http://www.tribun-timur.com/view.php?id=45323&jenis=Opini

      Rabu, 06-06-2007  
      Opini Tribun
     
      PERPISAHAN SEKOLAH ALA KAPITALIS
        
      Oleh: Mansyur Semma, Observer gaya hidup dan dosen Universitas Hasanuddin 


      Gaya hidup metropolis yang konsumtif dan hedonis, mulai meracuni 
institusi pendidikan. Padahal gaya hidup tersebut sangat kapitalistik dan 
cenderung mengadopsi gaya hidup yang liberal. Fenomena tersebut dengan mudah 
diamati pada acara perpisahan sekolah yang kerap dilakukan setiap akhir tahun 
ajaran. 

      Hampir semua sekolah dapat dipastikan menyelenggarakan acara perpisahan. 
Mulai dari pra sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah, hingga perguruan 
tinggi. Hanya saja tentu tidak semuanya mampu menyelenggarakan acara perpisahan 
yang mewah,mahal dan bergaya kapitalis.
        
      Ada sekolah yang menyelenggarakan acara perpisahan sangat sederhana. 
Dilakukan di sekolah, tidak menyewa gedung, tidak mendatangkan artis, serta 
hanya ditutup dengan doa, nasihat-nasihat perpisahan, dan hiburan kreasi 
orisionil siswa. 

      Sekolah-sekolah yang menyelenggarakan acara perpisahan yang sederhana 
tersebut adalah sekolah-sekolah yang bukan sekolah favorit, bukan sekolah model 
atau unggulan. Pada umumnya mereka berada di pinggiran kota dan pedesaan, lalu 
sekolah-sekolah mana yang sudah terjebak gaya metropolis tersebut? Tentu 
sekolah-sekolah favorit yang ada di perkotaan. 

      Prom Night 
      Ada diantara sekolah-sekolah favorit tersebut menyelenggarakan acara 
perpisahan di hotel dan gedung-gedung mewah, mengundang artis dan menampilkan 
berbagai acara hiburan serta acara-acara yang cenderung bebas dan glamour. 
Salah satu acara yang relatif glamour adalah acara prom night. 
      Dalam acara prom night tersebut, siswa datang dengan dress code yang 
sudah ditentukan, wajib membawa pasangan, lalu dalam puncak acara ada penentuan 
`raja dan ratu prom'. 

      Acara ini merupakan tradisi anak-anak sekolah di barat yang liberal dan 
kapitalis, tentu sangat bertentangan dengan kesahajaan nilai-nilai budaya 
ketimuran Indonesia yang normatif dan religius. Acara seperti ini sudah marak 
diadopsi di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. 

      Bahkan tidak menutup kemungkinan acara seperti itu sudah diadopsi di 
beberapa kabupaten/kota. Hebatnya, acara tersebut tidak hanya dilakukan oleh 
siswa SMA, tapi juga sudah diadopsi oleh siswa-siswa SMP. 

      Dapat dibayangkan bila siswa-siswi SMP bergaun dewasa dan harus ada 
pasangan. Apakah mereka tidak dipaksa dewasa dan terlalu dini mempraktekkan 
gaya hedonis? 
      Apakah rangkaian acara glamour tersebut direstui oleh kepala sekolah dan 
guru-guru? Diperkirakan ada kepala sekolah yang mengetahui tapi tidak merestui, 
dan rangkaian acara tersebut berlangsung tanpa kehadiran guru-guru. 

      Selain itu, ada acara perpisahan sekolah yang dilakukan di luar kota 
hingga ke luar negeri. Ada SD favorit yang menyelenggarakan acara perpisahan di 
pulau Bali. Semua murid wajib ikut dan boleh ditemani oleh orang tua, sepanjang 
orang tua mampu mengeluarkan biaya ekstra. Agenda perjalanan mereka diatur oleh 
biro perjalanan tertentu. 

      Ada seorang anak yang mengaku pada penulis sangat menikmati perjalanan 
tersebut. Tubuhnya dipenuhi tato sebagai simbol dan bukti bahwa ia pernah ke 
Bali. Syukurlah, tato tersebut bukan tato permanen karena akan memudar dalam 
beberapa minggu. 

      Ada pula siswa sekolah-sekolah favorit di ibukota melengkapi acara 
perpisahan dengan berlibur ke pulau Batam lalu menyeberang ke Singapura. Bahkan 
ada yang melanjutkan hingga ke Australia dan negara-negara lainnya. Pokoknya 
tamat sekolah merupakan awal untuk pelesiran dan bersenang-senang menikmati 
kekayaan orang tua. 

      Kesenjangan Sosial 
      Gaya hidup hedonis dan konsumtif cenderung hanya dipraktekkan oleh 
segelintir anak-anak sekolah yang mapan. Meskipun demikian harus ada ikhtiar 
yang strategis dan sistematis untuk menangkal meluasnya praktek gaya hidup 
hedonis dan konsumtif. 

      Perlu ada koordinasi dan kerjasama antar institusi. Lembaga-lembaga 
kontrol dalam masyarakat harus berperan lebih aktif mengawasi arus globalisasi 
budaya popular tersebut. Terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli 
terhadap pelestarian keaslian nilai-nilai budaya bangsa yang normatif dan 
religius. Pers sebagai lembaga sosial selayaknya lebih kritis dan ikut peduli 
terhadap berbagai bentuk ancaman demoralisasi moral anak sekolah dan remaja 
pada umumnya. 

      Selain itu Elemen Organisasi Keagamaan dan Keumatan, Organisasi 
Kepemudaan dan Organisasi Kemasyarakatan selayaknya juga ikut peduli dan 
mengambil langkah-langkah yang bersifat preventif untuk mencegah kian maraknya 
proses dehumanisasi dan desakralisasi nilai-nilai agama melalui budaya-budaya 
populer. 

      Tentu tak terkecuali peran aktif sejumlah Lembaga Negara dan Instansi 
Pemerintah untuk membuat berbagai macam regulasi yang tujuannya menangkal 
berbagai macam ideologi dan budaya yang bertentangan dengan nasionalisme 
bangsa. Misalnya Komisi Penyiaran Independen, Komisi Perlindungan Anak, dan 
beberapa lembaga negara lainnya. 

      Kepala sekolah dan guru-guru dapat dipastikan tidak akan mampu 
mengimbangi arus gaya hidup yang hedonistik dan konsumtif. Arus tersebut sangat 
kuat karena merupakan bagian dari globalisasi kapitalis. 
      Para kapitalis telah merekayasa gaya hidup hedonis dan konsumtif tersebut 
dalam berbagai aktivitas budaya popular yang mudah diadopsi dan dipraktekkan 
oleh anak sekolah dan kaum remaja pada umumnya di seluruh dunia. Prom night 
dalam acara perpisahan sekolah hanyalah satu dari sekian ratus jenis budaya 
popular. 

      Valentine's day yang banyak dinikmati remaja di bulan Februari sebagai 
hari cinta sedunia. Reality show dalam berbagai bentuk yang memproduksi 
artis-artis instant, serta kontes kecantikan yang cenderung hanya 
mengeksploitasi perempuan dengan label beauty, brain, and behavior. 

      Punk yang awalnya merupakan bentuk perlawanan terhadap produk kapitalis 
kemudian dijadikan celah eksploitasi kaum kapitalis. Distro pun menjadi tempat 
produksi dan ajang lelang berbagai produk kapitalis dalam skala terbatas. Tidak 
terkecuali model harajuku yang marak dipakai sebagai gaya berpakaian terbaru 
dengan mengadopsi gaya ala komik Jepang. 

      Semua adalah contoh-contoh budaya popular yang sangat marak digandrungi 
oleh anak sekolah dan remaja pada umumnya. Tentu tidak terkecuali gaya hidup 
anak sekolah dan remaja dalam mengisi waktu luang ( leasure). Mereka banyak 
memenuhi warung-warung internet untuk mengakses situs-situs porno, Hangin'out 
di mal-mal. Lalu menghabiskan malam di café, pub, dan berbagai tempat dugem 
lainnya. 

      Ratusan judul sinetron yang ditayangkan berulang-ulang di televisi yang 
menyajikan tema remaja dan percintaan makin memperkuat gaya hidup tersebut 
sebagai budaya populer. Berbagai gaya dan model pakaian, rambut, hingga tingkah 
laku mampu mempengaruhi anak-anak sekolah dan remaja pada umumnya yang masih 
kurang selektif dalam memilih tayangan televisi. 

      Lalu bagaimana dengan masa depan bangsa bila anak sekolah dan remaja pada 
umumnya sudah terkooptasi oleh budaya popular kapitalistik yang hedonistik dan 
konsumtif. Masihkah mereka memiliki nasionalisme yang heroik ? ataukah ini 
hanyalah tanda adanya kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat yang belum 
pulih dari krisis ekonomi. Wallahu a'lam Bis Sawab 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke