http://www.indomedia.com/poskup/2007/06/05/edisi05/opini.htm
Mempersoalkan relasi manusia dan alam (Sebuah catatan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia) Oleh Kamilus Seran * KEHIDUPAN manusia bergantung pada alam dan kekayaannya. Tetapi mengapa manusia tidak menjatuhkan pilihan pada kebijakan-kebijakan ekonomis yang convivial (ramah), yang konstruktif dan yang solider dengan alam? Atau secara ekologis, mengapa manusia tidak menunjukkan bahwa dirinya adalah bagian yang utuh dari lingkungan hidup? Bukankah berbagai masalah lingkungan hidup, terutama yang berkaitan dengan pemanasan global, kepunahan spesies flora dan fauna dan pencemaran lingkungan hidup serta bencana alam telah memelekkan mata? Tentang bencana tersebut, tak perlu lagi menunggu lebih lama, sebab krisis besar telah dimulai. Jika memang ada kesulitan besar untuk mengenalinya, itu karena ia tidak mengambil bentuk yang sama seperti waktu-waktu sebelumnya (Bdk. Andre Gorz, 'Ekologi dan Krisis Kapitalisme,' 2003). Tulisan ini merupakan satu bentuk kampanye ramah lingkungan hidup. Relasi manusia dan alam: intersubyektif atau dominatif? Sumber daya alam meliputi segala sesuatu yang terdapat di alam yang berguna bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik untuk masa kini maupun masa mendatang. Kelangsungan hidup manusia, karena alasan tersebut, sangattergantung pada 'keutuhan lingkungannya'. Sebaliknya keutuhan lingkungan tergantung bagaimana kearifan manusia dalam mengelolanya. Oleh karena itu, lingkungan hidup tidak semata-mata dipandang sebagai penyedia sumber daya alam serta sebagai daya dukung kehidupan yang harus dieksploitasi, tetapi juga sebagai tempat hidup yang mensyaratkan adanya keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidup. Masalah lingkungan hidup dapat muncul karena adanya pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang berlebihan sehingga meningkatkan berbagai tekanan terhadap lingkungan hidup, baik dalam bentuk kelangkaan sumber daya dan pencemaran maupun kerusakan lingkungan lainnya. Persoalan lingkungan hidup menuntut tanggapan dari pihak masyarakat, NGO dan pemerintah. Namun variasi persoalan lingkungan hidup dan penyelesaiannya yang sempoyongan di negeri ini telah menjadi alasan kecemasan bahkan 'ketakutan' transnasional. Persoalan ini tidak lagi terbatas pada skala nasional dan lingkup lokal. Persoalan ini kian mengglobal justeru karena persoalan lingkungan alam langsung menyentuh persoalan kehidupan manusia seluruhnya. Atas dasar alasan tersebut gerakan-gerakan penyadaran dan kampanye ramah lingkungan hidup kini aktual digencarkan. Manusia mulai sadar akan 'kekerasan-kekerasan' terhadap lingkungan alam. Sekalipun demikian, kesadaran baru ini hanyalah sebuah awal perjuangan yang bak kerlip lilin di tengah kegelapan yang mencekam. Mengapa tidak? Inilah persoalannya, bahwa status questionis bukan terletak pada sadar atau tidak sadar akan bencana yang sedang menimpa, melainkan terletak pada persoalan bagaimana cara pandang masyarakat dan bangsaterhadap alam. Alam yang seharusnya dipandang sebagai subyek justeru dipandang sebagai obyek yang setiap jam dapat dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab. Problematika ini pun makin kompleks ketika marginalisasi masyarakat lokal (yang tinggal berdekatan dengan hutan) tak terbendungkan. Permasalahan ini pun makin dipertajam lagi dengan lemahnya posisi negara terhadap tekanan pihak asing, adanya determinasi global (misalnya dari perdagangan internasional), terdapatnya kepentingan militer di sektor ekonomi serta faktor KKN dan benturan kepentingan (Wedomartani, Etika Bumi, http://kappala.com/panas/1.shtml.) Aktivitas manusia yang kian tidak bertanggung jawab terhadap lestarinya alam dan lingkungan hidupnya menjadikan alam (terutama sumber daya) tampak makin hari makin terjepit. Kekayaan alam dan ketersediaan sumber dayanya makin hari makin terkuras di tengah makin besarnya kebutuhan manusia. Walau bencana alam silih berganti, aktivitas pengurasan alam dengan cara legal maupun illegal makin tak terbendung. Meskipun terlalu menyakitkan, akhirnya perlu diakui bahwa hubungan manusia dengan alam pada zaman ini adalah hubungan sepihak (dominatif oleh pihak manusia). Relasi manusia dengan alam yang sepihak itu membuktikan bahwa relasi manusia dan alam tidak lagi berlangsung dalam konteks relasi partnership, tetapi justeru sebuah relasi yang dominatif. Bila relasi yang dominatif oleh manusia ini terus berlangsung dan membudaya, quo vadis hutan (alam) Indonesia yang kaya raya ini? Barangkali pesona hutan Indonesia pada suatu saat nanti hanyalah sebuah kebanggaan historis. Kayanya alam Indonesia bukanlah sebuah mimpi, melainkan sebuah realitas yang menggiurkan. Indonesia memiliki 10%hutan tropis dunia yang masih tersisa. Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies mamalia dunia dan 16% spesies binatang reptil dan ampibi, serta 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian di antaranya adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Sayang dan memang menyakitkan ketika sebagai warga republik ini, kita harus berbicara tentang hutan Indonesia hic et nunc. Sebab luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat memrihatinkan. Hingga saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72% (World Resource Institute, 1997). Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun itu telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Realitas ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Dan berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000, di Indonesia terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003 seperti dikutip oleh WALHI, dalam berita online, Hutan Indonesia Menjelang Kepunahan, http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/hut_punah/). Data di atas menegaskan bahwa manusia (khususnya penghuni republik ini) gagal memandang alam sebagai subyek yang lain di luar dirinya. Dengan kata lain, relasi manusia dengan alam bukanlah relasi intersubyektif, melainkan relasi yang dominatif. Akibatnya, hutan terancam punah dan spesies yang menghuninya pun turut terancam. Logikanya, kehidupanmanusia pun turut terancam karena hutan Indonesia yang juga merupakan paru-paru dunia makin hari makin mengalami penyusutan. Bayangkan, pada abad ke-16 sampai dengan pertengan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan seluas 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4%. Akibatnya Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya (Ibid). Bangsa yang akrab dengan bencana Bangsa ini akrab dengan bencana. Meski dibenci dan ditakuti, kedatangannya tak bisa dihindari. Pemerintah dan masyarakat pun panik bila bencana tiba. Padahal, bila bangsa ini mau belajar dari pengalaman pahit akibat bencana yang berkali-kali terjadi, tidak hanya kepanikan yang bisa dihindari, tetapi bencana pun bisa tidak terjadi (Opini Kompas, Selasa, 30 Januari 2007). Dan kenyataan pun berbicara lain serta jauh dari harapan bersama. Tutupan hutan Indonesia makin berkurang, sehingga sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2.022 korban jiwa dan kerugian miliaran rupiah, di mana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan tanah longsor yang diakibatkan kerusakan hutan. Dalam waktu yang relatif singkat, Indonesia juga akan kehilangan beragam spesies flora dan fauna yang selama inimenjadi kebanggaan bangsa. Sementara itu, hutan Indonesia juga merupakan sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan, obyek wisata serta tempat hidup bagi sebagian besar penghuni republik ini. Dengan adanya bencana alam dan dengan hilangnya hutan Indonesia, hal ini semakin memberi peluang bagi meningkatnya bencana kemiskinan yang kian menimpa masyarakat Indonesia. Sederetan bencana yang disebutkan berikut ini merupakan bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Bencana banjir di Aceh dan Sumatera (2006) diduga sebagai akibat penggundulan taman nasional Gunung Leuser. Bencana lain adalah peristiwa banjir di Manado dan Jawa Timur setahun silam, itu pun diduga sebagai akibat penggundulan di hulu. Banjir di Timor - NTT turut menambah deretan bencana di negeri ini. Semuanya terjadi karena lemahnya tanggung jawab semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Dengan adanya berbagai bencana tersebut, sekitar 68,8 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan mau tidak mau tetap berupaya untuk bertahan. Meski banjir terus mengusik hidup, mereka tetap memilih untuk bertahan, karena tak sanggup mencari penghidupan dan tempat lindung yang baru. Ironinya, ketika bencana datang, ia tak 'mencari' pengusaha besar, pelaku pembalakan liar dan penguasa yang membuat kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan pribadi dan golongan. Mereka pergi ke kota. Bangsa yang tidak belajar dari bencana Sikap hidup masyarakat yang suka mengobyektivasi alam tidak ragu-ragu lagi dilihat sebagai faktor utama yang menimbulkan bencana. Alam tidak lagi dipandang sebagai teman hidup, tetapi obyek yang semata-mata dimanfaatkan demi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Hutan yang merupakan habitat bagi berbagi jenis fauna, setiap menit dikuras secara tidak bertanggung jawab. Sebuah contoh tentang pengurasan tersebut dapat ditampilkan; kasus penghancuran hutan tropis di Sulawesi Tengah 5 tahun terakhir ini cukup mencemaskan bagi keberlangsungan hidup manusia dan lestarinya lingkungan alam. Laju perubahan penutupan lahan hutan sampai tahun 2005 di Sulteng sekitar 62.012 hektar per tahun. Artinya hutan alam di Sulteng berkurang sekitar 7,2 hektar/jam atau 9 kali ukuran lapangan bola standar internasional setiap jam (Walhi Sulteng, Aktivitas Perusahaan HPH Mengakibatkan Kerugian Lingkungan, Sultenghttp://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konversi/070131_hph_sulteng_sp/). Harapan akan lingkungan bersih, sehat dan bersahabat memang sengaja diabaikan, karena bertolak belakang dengan konsep kapitalisme yaitu perolehan laba dengan menggunakan prinsip efisiensi dan efektivitas. Pengabaian itu pada prinsipnya menjadi titik awal persoalan kerusakan hutan sekalipun dari sisi tilik ekonomis sikap ini positif untuk kiprah sebuah perusahaan dan berpotensi mengembangkan ekonomi masyarakat. Namun pada saat yang sama pengabaian itu merupakan titik awal bencana yang secara ekonomis akan merugikan masyarakat secara besar-besaran ketimbang nilai ekonomis yang masyarakat peroleh dari sebuah perusahaan raksasa. Masyarakat hanya tergiur dengan harga kayu yang terusmeningkat dan kian melonjak. Tetapi dalam kesadaran dan ketaksadaran akan datangnya bencana mereka terus membabat hutan karena tuntutan ekonomis yang kian mengancam survivalitas mereka. Padahal bila dipikirkan secara lebih jauh dan lebih luas, bencana yang pasti akan datang itu (karena ulah manusia) lebih dahsyat daripada kemiskinan hari ini. Masyarakat dan para pengusaha kerap cenderung mengambil jalan pintas dan menjatuhkan pilihan pada kebijakan-kebijakan yang tidak ramah lingkungan dan yang tidak solider dengan alam. Sikap bangsa yang tegar tengkuk dan yang tidak mau belajar dari beragam bencana serta pengurasan alam tanpa henti itu merupakan sebab utama datangnya bencana yang makin rutin. Konsekuensi logisnya harapan agar bangsa ini terbebas dari rutinitas bencana banjir, kekeringan dan tanah longsor serta bencana alam lainnya hanyalah sebuah impian. Sebab bangsa ini masih memupuk mental easy-going. Selebihnya pemerintah masih memelihara mental permisif dan bersekongkol dengan para pelaku illegal logging. Hasilnya, Negeri Jiran makin kaya dan makmur karena penyelundupan kayu secara besar-besaran terus berlangsung. Barangkali fakta-fakta tersebut merupakan sebuah tantangan besar bagi pemerintah yang malas dan cenderung menyerah sebelum berbuat. Dan pada saat yang sama kerusakan alam dan bencana alam menjadi sebuah bahasa teguran dan pukulan telak terhadap mapannya masyarakat dalam memandang alam sebagai obyek yang dapat dieksploitasi. Pantas diakui, sekalipun menyedihkan, bahwa bangsa ini sulit melepaskan diri dari relasi tuan - jongos (subyek - obyek). (Alm) Romo Mangunwijaya bermenung lalu bertanya "Apakah kita sudahdapat melepaskan diri dari paradigma psikologis relasi puan-babu itu? Ataukah kita sebagai ahli waris kolonial masih saja berhayat kolonial, terkurung dalam dunia relasi demikian itu?" Bila relasi manusia dengan alam terus berlangsung dalam konteks puan - babu (alam sebagai pelayan manusia), maka jangan terkejut bila alam segera memberi ultimatum kiamat dengan petaka banjir, gempa bumi atau tsunami yang mahadahsyat. Demi lestarinya hutan dan alam Indonesia yang kaya-raya itu, bangsa ini (yang akrab dengan bencana dan yang kerap tidak belajar dari bencana alam) pantas menyadari dan mengembalikan pandangan yang benar terhadap alam; dari subyek-obyek ke subyek-subyek. Dan sebagai aplikasi dari pengembalian pandangan itu, maka masyarakat, pengusaha dan pemerintah perlu berkomitmen untuk mengambil pilihan-pilihan yang convivial (ramah) dan solider dengan alam. * Penulis, Mahasiswa STFK Ledalero, anggota KMKL, tinggal di Wisma Rafael [Non-text portions of this message have been removed]