http://www.suarapembaruan.com/News/2007/05/16/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Bencana Utang dan Teologi 
Oleh Victor Rembeth 



"In the past, donors knew who were the corrupt leaders, but they went ahead and 
gave them loans" (Kwesi Botchwey, mantan Menteri Keuangan Ghana). 


Bangsa kita sedang menjadikan isu moral sebagai acuan pengambilan keputusan di 
berbagai bidang. Sayangnya ada berbagai hal krusial yang menyangkut harkat 
hidup rakyat luput dari perhatian. Peningkatan jumlah orang miskin menjadi 
sekitar 39 sampai 45 juta dalam setahun terakhir, serta balita penderita gizi 
buruk menjadi 2, 3 juta, seakan tidak memiliki kaitan apa pun dengan utang 
negara yang membengkak dari waktu ke waktu. 

Sejatinya bencana bukanlah segala sesuatu yang hanya berhubungan dengan yang 
tiba-tiba dan selalu dihubungkan kepada "alam yang marah". Bencana juga 
diciptakan perilaku manusia yang tidak mau tahu ulah mereka bisa mengakibatkan 
bencana bagi orang lain. 

Pada The World Debt Day, atau Hari Peringatan Utang Sedunia, 16 Mei ini, kita 
diingatkan, utang bisa menjadi bencana besar bagi kemanusiaan. Kemiskinan dan 
kelaparan dengan mudah menjadi akibat nyata dari perilaku manusia yang salah 
mengelola utang. Cengkeraman utang global sudah menggurita sedemikan rupa 
sehingga berpotensi untuk sebuah proses pemiskinan akut. 

Kemiskinan seharusnya bisa dientaskan dengan bantuan utang dari negara-negara 
donor ataupun lembaga-lembaga finansial internasional. Namun, realitas yang 
terjadi membuat kita miris dan dengan mudah melihat persoalan utang global 
sebagai pintu masuk bencana-bencana lanjutan yang direncanakan. Ketika pokok 
dan bunga utang luar negeri yang jatuh tempo pada 2006 menurut Paskah Suzzeta 
sudah Rp 171,6 triliun, atau setara 26,5 persen dari anggaran, sudah seharusnya 
lahir sikap kritis mengenai masa depan utang luar negeri di negeri ini. 

Krisis utang global mudah kehilangan dimensi etis teologisnya ketika hanya 
menjadi sekadar hitungan matematis. Jumlah utang yang pada awal Orde Baru hanya 
2,015 miliar dolar dan berakumulasi sampai pada akhir era Soeharto menjadi 150 
miliar dolar, sering disederhanakan sebagai suatu jumlah pertambahan logis 
sebuah proses pembangunan. Juga secara hitungan ekonomis kita memandang lumrah 
ketika membandingkan utang negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa lebih 
dari 60 persen dari PDB, sementara utang luar negeri pemerintah kita "hanya" 
berkisar 40 persen dari PDB. 

Sayangnya, dalam hitungan- hitungan itu, menurut Sumitro, terjadi kebocoran 
utang sebesar 30 persen, yang oleh Patricia Adams disebut sebagai "utang 
najis". Utang najis adalah utang milik rezim sebuah negara yang tidak 
menghasilkan kemakmuran rakyat tetapi malah menyengsarakan dan menjadikan 
peminjam bisa bebas karena kebersudahan masa kekuasaannya. Jeff Winters 
mempertegas perilaku utang seperti itu sebagai utang kriminal. 

Pada titik kriminalisasi itulah keprihatinan yang berbasis teologis perlu 
digagas untuk mengharamkan perilaku utang yang menyengsarakan itu. Soalnya, 
terlalu banyak rupiah yang tak sampai ke rakyat, sementara terlalu besar beban 
yang ditanggung untuk utang atas nama bangsa ini. 


Pengampunan 

Berbagai negara dan lembaga finansial internasional telah salah langkah pada 
waktu mengobral pinjaman yang sampai melebihi ambang batas kepada berbagai 
rezim. Pemberian utang yang seharusnya menolong rakyat kebanyakan, dengan kasat 
mata diselewengkan untuk penumpukan kekayaan dan pembiakan kapitalisme kroni. 

Bertahun-tahun pemberi utang secara sadar membiarkan berbagai rezim di negeri 
ini memperbesar pinjamannya. Lebih parah lagi adalah ketiadaan sistem kontrol 
yang ampuh untuk "menghukum" berbagai kriminalisme utang tersebut. Akibatnya 
jelas, kolaborasi antara donor dan rezim menjadikan utang sebagai bencana 
sosial yang tidak bisa dihindari. 

Kesembronoan itu mengharuskan sebuah pengampunan tak bersyarat untuk rakyat 
yang dipakai namanya sebagai jaminan oleh rezim penerima utang. Rakyat bukanlah 
penanggung utang yang bertanggung jawab untuk kejahatan bersama yang dilakukan 
pemberi dan penerima utang. 

Teologi pengampunan dalam hal ini menjadi bagian penting untuk keputusan arif 
tindakan penghapusan utang atau debt cancellation. Tuhan yang baik mau 
mengampuni manusia yang bersalah karena utang-utangnya, apalagi untuk rakyat 
yang namanya dipakai sekadar mengegolkan nilai utang yang diminta. Pengampunan 
utang adalah sisi etis yang disyaratkan kalau ingin meminimalkan bencana 
kemiskinan rakyat akibat salah kelola utang. 

Karena ketidakcermatan negara dan organisasi pemberi utang, opsi pengampunan 
utang tak dapat ditawar lagi. Logika pengampunan ini layak dilaksanakan sebagai 
tindakan adil dan transparan. 

Negara-negara pemberi utang juga selayaknya bertanggung jawab untuk bagian 
mereka dalam menyengsarakan rakyat dan memperkaya rezim penguasa dan kroni- 
kroninya. Perilaku yang merupakan tindakan rekonsiliasi kemanusiaan itu bisa 
menghasilkan perilaku utang-piutang yang santun dan bermartabat. 

Pengampunan utang bukanlah bentuk pelarian diri dari tanggung jawab. Apabila 
secara teologis pengampunan Ilahi itu lazim diterima mereka yang bersalah, 
pengampunan utang jelas merupakan pengampunan kepada mereka yang tak bersalah. 

Karenanya, desakan pengampunan utang bukanlah tindakan mengemis rakyat miskin, 
tetapi lebih merupakan pengembalian hak masyarakat sipil yang diabaikan rezim 
penguasa dan mitra internasional pengutangnya. Pengampunan bukanlah tindakan 
karitatif, melainkan perilaku keadilan global yang perlu diambil untuk 
kekeliruan yang dilakukan bertahun-tahun. 


Sisi Keadilan 

Selanjutnya dalam memenuhi rasa keadilan, teologi hamartiologi atau keberdosaan 
harus diajukan kepada penikmat utang yang rakus menghabisi porsi hak milik 
orang banyak pada setiap tahun anggaran. Korupsi berjemaah menjadi lazim di 
negeri ini sebagai kejahatan komunal. Kejahatan utang merupakan perilaku 
superlatif dari kriminalisasi komunal. Dengan beralasan pembangunan dan 
kesejahteraan orang banyak, utang menjadi korupsi global yang melibatkan 
pemain-pemain multilateral. 

Sebagai modus kejahatan global, pemberi dan penerima utang sama-sama sepakat 
bermain mata untuk kepentingan masing-masing mengabaikan hak-hak hidup orang 
banyak. Korupsi utang adalah korupsi dengan logika "MOU", ada memorandum of 
understanding yang disepakati, kalaupun itu menyengsarakan orang banyak. Dengan 
bangga rezim penerima utang memberi keyakinan palsu kepada rakyatnya utang 
adalah bukti kepemilikan kredibilitas tinggi pemerintahannya. 

Di sisi lain mitra pemberi utang berupaya meyakinkan pemberian utang adalah 
tindakan mendorong pembangunan model teori developmentalism, walaupun 
praktisnya lebih kepada penguatan ketergantungan dan intrik jahat kolonisasi 
gaya mutakhir berbasis ekonomi. Pertobatan massal oleh kolaborasi yang 
memiskinkan itu menjadi keharusan. Sikap santun kemanusiaan yang secara 
teologis diamini semua agama adalah tidak untuk menghancurkan orang lain. 

Injil mengatakan, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat 
kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka". Agama apa pun mengharamkan 
perilaku utang najis dan kriminal yang dilakukan berbagai rezim selama ini. 
Pelaku utang najis dan kriminal harus digiring untuk mengakui kesalahannya yang 
setara dengan pelaku kekerasan terhadap hak asasi manusia lainnya. Kali ini 
bencana adalah hilangnya nurani segelintir manusia yang tega menciptakan 
bencana bagi manusia lain demi ketamakan. 

Melihat utang dari sisi teologis, menjadikan proses ekonomi yang lazim ini 
bukan hanya sebagai permainan angka belaka. Pada titik yang sudah 
memprihatinkan, pembahasan soal utang global seharusnya lebih banyak 
menampilkan wajah etisnya. Teologi utang global menolong pengambilan keputusan 
utang, sekaligus mengerem perilaku najis dan kriminalisasinya. Sikap teologis 
yang jelas dan berbasis kemanusiaan harus diambil untuk bisa meminimalkan atau 
bahkan menghapus bencana ciptaan manusia yang menyengsarakan manusia lainnya. 
Pemahamam teologi kemanusiaan yang karitatif semata tidaklah cukup bila tidak 
menyertakan sisi keadilan ilahi dalam persoalan utang ini. 

Amartya Sen, peraih penghargaan Nobel bidang ekonomi, mensinyalir banyak ekonom 
melulu bicara soal angka sehingga lupa atau tidak peduli soal kesejahteraan 
umat manusia. Bila demikian masalahnya, kriminalisasi utang akan terus terjadi, 
karena secara ekonomis ada sisi etis-teologis yang diabaikan. Karenanya teologi 
utang global internal agama dan lintas agama harus digagas, sehingga 
nilai-nilai kemanusiaan bisa kembali dimunculkan, dan bencana akut karena salah 
kelola utang akan lebih cepat dikurangi. 


Penulis adalah Deputi Direktur Yayasan Tanggul Bencana Indonesia 


Last modified: 16/5/07 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke