REFLEKSI: Merasa ditipu tidak seberat benar-benar ditipu. Rakyat miskin ditipu adalah praktek biasa tiap hari dari penguasa negara. Bagaimana mengatasi praktek ini?
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0705/31/sh02.html Kasus Grati, Pasuruan Warga Miskin Itu Merasa Ditipu SURABAYA - Warga Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, secara ekonomi memang berada pada kelas menengah ke bawah. Dari rumah-rumah penduduk yang ada, mayoritas merupakan bangunan lama dan masih khas bangunan desa yang beralaskan tanah. Hal ini juga terlihat dari pekerjaan mereka sehari-hari, mayoritas berkebun. Hasil perkebunan itu pun tidak semuanya dijual, tetapi juga dikonsumsi sendiri untuk kebutuhan makan sehari-hari. Bagi warga Desa Alas Tlogo, tanah yang diklaim milik TNI AL yang ada di wilayahnya merupakan lahan kosong yang cocok untuk perkebunan. Karena itu, sejak lama warga menanami tanah tersebut dengan singkong dan ketela. Saat panen, singkong dan ketela tersebut mereka parut atau giling, kemudian dijemur untuk dijadikan tepung gaplek atau tapioka. Sebagian besar dari hasil panen mereka jual pada tengkulak yang biasa datang ke desa tersebut. tepung ini bisa dijadikan bahan makanan pengganti beras. Pada awalnya, tidak banyak warga yang menempati lahan TNI AL ini. Selain dijadikan lahan perkebunan, juga tidak sedikit yang mendirikan rumah dan bangunan di lokasi tersebut. Tetapi setelah mereka beranak pinak, semakin banyak warga yang menempati lahan tersebut. Saat ini diperkirakan sudah sekitar 5.000 keluarga terdiri atas 36.000 jiwa yang menduduki lahan TNI AL di Grati Pasuruan. Sebagian dari warga berada di Desa Alas Tlogo. Karena itu, saat warga dilarang menempati dan menanami lahan itu, mereka merasa terusik. Mereka tidak hanya akan kehilangan mata pencarian, tetapi juga kehilangan tambahan penghasilan, apalagi tersiar kabar bahwa di atas tanah sengketa tersebut akan jadi lahan perkebunan tebu dan mangga yang akan ditanami oleh perusahaan yang membawahi pabrik gula. Tanaman singkong yang hampir panen pun, akan dibuldoser. Bagi penduduk, kehilangan tanah adalah segala-galanya, karena di atas tanah itulah mereka hidup. Bagi TNI AL, tanah di Desa Alas Tlogo merupakan bagian kecil dari tanah yang telah dibeli tahun 1960 oleh TNI AL. Saat itu, tanah yang dibeli di wilayah Grati, Pasuruan, seluas 3.569,205 hektare, yang tersebar di 11 desa, yakni Desa Sumberanyar, Sumberagung, Semedusari, Wates, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Branang, Gejugjati, Tamping, dan Alastlogo, yang tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Nguling dan Kecamatan Lekok. Dana yang dikeluarkan TNI AL untuk membeli tanah tandus kering dan sulit air itu sebesar Rp 77.658.210. Pembayarannya diselesaikan tahun 1963, meski masih ada penduduk yang belum mau pindah. Pada awalnya, lahan tersebut untuk membangun Pusat Pendidikan TNI AL terlengkap dan terbesar untuk pendidikan kejuruan Marinir maupun Pelaut. Sejak tahun 1963 itu pula, TNI AL mulai membangun sarana jalan sepanjang 25 km, yang di dalamnya juga dibangun proyek pemukiman warga TNI AL (Prokimal) sebanyak 185 keluarga. Tanah tersebut pada tahun 1966 mulai dikelola oleh Puskopal untuk ditanami pohon jarak dan palawija agar lebih produktif. Program itu berjalan hingga tahun 1982. Pada tahun 1984, berdasarkan Surat Keputusan KSAL No. Skep/675/1984 tanggal 28 Maret 1984, menunjuk Puskopal untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai lahan perkebunan produktif, dengan memanfaatkan penduduk setempat sebagai pekerja. Tahun 1993, terbit sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676,335 hektar (36.763.350 meter persegi). Pada 20 November 1993, Bupati Pasuruan saat itu mengirimkan surat kepada Komandan Lantamal III Surabaya No. 050/769/43/51/1993 perihal usulan permukiman kembali nonpemukim TNI AL di daerah Prokimal Grati. Surat tersebut ditindaklanjuti, dimana Bupati Pasuruan mengajukan surat kepada KSAL No. 050/003/431.097/1998 tanggal 3 Januari 1998 untuk mengusulkan bahwa tanah relokasi untuk penduduk nonpemukim TNI AL agar diberikan tanah seluas 500 meter persegi/KK. Pencerahan untuk Militer Secara prinsip TNI AL menyetujui usulan tersebut, dan telah meneruskan usulan ke Mabes TNI, namun hingga kini belum ada titik terang karena memang tidak mudah untuk diadakan pelepasan aset negara yang harus melalui persetujuan Departemen Keuangan. Pada 19 Agustus 1998 terjadi unjuk rasa oleh warga pemukim non-TNI AL (bekas pemilik tanah Desa Alas Tlogo, Sumberanyar, dan Pasinan). Mereka menuntut pengembalian tanah yang telah dibeli TNI AL dan menggugat ke Pengadilan Negeri Pasuruan. Hasilnya, pada 4 November 1999 sengketa tanah tersebut diputus oleh PN Pasuruan dengan putusan No. 02/PDT.G/1999/PN bahwa gugutan warga tidak dapat diterima. Secara formal TNI AL mempunyai sertifikat hak atas tanah Grati hasil pembebasan tanah melalui Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara (PTUN) pada tahun 1960-1963. Mulai saat itu, muncul aksi-aksi lanjutan, seperti yang terjadi pada 23 September 2001, warga marah dan menebang 12.000 pohon mangga siap panen yang dikelola oleh Puskopal. Warga juga merusak pompa dan jaringan pengairan perkebunan, penutupan jalan pantura, penyerobotan lahan dan menjual kapling-kapling. Karena kondisinya kurang kondusif untuk perkebunan, pada 16 Mei 2001 TNI AL memutuskan menjadikan wilayah Grati sebagai Pusat Latihan Tempur Marinir hingga sekarang. Gunawan Wiradi, Penasihat Program Kajian Agraria dari PSPPP Institut Pertanian Bogor (IPB), mengungkapkan bahwa Desa Alas Tlogo merupakan wilayah miskin, dan masyarakatnya merasa ditipu atas penggunaan tanah tersebut. Maka untuk masa mendatang, ia mendukung kebijakan reforma agraria dengan syarat harus didukung oleh militer, sehingga militer harus diberi pencerahan. Syarat lainnya ialah data harus lengkap dan teliti, organisasi petani diperkuat, ada pemahaman yang sama di birokrasi mulai dari gubernur hingga kepala desa, dan elite penguasa harus terpisah dari elite bisnis. "Tapi saat ini penguasa ya berbisnis, orang yang bisnis jadi penguasa. Maka prasyarat itu harus dipenuhi dulu. Kalau tidak, rakyat ditembaki seperti di Grati itu. Jadi ini masalah politik, bukan hukum. Karena sejak Orde Baru kalau orang bicara agraria dituduh komunis, padahal sebetulnya land reform adalah basis pembangunan. Dan pesan Bung Hatta agar tanah jangan jadi bahan komoditi, dijungkir balikkan oleh Orde Baru. Jadi pemerintah sekarang ini mewarisi Orde Baru," kata Gunawan saat dihubungi SH, Kamis (31/5) siang. (chusnun hadi/wahyu dramastuti) [Non-text portions of this message have been removed]