Refleksi: Privatisasi ibarat menjual harta membeli kemiskinan? BUMN  tidak 
berjalan beres dan selalu rugi bukan karena kepemilikan kolektif [negara] lebih 
buruk dari milik privat, tetapi pokok masalahnya adalah pengurusannya 
[management]. Ketidakmampuan terus-menerus pengurusan BUMN selama 50 tahun 
"merdeka"  mencerminkan karakter negara yang tidak dapat mempertahankan hak 
milik kolektif masyarakat.  
  

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=288223

Senin, 04 Juni 2007,



Spektrum dan Perangkap Privatisasi 
Oleh 
Ahmad Erani Yustika 


Tahun ini, tampaknya, pemerintah kembali akan menggenjot privatisasi yang 
sempat terinterupsi pada 2005-2006. Di luar BUMN yang sudah masuk prioritas, 
misalnya empat bank pemerintah, PT PGN, PT Jasa Marga, dan PT Indonesia Power 
(JP, 20/03/2007), pemerintah masih akan menambah beberapa BUMN yang bakal masuk 
"kandang" privatisasi. 

Seperti biasa, publik terbelah menjadi dua kutub. Satu pihak mengamini rencana 
tersebut dan dipihak lain mengutuk upaya itu. Pihak yang sepakat memercayai 
bahwa privatisasi merupakan satu-satunya jalan untuk membuat kinerja BUMN 
menjadi efisien, inovatif, dan sehat. 

Sebaliknya, pihak yang menolak meyakini bahwa privatisasi justru akan 
menjauhkan misi pelayanan publik yang mesti dinafkahi pemerintah. Di luar itu, 
pihak yang terakhir tersebut melihat keganjilan mengapa justru BUMN bagus yang 
hendak dilego. Padahal, BUMN buruk semestinya dijual lebih dulu oleh 
pemerintah. 

Spektrum Privatisasi

Sejak dekade 1980-an, privatisasi merupakan agenda reformasi ekonomi terpenting 
yang dijalankan banyak negara. Tercatat, pada pertengahan 1970 sampai akhir 
dekade 1980-an, nilai privatisasi dunia mencapai 185 miliar dolar. 

Pada 1990, pemerintah di seluruh dunia berhasil menjual perusahaan publiknya 
senilai 25 miliar dolar, diteruskan pada 1992 yang mencapai nilai total 69 
miliar dolar, dan sekurangnya menembus angka 175 miliar dolar pada 1990-1993. 
Aset yang diprivatisasi tersebut diperkirakan melonjak menjadi lebih dari 600 
miliar dolar pada akhir 2000 (Guseh, 2001). 

Dari data tersebut, terlihat bahwa kecenderungan privatisasi terus meningkat 
dan dijadikan model seluruh tatanan pengelolaan bisnis global. Tentu, maraknya 
privatisasi itu juga tidak lepas dari dorongan lembaga donor seperti World Bank 
dan IMF yang sejak dekade 1980-an mempromosikan kebijakan penyesuaian 
struktural bagi negara berkembang. 

Sebetulnya, merumuskan tujuan privatisasi itu tidaklah sederhana. Beberapa 
negara memiliki target yang berlainan dalam penyelenggaraan privatisasi. 

Tapi, berdasar pengalaman beberapa negara tersebut, setidaknya terdapat lima 
tujuan yang bisa diidentifikasi dari proses privatisasi. Yakni, (1) sebagai 
instrumen untuk meningkatkan pendapatan negara/pemerintah, (2) menyebar bagian 
kepemilikan (aset) disebuah negara, (3) diharapkan berimplikasi pada perbaikan 
distribusi pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, (4) mengurangi masalah yang 
timbul dalam hal pembayaran di sektor publik, serta (5) mengatasi kinerja yang 
buruk pada industri (perusahaan) nasional atau negara (Munday, 1996). 

Begitulah, tujuan privatisasi membentang mulai alat untuk meningkatkan 
pendapatan negara sampai tujuan memperbaiki distribusi pendapatan. Kejelasan 
itulah yang harus disampaikan pemerintah, sehingga publik memiliki panduan 
untuk menilai layaknya tidaknya privatisasi.

Pengalaman Portugal mungkin bisa dijadikan pertimbangan. Yakni, privatisasi 
yang dikerjakan harus berada dalam kerangka hukum dengan beberapa tujuan pokok. 

Setidaknya, terdapat tujuh sasaran penting dalam proyek privatisasi di 
Portugal. Yakni, (1) memodernisasi perusahaan melalui peningkatan daya saing 
dan kebutuhan restrukturisasi, (2) penguatan kapasitas kewirausahaan nasional, 
(3) pengurangan peran negara dalam perekonomian, (4) pengembangan pasar modal, 
(5) perluasan bagian kepemilikan bagi warga Portugal (pribumi), (6) menjaga 
kepentingan negara dalam perekonomian, serta (7) mengurangi beban utang negara 
dalam perekonomian (Munday, 1996). 

Tampak bahwa privatisasi di Portugal digunakan sebagai instrumen untuk mengubah 
dasar-dasar makro perekonomian, bukan semata menambah pendapatan negara. Dalam 
konteks Indonesia, tujuan privatisasi itu bisa dimodifikasi sesuai persoalan 
ekonomi yang berkembang.

Perangkap Privatisasi 

Di Indonesia, argumentasi bahwa privatisasi bukan merupakan satu-satunya jalan 
keluar untuk menyehatkan BUMN salah satunya bisa dibaca dalam kajian Irwanto 
(2006) yang memperlihatkan, tidak seluruh variabel kinerja (keuangan) 
perusahaan menjadi lebih baik setelah diprivatisasi. Untuk variabel ROE (return 
on equity), penjualan riil, dan rasio utang terhadap aset, memang menunjukan 
perbaikan. Tapi, ROA (return on assets) dan ROS (return on sales) tidak 
menunjukkan perbaikan yang signifikan setelah privatisasi. 

Kasus di Mesir memberikan pelajaran yang berharga pula bahwa privatisasi 
perbankan malah menurunkan rasio profitabilitas dan likuiditas (Omran, 2007). 
Jika aspek nonekonomi lain juga turut dipertimbangkan, seperti soal nilai 
strategis perusahaan terhadap negara (misalnya, telekomunikasi) atau korporasi 
yang bergerak dalam eksplorasi sumber daya alam, tentu itu semakin menambah 
daftar keberatan privatisasi sebagai langkah terbaik untuk memperlakukan BUMN. 

Akhirnya, privatisasi dalam banyak contoh tidak selalu menghasilkan kabar 
menggembirakan seperti yang terjadi di negara-negara Eropa Timur. 

Sebaliknya, pendekatan Asia yang menempuh upaya-upaya perluasan otonomi dan 
akuntabilitas terhadap BUMN sebagian malah menunjukkan kinerja yang lebih baik. 
Misalnya, yang berlangsung di Vietnam. 

Kesimpulannya, negara-negara Asia menganggap, yang diperlukan sebuah perusahaan 
untuk mengembangkan diri adalah adanya otonomi dan akuntabilitas, bukan 
terletak pada masalah kepemilikannya: apakah dimiliki oleh negara atau swasta. 
Sementara itu, negara-negara Eropa Timur yang percaya bahwa pasar (swasta) akan 
lebih mampu secara efisien memajukan perusahaan ternyata sampai kini malah 
terjerembap dalam proyek privatisasi tersebut. 

Dengan begitu, rasanya diperlukan ekstra kehati-hatian untuk menyikapi 
privatisasi, jika tidak ingin terperangkap dalam belitan ekonomi yang tidak ada 
ujungnya. 


Ahmad Erani Yustika PhD, dosen Fakultas Ekonomi Unibraw, Malang



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to