakek. 
"Bisa saja sikap mereka jadi begitu keras karena tersinggung oleh ucapan 
developer yang akan merelokasi mereka ke rumah tipe 21. Mungkin jika sejak 
pendekatan awalnya tak seperti itu, misalnya lewat pembuktian lebih dahulu 
penyiapan rumah yang lebih layak di areal relokasi, hingga mereka merasa 
di-wongke, situasinya akan berbeda, tak menjurus jadi konflik seperti sekarang!"

      "Tapi di angkot tadi disebut tanah Gunung Sari itu warisan jawatan kereta 
api zaman Belanda, yang oleh direksi PT KA sekarang sudah dibuat MoU dengan 
Pemkot Bandar Lampung untuk dijadikan tempat relokasi pedagang kaki lima--PKL!" 
ujar cucu. "Bagaimana developer itu bisa tiba-tiba nongol menggeser MoU 
tersebut?"

      "Entah bagaimana ceritanya karena saat developer itu presentasi di depan 
pejabat-pejabat Pemkot, juga didampingi pejabat PT KA dari Bandung!" timpal 
kakek. "Atau mungkin saja warisan tanah dari Belanda itu oleh kalangan petinggi 
PT KA dianggap sebagai harta karun yang bisa sesuka mereka diserahkan ke 
penawar tertinggi! Dikatakan begitu karena untuk relokasi PKL dimaksud, Pemkot 
tahun ini saja sudah menyiapkan anggaran Rp9 miliar!"

      "Tapi kalau untuk relokasi PKL yang lebih dahulu dipersiapkan, kayaknya 
warga tidak melawan sekeras sekarang, ya?" kejar cucu.

      "Sebenarnya hanya karena pihak Pemkot belum memberi ancang-ancang soal 
relokasi permukiman mereka untuk relokasi PKL itu!" jawab kakek. "Mungkin kalau 
relokasi mereka ke perumahan tipe 36 yang relatif lebih layak seperti 
dibayangkan Sekkot setelah konflik Gunung Sari mencuat, perlawanan dari warga 
tidak sekeras sekarang!"

      "Tampaknya kalau untuk relokasi PKL yang menyangkut kepentingan umum 
lebih luas dan berkaitan dengan nasib sesama rakyat jelata, asal relokasi 
permukiman mereka layak, warga lebih ikhlas!" sambut cucu.

      "Memang, terlihat ada dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, asas 
kepentingan umumnya lebih nyata, dan kedua, warga diperlakukan lebih layak 
secara manusiawi!" tegas kakek. "Di lain pihak, PKL juga akan menerima relokasi 
di Gunung Sari karena tempatnya strategis--orang dari Kedaton, Gedungmeneng, 
dan Rajabasa untuk belanja ke Bambu Kuning sekarang pun turun dari angkot di 
Gunung Sari! Cuma, apakah relokasi PKL juga akhirnya kalah oleh penawar 
tertinggi, itu pokok masalahnya!" 
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke